Penatalaksanaan Edema Paru Akut
Tujuan penatalaksanaan edema paru mencakup perbaikan oksigenasi, mempertahankan tekanan darah yang optimal ke organ-organ penting, serta menurunkan jumlah cairan ekstraselular. Manajemen awal pasien dengan edema paru kardiogenik harus meliputi ABC (airay, breathing, circulation). Oksigen sebaiknya diberikan kepada semua pasien untuk menjaga saturasi oksigen di atas 90%. Adanya penyakit yang mendasari, baik itu aritmia atau infark miokard, harus diobati adekuat.
Pada kasus edema paru nonkardiogenik, dokter perlu mengatasi penyebab yang mendasari. Terapi suportif juga umumnya diperlukan, yang mencakup penggunaan oksigen tambahan atau ventilasi mekanis jika diperlukan.
Saat ini, masih belum ada terapi untuk mengatasi permeabilitas vaskular pada kasus acute respiratory distress syndrome (ARDS). Oleh karena itu, manajemen ARDS berpusat pada perawatan suportif dan pengobatan proses penyakit yang mendasari sampai ada resolusi cedera paru akut.[13]
Airway, Breathing, Circulation
Pasien biasanya datang ke IGD karena gejala yang timbul akut dan dirasa berat. Pemeriksaan survei primer meliputi airway, breathing, dan circulation harus dilakukan saat pertama kali menemui pasien.
- Pemeriksaan Airway: Pastikan jalan napas pasien clear sebelum diberi pertolongan oksigenasi
- Pemeriksaan Breathing: Catat frekuensi napas dan saturasi oksigen sebelum terapi dimulai
- Pemeriksaan Circulation:Periksa frekuensi nadi, tekanan darah dan kondisi jantung untuk membantu memberikan pertimbangan modalitas terapi yang akan dilakukan
Terapi Oksigen
Untuk memperbaiki oksigenasi pada pasien dengan edema paru akut, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah memposisikan pasien dalam posisi duduk. Posisi tempat tidur pasien dapat disesuaikan untuk mengakomodasi hal ini.
Terapi oksigen tambahan tidak diberikan secara rutin karena dapat memicu vasokonstriksi dan menurunkan curah jantung. Terapi oksigen tambahan dapat mulai diberikan ketika saturasi oksigen < 92%. Pasien yang memerlukan terapi oksigen tambahan harus dimulai dari nasal kanul atau face mask. Bila oksigenasi tidak adekuat, dapat diganti dengan masker oksigen non-rebreathing, ventilasi noninvasif, atau dipertimbangkan dilakukan intubasi dan ventilasi mekanik. Untuk pasien yang tidak memiliki penyakit paru kronik, target saturasi oksigen saat pemberian terapi oksigen adalah 92-96%. Sementara itu, pada pasien yang memiliki penyakit paru kronik, target saturasi sebesar 88-92%.
Ventilasi non invasif melalui BiPAP atau CPAP mulai diindikasikan bila selama pengawasan terapi oksigen pasien mengalami distres pernapasan, asidosis, atau hipoksia. Tidak ada keunggulan signifikan antara pemilihan BiPAP atau CPAP, sehingga pemilihannya didasarkan pada ketersediaan fasilitas layanan kesehatan setempat. Ventilasi noninvasif dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami hipotensi, pneumothorax, muntah, atau mengalami penurunan kesadaran.
Bila setelah dilakukan ventilasi noninvasif tetap masih ada hiperkapnia, hipoksemia, atau asidosis, intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan. Indikasi intubasi lainnya adalah tanda-tanda kelelahan akibat usaha pernapasan karena dyspnea, adanya tanda penurunan kesadaran, atau syok kardiogenik.[3,5,6,11,13]
Persiapan Rujukan
Konsil Kedokteran Indonesia memasukkan edema paru sebagai level kompetensi 3B, yang berarti merupakan suatu kegawatan dan harus segera dilakukan terapi pendahuluan terlebih dahulu sebelum dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat dua di rumah sakit. Pasien dengan penyakit edema paru akut tidak disarankan dirawat jalan.[24]
Edema paru akut harus ditangani di rumah sakit dengan fasilitas yang ideal. Pasien yang datang dengan gejala dan tanda edema paru akut sebaiknya segera dipersiapkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat setelah dilakukan stabilisasi hemodinamik dengan pemberian oksigen, cairan, dan obat-obatan inisial.[1,24]
Medikamentosa
Terdapat empat jenis obat yang sering digunakan dalam menangani edema paru akut, yakni diuretik, nitrat, morfin, dan inotropik.
Diuretik
Obat golongan diuretik digunakan ketika ada bukti kongesti cairan pada pasien. Diuretik loop adalah diuretik yang paling sering menjadi pilihan. Diuretik loop dapat membantu menurunkan preload dan harus digunakan secara hati-hati pada pasien yang mungkin memiliki kondisi dehidrasi ringan. Bila tidak ada gangguan fungsi ginjal, terapi diuretik loop dapat mulai diberikan dengan memilih salah satu dari:
Furosemide 20-40 mg IV
- Torsemide 10-20 mg IV
Bumetanide 1 mg IV
Pasien yang sehari-harinya telah mendapatkan terapi diuretik biasanya memerlukan starting dose yang lebih tinggi pada saat inisiasi terapi. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia merekomendasikan memulai dengan 2,5 kali dosis harian rutin yang dikonsumsi per oral.
Beberapa hal yang harus dipantau selama pelaksanaan terapi diuretik adalah:
- Volume keluaran urine
- Volume asupan cairan, baik dari oral maupun parenteral
- Kadar ureum, kreatinin, dan elektrolit: kalium dipertahankan >4 mEq/L dan magnesium dipertahankan >2,0 mEq/L[3,6,13,25,26]
Nitrat
Obat vasodilator seperti golongan nitrat dapat ditambahkan sebagai terapi adjuvan karena dapat mengurangi preload dan kongesti paru. Pada penggunaan dosis rendah, nitrat dapat menyebabkan relaksasi otot sehingga menyebabkan dilatasi vena sistemik dan mengurangi preload. Pada penggunaan dosis yang lebih tinggi, nitrat dapat memberikan efek dilatasi arteriol sehingga berdampak pada perbaikan aliran darah arteri koroner. Hal ini menyebabkan perbaikan oksigenasi jantung dan pada akhirnya dapat menurunkan beban kerja jantung.
Sebagai catatan penting, obat golongan nitrat hanya boleh digunakan bila tekanan darah sistolik di atas 100–110 mmHg. Selama penggunaan nitrat, tekanan darah sistolik pasien harus dipertahankan di atas 90 mmHg dan harus segera dihentikan bila tekanan darah sistolik menjadi di bawah 90 mmHg. Obat golongan nitrat juga kontraindikasi pada pasien yang memiliki stenosis aorta derajat berat atau yang baru mengkonsumsi obat golongan phosphodiesterase inhibitor seperti sidenafil.
Nitrogliserin dosis inisial 5-10 mcg/menit yang dapat dititrasi sampai dosis maksimal 400 mcg/menit. Bila terapi drip tidak memungkinkan, dapat diberikan dosis 3 mcg secara bolus diulang setiap 5 menit. Dosis yang lebih besar dari 400 mcg/menit dapat meningkatkan risiko keracunan sianida, sehingga harus dilakukan pemantauan secara ketat
Isosorbid dinitrat dosis inisial 2 mg/jam dan dapat dinaikkan sampai 12 mg/jam. Dosis maksimal hingga 20 mg/jam harus dipantau secara ketat dan disesuaikan dengan kondisi klinis pasien[3,6,13,25,26]
Nifedipine
Obat selain nitrat yang dapat memberikan vasodilatasi adalah golongan calcium channel blocker. Nifedipine dapat dipertimbangkan diberikan sebagai profilaksis pada edema paru akut yang disebabkan dataran tinggi (high-altitude pulmonary edema) karena dapat mencegah vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia pada dataran tinggi. Nifedipine dapat diberikan dalam dosis 20-30 mg setiap 12 jam.[3,6,13,25,26]
Morfin
Pada penelitian terkini didapatkan kesimpulan bahwa penggunaan morfin berhubungan dengan peningkatan penggunaan ventilasi mekanik, dipindahkannya pasien ke ruang perawatan intensif (ICU), dan peningkatan mortalitas. Oleh sebab tidak adanya uji klinis yang berkualitas baik, morfin sebaiknya tidak digunakan secara rutin.
Morfin terutama digunakan pada edema paru akut yang disebabkan infark miokard yang keluhan nyeri dadanya tidak membaik dengan pemberian nitrat. Morfin dapat digunakan sebagai analgesik, ansiolitik, dan sekaligus penurun resistensi vaskuler pada vena. Efek dilatasi pada vena inilah yang diperkirakan dapat ikut memperbaiki keluhan dyspnea pada pasien edema paru akut karena ikut menurunkan preload. Diperlukan kehati-hatian dalam pengambilan keputusan pemberian morfin mengingat efek sampingnya yang justru dapat menekan pusat pernapasan.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia merekomendasikan pemberian morfin intravena pada pasien edema paru akut dengan dosis sebesar 4-8 mg bila didapatkan distress berat pada pasien. Pemberian morfin tersebut dapat disertai dengan metoclopramide 10 mg sambil diobservasi adanya gejala gagal napas. Pemberian morfin tanpa atau dengan disertai metoclopramide dapat diulang bila perlu setiap 3-4 jam.[3,6,13,25,26]
Inotropik
Beberapa penelitian terkini menyebutkan bahwa pada kasus edema paru akut yang disertai disfungsi ventrikel kiri, hipotensi, dan bukti adanya hipoperfusi organ penggunaan inotropik dapat diberikan. Obat inotropik yang digunakan pada lini pertama biasanya dobutamin dan diberikan secara drip intravena. Dobutamin memiliki efek inotropik positif dan vasodilator perifer sehingga penggunaannya harus dilakukan secara hati-hati karena berisiko memperburuk hipotensi. Dalam hal ini, penggunaan dobutamin dapat diberikan bersamaan dengan vasopressor.[3,6,13,25,26]
Pembedahan
Terapi pembedahan tidak dilakukan secara rutin pada edema paru akut. Sejauh tinjauan literatur yang dilakukan, terapi pembedahan untuk edema paru akut hanya pernah dilaporkan satu kali pada tahun 1997. Edema paru akut yang terjadi disebutkan karena dipicu oleh hipertensi renovaskuler yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikamentosa yang diberikan, sehingga dilakukan terapi pembedahan guna melakukan rekonstruksi vaskular pada ginjal.[27]
Terapi Suportif
Terapi medikamentosa edema paru akut lainnya didasarkan pada pemicunya. Pasien atau keluarganya dapat diminta untuk menceritakan ulang kronologi terjadinya keluhan sesak napas akibat edema paru akut. Beberapa obat seperti obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), verapamil, diltiazem, atau opioid diketahui dapat memicu terjadinya edema paru akut sehingga perlu dicari tahu terkait kemungkinan pengaruh konsumsi obat sebagai pemicu edema paru akut.
Bila selama perawatan terdapat bukti adanya penurunan fraksi ejeksi dan gagal jantung kronik, dapat diberikan ACE inhibitor, beta-blocker, dan antagonis reseptor mineralokortikoid sebagai tiga pilar utama terapi rumatan pada edema paru akut akibat gagal jantung kronik. ACE-Inhibitor seperti captopril dapat mulai diberikan 24-48 jam setelah rawat inap saat pasien telah dalam kondisi hemodinamik yang stabil. Beta-blocker seperti bisoprolol dapat mulai diberikan dalam dosis rendah ketika pasien telah euvolemik dan tepat saat sebelum dipulangkan dari rumah sakit.
Antagonis reseptor mineralokortikoid seperti spironolactone juga dapat diberikan sesaat sebelum pasien dipulangkan dari rumah sakit dan telah dipastikan fungsi ginjal dan kadar kalium darahnya dalam kondisi normal. Bila setelah dievaluasi secara klinis pasien menunjukkan tanda-tanda NYHA II-IV disertai irama sinus dan nadi ≥ 70 kali per menit, dapat ditambahkan ivabradine dan atau mengganti obat golongan ACE-Inhibitor dengan obat golongan angiotensin receptor-neprilysin inhibitors (ARNI).[1,13,28,29]
Penulisan pertama oleh: dr.Gold SP Tampubolon