Pendahuluan Ruptur Limpa
Ruptur limpa (spleen rupture) atau ruptur lien adalah salah satu kondisi kegawatdaruratan pada organ dalam yang paling sering, umumnya disebabkan oleh trauma seperti kecelakaan lalu lintas atau trauma tumpul pada abdomen. Kondisi ini juga bisa disebabkan oleh kondisi nontrauma patologis atau idiopatik, meskipun jarang terjadi.[1]
Ruptur limpa bisa menyebabkan perdarahan yang mengancam nyawa, sehingga diagnosis dan manajemen adekuat sangatlah esensial. Tata laksana nonoperatif yang mempertahankan fungsi limpa sebaiknya diutamakan. Tetapi bila perdarahan terus berlanjut dan mengancam nyawa, maka splenektomi harus dipertimbangkan.[1]
Diagnosis ruptur limpa dapat ditegakkan dari anamnesis riwayat trauma yang dialami pasien, atau kondisi lain yang dapat menyebabkan ruptur limpa, misalnya riwayat infeksi mononukleosis. Pasien dengan ruptur limpa dapat mengalami syok hipovolemik, nyeri pada abdomen kiri atas, peritonitis, hingga penurunan kesadaran. Pemeriksaan radiologi, seperti USG abdomen atau CT scan abdomen, akan sangat membantu dalam mendeteksi atau mengonfirmasi ruptur limpa.[1,2]
Penatalaksanaan dari ruptur limpa tergantung pada etiologi dan keparahannya. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, penatalaksanaan utama yang perlu dilakukan adalah stabilisasi dan resusitasi. Tata laksana nonoperatif umumnya dicoba dilakukan dengan tujuan mempertahankan fungsi limpa. Tetapi, jika kondisi hemodinamik tetap tidak stabil dan perdarahan aktif atau mengancam nyawa, maka tata laksana operatif menjadi pilihan.[1,2]
Pasien yang menjalani tindakan operatif, baik splenektomi atau spleen repair akan memiliki risiko seumur hidup menderita infeksi berat dan sepsis, misalnya akibat bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus sp., Neisseria meningitidis (meningococcus), dan parasit bloodborne. Manajemen kunci untuk pencegahan infeksi adalah vaksinasi dan pemberian antibiotik profilaksis.[1,2]