Pendahuluan Intoleransi Makanan
Intoleransi makanan adalah kondisi dimana pasien tidak dapat mencerna suatu zat dari makanan atau minuman tertentu, misalnya susu. Intoleransi makanan didasari pada suatu reaksi non-imun terhadap makanan yang pada kondisi normal dapat ditoleransi. Gangguan ini diperkirakan terjadi hingga 20% dari populasi.[1]
Intoleransi makanan biasanya terjadi karena sensitivitas terhadap suatu makanan tertentu atau defisiensi enzim tertentu. Makanan yang dapat menyebabkan intoleransi antara lain yang mengandung FODMAP (fermentable oligosaccharides, disaccharides, monosaccharides, and polyols), gandum, histamin, laktosa, bahan aditif, dan bahan kimia makanan bioaktif.[1,2]
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh intoleransi makanan adalah kembung, nyeri perut, diare, sakit kepala, ruam kulit, dan asthenia. Intoleransi makanan biasanya terjadi pada penderita irritable bowel syndrome (IBS) dan gangguan gastrointestinal fungsional lainnya.[1-3]
Intoleransi makanan perlu dibedakan dengan alergi makanan. Intoleransi makanan melibatkan sistem pencernaan, jumlah makanan berhubungan langsung dengan derajat keparahan (dose dependent), dan satu makanan yang sama menyebabkan gejala yang sama pada setiap paparan. Di sisi lain, alergi makanan melibatkan reaksi sistem imun yang dimediasi imunoglobulin E (IgE). Makanan yang menimbulkan alergi jika tertelan dalam jumlah kecil dapat menyebabkan reaksi alergi yang dapat mengancam jiwa.[1,2]
Hingga saat ini, belum ada pemeriksaan biomarker yang dapat memastikan diagnosis intoleransi makanan. Hal inilah yang menyulitkan penegakan diagnosis dan pelaksanaan penelitian di lapangan. Pemeriksaan dengan pendekatan food diary dan rechallenge dapat digunakan untuk memastikan apakah gejala akan muncul kembali setelah diberikan makanan serupa.[1,3]
Eksklusi makanan yang diduga menyebabkan intoleransi merupakan langkah terapi utama. Namun, perlu diperhatikan bahwa eksklusi makanan dalam jangka panjang dapat menyebabkan malnutrisi, terutama pada anak. Penanganan diare atau gangguan elektrolit akibat intoleransi makanan bersifat suportif sesuai dengan gejala yang muncul.[3,4]
Penulisan pertama oleh: dr. Shofa Nisrina Luthfiyani
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta