Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2
Diagnosis diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) adalah berdasarkan anamnesis mengenai gejala klasik diabetes, yaitu gejala klasik berupa poliuri, polidipsi, polifagi; pemeriksaan fisik terkait komplikasi diabetes. Baku emas pemeriksaan laboratorium berupa tes toleransi glukosa oral (TTGO) serta HbA1c untuk kontrol keberhasilan terapi.
Diabetes mellitus tipe 2 memiliki penanganan yang sangat berbeda dengan diabetes mellitus tipe 1, sehingga penting bagi klinisi untuk mampu membedakan keduanya. Perbedaannya terletak pada manifestasi klinis dan anamnesis, dimana karakteristik DM tipe 1 adalah defisiensi insulin absolut, sedangkan ciri khas DM tipe 2 adalah hiperglikemia dan resistensi insulin.
Anamnesis
Anamnesis pada diabetes mellitus tipe 2 dapat meliputi gejala klasik berupa poliuria, polidipsi, dan polifagi. Keluhan infeksi kulit berupa pruritus kronik pada seluruh kulit dan keluhan vaginitis seperti keputihan, kemerahan pada vagina, juga dapat ditemukan.[2]
Gejala lain terkait hiperglikemia yang juga perlu ditanyakan, yaitu berat badan menurun, parestesia ekstremitas bawah, luka yang sulit sembuh dan ulkus diabetik, masalah penglihatan, serta disfungsi seksual. Keluhan gastrointestinal juga dapat dialami berupa mual, muntah, konstipasi atau diare, disfagia.[2,12]
Anamnesis juga meliputi riwayat penurunan penglihatan yang dapat menandakan adanya komplikasi mikrovaskular berupa retinopati diabetik yang perlu dirujuk untuk penanganan lebih lanjut.[2]
DM Tipe 2 Asimptomatik
Terkadang dapat diawali dengan asimptomatik pada pasien obesitas dan terdeteksi saat pemeriksaan gula darah. Berdasarkan studi yang ada, sebanyak 40% dari anak-anak dan remaja dengan DM tipe 2 datang tanpa gejala atau asimtomatik, namun terdiagnosis secara tidak sengaja dari adanya glukosuria pada pemeriksaan urinalisis. Maka dari itu, skrining untuk DM tipe 2 sangat diperlukan terutama pada kelompok dengan faktor risiko tertentu, seperti obesitas.[2,23]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 meliputi pemeriksaan tekanan darah, terkadang didapatkan hipertensi dan dapat pula ditemukan hipotensi ortostatik yang menunjukkan pasien mengalami neuropati otonom. Selain itu, perlu dilihat adanya tanda hiperglikemik hiperosmolar, seperti tanda dehidrasi, napas kussmaul, hipotensi, letargi, dan penurunan kesadaran.[2,12,13]
Selanjutnya, perlu dilakukan pengukuran indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar pinggang, untuk menentukan status gizi pasien. Mayoritas pasien diabetes merupakan pasien dengan overweight atau obesitas, serta obesitas sentral. Lingkar pinggang pada laki-laki lebih dari 102 cm, dan lebih dari 88 cm pada perempuan meningkatkan risiko diabetes melitus.[2,12,13]
Pada kulit, sering didapatkan infeksi kulit, terutama infeksi jamur seperti vulvovaginitis. Selain itu, seringkali ditemukan akantosis nigrikans, pada kulit di daerah lipatan ketiak, selangkangan, leher, pundak mengalami hiperpigmentasi dan hiperkeratosis.[2]
Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien DM tipe 2 sering didapatkan komplikasi neuropati. Hal yang perlu diperiksa adalah kemampuan sensorik pasien terhadap suhu dan sentuhan serta refleks fisiologis. Selain itu, dapat ditemukan disestesia atau parestesia.[2]
Pemeriksaan Kaki
Pencegahan komplikasi peripheral vascular disease merupakan komplikasi DM tipe 2 yang dimana perfusi ke jaringan tidak cukup, yang disebabkan karena sumbatan akibat arteriosklerosis yang membentuk emboli atau trombus dengan memeriksa tanda-tanda hipoperfusi pada kaki, yang meliputi hilangnya perfusi, parestesi, paralisis, nyeri, dan pucat.[2]
Pemeriksaan kaki dapat dilakukan dengan memeriksa pulsasi pada pembuluh darah tibialis posterior dan dorsalis pedis. Lakukan palpasi pada kedua pembuluh darah tersebut. Pulsasi yang lemah atau tidak teraba menandakan vaskularisasi yang buruk.[2]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk diabetes mellitus tipe 2 adalah diabetes mellitus tipe 1 dan Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY).
Diabetes Melitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 diakibatkan oleh autoimun terhadap sel β pankreas, sehingga terjadi kerusakan sel beta pankreas dan mengakibatkan defisiensi insulin absolut. Hal ini menyebabkan pasien sangat bergantung dengan insulin eksogen untuk menurunkan glukosa darah, mengurangi hiperglukagnonemia, mencegah ketosis.[2,14]
Diabetes mellitus tipe 1 biasanya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, dengan peak incidence usia 10-14 tahun. Diabetes mellitus tipe 1 dapat dibedakan dengan tipe 2 berdasarkan pemeriksaan kadar insulin, C-peptida, dan uji antibodi.[2,14]
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) merupakan salah satu bentuk dari defek sel ß pankreas akibat mutasi genetik pada faktor transkripsi nukleus dan glucokinase yang mengakibatkan disfungsi sel ß pankreas. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 10 mutasi fenotip gen yang mendasari terjadinya MODY.[2,15]
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) diturunkan secara genetik autosomal dominan, onset usia muda lebih dari 25 tahun. Pada MODY, jarang didapatkan obesitas. Hiperglikemia diakibatkan resistensi insulin, sehingga awal penatalaksanaan dapat dengan obat diabetes oral, seperti metformin.[2,15]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama untuk diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) adalah pemeriksaan kadar gula darah. Diabetes melitus tipe 2 didefinisikan sebagai kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dL, kadar gula darah 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dL, HbA1C ≥ 6,5, glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL. Biasanya diperlukan pemeriksaan ulang kadar gula darah pada hari kedua untuk memastikan diagnosis diabetes melitus tipe 2.[2,13]
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus tipe 2
Normal | Prediabetes | Diabetes Mellitus | |
Gula Darah Puasa mg/dL (mmol/L) | < 100 | 100–125 | ≥ 126 |
Gula Darah 2 jam post prandial mg/dL (mmol/L) | < 140 | ≥ 140–199 | ≥ 200 |
HbA1C (%) | < 5.7 | 5.7–6.4 | ≥ 6.5 |
Sumber: Diabetes Care. American Diabetes Association. 2021.
Glukosa Darah Puasa (GDP)
Pemeriksaan glukosa darah puasa dilakukan dengan cara pasien berpuasa setidaknya selama 8 jam sebelum test. Gula darah puasa ≥ 126 mg/dL dapat didiagnosa sebagai diabetes melitus tipe 2, sedangkan gula darah puasa 100–125 mg/dL dikatakan prediabetes.[2,13]
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dilakukan dengan mengukur kadar gula darah puasa pasien lalu berikan larutan glukosa oral 75 gram dalam 300 cc air, dan ukur ulang kadar gula darah setelah 2 jam.[2,13]
Hasil tes sebesar ≥ 200 mg/dL dikategorikan sebagai diabetes mellitus, 140-199 mg/dL toleransi glukosa terganggu, hasil kurang dari 140 mg/dL normal. Pemeriksaan dilakukan di pagi hari, dikarenakan variasi siklus diurnal pada glukosa oral toleransi, pasien tidak diperbolehkan merokok dan beraktivitas fisik selama tes.[2,13]
HemoglobinA1c (HbA1c)
Hemoglobin A1C (HbA1C) terutama digunakan untuk pengukuran pemantauan keberhasilan terapi diabetes. Hal ini disebabkan oleh kemampuan HbA1c untuk melihat perkiraan kadar glukosa selama 2 sampai 3 bulan ke belakang dari waktu pemeriksaan.[2,13]
Nilai HbA1c di atas 6,5% menunjukkan kontrol gula darah yang kurang baik selama 2 sampai 3 bulan sebelum pengukuran. Nilai cut-off 6,5% dipilih karena risiko retinopathy DM meningkat bila diatas nilai tersebut. Keuntungan pengukuran HbA1c adalah pasien tidak perlu berpuasa dan meminum sesuatu.[2,13]
Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi bertujuan untuk memeriksa segmen posterior mata, seperti badan vitreus, retina, diskus optikus, dan koroid. Pemeriksaan dapat dipermudah dengan melakukan dilatasi pupil pasien sebelum melakukan funduskopi, dengan sebelumnya dilakukan pemeriksaan tekanan intraokular (TIO) menggunakan tonometry. Dilatasi pupil dengan midriatikum, seperti atropin, sebaiknya tidak dilakukan apabila TIO meningkat.[2,18]
Jika ditemukan tanda perdarahan atau eksudat, atau terdapat neovaskularisasi, dan jika didapatkan tanda khas untuk diabetic retinopathy seperti mikroaneurisma, dot and blot hemorrhages, cotton wool spots dan intraretinal microvascular anomalies (IRMAs) segera rujuk pasien ke spesialis mata untuk penanganan lebih lanjut.[2,18]
Penulisan pertama oleh: dr. DrRiawati MMedPH