Pendahuluan Inflammatory Bowel Disease
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah inflamasi kronik pada saluran pencernaan yang terbagi menjadi dua tipe, yaitu Crohn’s disease dan kolitis ulseratif. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap segmen saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai perianal, dengan karakteristik inflamasi transmural dan “skip lesions”. Sementara itu, sebagian besar kasus kolitis ulseratif melibatkan rektum dan dapat meluas secara proksimal ke seluruh kolon.[1,2]
Faktor genetik telah ditemukan memainkan peran signifikan dalam berkembangya IBD. Faktor genetik ini juga berinteraksi dengan faktor lingkungan, seperti merokok, pola diet, stres fisiologis, dan unsur psikologis. Selain itu, mikrobioma pada pasien dengan IBD dilaporkan mengalami gangguan bila dibandingkan dengan populasi sehat. Diet juga telah dilaporkan dapat memengaruhi kualitas struktur usus dan memicu perubahan pada flora usus, yang menghasilkan keadaan pro-inflamasi dan mendukung perkembangan IBD.[3-5]
Manifestasi klinis IBD, baik itu Crohn’s disease ataupun kolitis ulseratif, yang paling sering adalah nyeri abdomen dan diare yang persisten dengan atau tanpa darah. Ileoskopi yang mencakup biopsi ileum dan kolon segmental dapat mengonfirmasi diagnosis. Jika ada gejala pada saluran gastrointestinal atas, endoskopi gastroduodenum dapat dipertimbangkan.[1-3]
Prinsip tata laksana IBD adalah mengobati peradangan aktif sampai tercapai remisi, mencegah kekambuhan serta mencegah komplikasi. 5-aminosalicylic acid (5-ASA) adalah terapi standar untuk IBD derajat ringan hingga sedang. Alternatif lain adalah thiopurine, vedolizumab, atau tofacitinib. Pembedahan diindikasikan pada pasien yang resisten terhadap farmakoterapi, memiliki efek samping yang tidak dapat ditoleransi, atau mengalami kondisi yang mengancam jiwa seperti perdarahan saluran cerna sangat berat.[2,5,6]
Penulisan pertama oleh: dr. Karina Sutanto