Pendahuluan Moluskum Kontagiosum
Moluskum kontagiosum adalah infeksi kulit akibat virus DNA jenis Molluscipox yang paling sering ditemui pada anak-anak. Penyakit ini bermanifestasi sebagai papul berbentuk kubah, berukuran 3-5 mm, mengkilat, disertai dengan lekukan yang disebut sebagai delle atau umbilikasi. Lesi ini berisi massa berwarna putih atau yang dikenal badan moluskum di tengah papul.[1-3]
Moluskum ditularkan lewat kontak kulit langsung baik secara non-seksual maupun seksual, auto-inokulasi, maupun benda yang terkontaminasi. Masa inkubasi virus adalah 2-6 minggu. Lesi kulit pada penderita moluskum kontagiosum dapat timbul di kulit dan mukosa seluruh bagian tubuh, termasuk genital.[1-3]
Infeksi kulit moluskum kontagiosum merupakan penyakit yang sering ditemukan pada anak usia 2-5 tahun, dewasa yang aktif secara seksual, dan pasien imunokompromais, seperti pasien HIV.[2]
Data epidemiologi di Amerika Serikat melaporkan bahwa moluskum kontagiosum memiliki proporsi sebesar 1% dari semua kelainan kulit, namun insiden dapat ditemukan lebih banyak di negara dengan iklim tropis seperti Indonesia. Beberapa kondisi medis, seperti dermatitis atopik, maupun kondisi imunokompromais merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.[3,4,12]
Diagnosis moluskum kontagiosum dapat ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang sangat jarang dilakukan, kecuali bila terdapat keraguan pada hasil temuan klinis.[3,4]
Pada penderita yang imunokompeten, moluskum kontagiosum biasanya bersifat self-limiting sehingga sebagian besar tidak memerlukan terapi. Terapi yang ada saat ini belum terbukti efektif dalam penatalaksanaan penyakit dan biasanya diutamakan untuk pasien imunokompromais. Pada pasien imunokompeten, terapi biasa dilakukan karena alasan kosmetik.[1,2,5,7,13,15]
Komplikasi moluskum kontagiosum antara lain adalah konjungtivitis bila lesi mengenai mata, infeksi sekunder, dan jaringan parut. Komplikasi juga dapat timbul akibat terapi dengan kuret, cryotherapy, ataupun laser. Beberapa komplikasi yang dikeluhkan pasien setelah menjalani terapi tersebut adalah nyeri, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pascainflamasi, dan bekas luka.[1-3,6,7]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja