Penatalaksanaan Fenilketonuria
Keterlambatan atau penundaan penatalaksanaan fenilketonuria selama 4 minggu dapat menyebabkan penurunan skor IQ sekitar 4 poin. Oleh karena itu, penatalaksanaan adekuat pada fenilketonuria akan berperan besar terhadap prognosis.[1,3-5]
Tujuan penatalaksanaan fenilketonuria adalah menurunkan konsentrasi fenilalanin dalam darah agar fungsi neurokognitif pasien dapat terjaga. Kadar fenilalanin plasma dipertahankan sejumlah 120–360 μmol/L.[1,3,5]
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis dilakukan bersama diet restriksi fenilalanin. Suatu studi melaporkan bahwa pemberian sapropterin 10 mg/kg/hari efektif untuk menurunkan kadar fenilalanin sebanyak 30%. Sapropterin adalah bentuk sintetik aktif tetrahidrobiopterin (BH4) yang merupakan kofaktor untuk enzim fenilalanin hidroksilase.[1,2-5]
Pegvaliase juga telah disetujui oleh FDA sebagai pengganti enzim dalam tata laksana fenilketonuria. Pegvaliase dapat diberikan untuk menurunkan kadar fenilalanin pada pasien dewasa dengan penyakit tidak terkontrol dan kadar fenilalanin >600 μmol/L. Pegvaliase diberikan dalam bentuk injeksi subkutan, tetapi dosis optimalnya masih dipelajari lebih lanjut oleh studi.[1,2]
Terapi Nonfarmakologis
Intervensi diet adalah tiang utama dalam tata laksana fenilketonuria. Tata laksana diet ini terdiri dari restriksi protein natural dan pemberian suplementasi asam amino-L bebas fenilalanin. Restriksi protein ini dilakukan karena telah berlebihannya kadar asam amino fenilalanin pada penderita fenilketonuria.[1]
Namun, protein tentunya tetap diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan, dan perbaikan jaringan, terutama di usia anak-anak. Agar kebutuhan protein bisa tetap terpenuhi, pasien fenilketonuria disarankan untuk mengonsumsi protein sebanyak yang masih bisa ditoleransinya. Toleransi protein ini akan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti keparahan penyakit, rasio sintesis dan katabolisme protein, asupan energi, dan target kadar fenilalanin darah.[1,2]
Pada fenilketonuria, toleransi dan kebutuhan fenilalanin umumnya tertinggi di masa awal kehidupan. Toleransi dan kebutuhan fenilalanin berkisar antara 55 mg/kg/hari di usia 0–3 bulan dan 27 mg/kg/hari di usia 12 bulan. Setelah dewasa, toleransi dan kebutuhan ini akan menurun. Pasien dengan fenilketonuria klasik umumnya mampu menoleransi 200–500 mg fenilalanin per hari. Pasien dengan manifestasi lebih ringan dapat menoleransi kadar lebih besar.[1,2]
Beberapa sumber fenilalanin alami yang perlu dihindari adalah daging, produk susu, kacang-kacangan, roti, kentang, jagung, dan minuman berkarbonasi. Sumber makanan rendah protein yang bisa dikonsumsi mencakup buah-buahan, sawi, buncis, pasta, dan jagung muda.[2]
Suplementasi vitamin dan mineral juga perlu ditambahkan karena defisiensi sering terjadi. Suplementasi ini dapat mencakup zinc, selenium, vitamin B12, dan asam folat. Suplementasi asam lemak tidak jenuh rantai panjang juga bisa diberikan.[1]
Penatalaksanaan pada Kehamilan
Studi melaporkan bahwa kadar fenilalanin melebihi 1.200 μmol/L akan meningkatkan risiko sindrom dismorfik facies, mikrosefali fetus, gangguan belajar, penyakit jantung bawaan, dan intrauterine growth restriction. Oleh sebab itu, kadar fenilalanin harus dipertahankan antara 120–360 μmol/L dengan restriksi diet. Pada pasien yang sedang merencanakan kehamilan, restriksi diet perlu dimulai sebelum konsepsi.[2]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur