Pendahuluan Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum adalah penyakit pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani, yang dapat menyerang otak, saraf otonom, saraf spinal, dan neuromuscular junction. Bayi yang berisiko tetanus neonatorum adalah bayi yang lahir dari ibu yang tidak divaksin tetanus dan terekspos spora C. tetani. Spora bisa berasal dari alat persalinan yang terkontaminasi, misalnya saat menggunting tali pusat.[1]
Gejala klinis tetanus neonatorum (TN) disebabkan oleh pengaruh tetanospasmin, suatu toksin spesifik yang diproduksi di luka yang terinfeksi C. tetani, yang mengganggu transmisi neuromuskuler, menyebabkan supresi hiperpolarisasi membran neuron, dan menimbulkan disfungsi saraf otonom.[2]
Akibatnya, kasus TN biasanya dapat mudah diidentifikasi pada bayi yang dibawa ke dokter dengan keluhan kekakuan kelompok otot yang letaknya dekat dengan situs masuknya kuman atau kekakuan otot menyeluruh yang ditandai dengan trismus, iritabilitas, kaku leher, sulit menelan, dan kekakuan otot abdomen dan toraks. Periode inkubasi pada TN biasanya berkisar antara 3–10 hari setelah lahir.[2]
Penegakan diagnosis TN umumnya dilakukan dengan mengenali gejala klinis khas tetanus, riwayat luka terbuka atau cedera, maupun adanya faktor risiko tetanus pada ibu. Sementara itu, pemeriksaan penunjang seperti kultur bakteri dan pemeriksaan antitoksin serum hanya memiliki sedikit peran dalam mengarahkan diagnosis tetanus, sehingga tidak umum dilakukan dalam praktik sehari-hari.[3,4]
Penatalaksanaan TN bertujuan untuk menekan morbiditas dan mortalitas dengan cara menghentikan produksi toksin pada tempat infeksi dan pemberian terapi suportif untuk meredakan gejala. Hal ini dicapai dengan cara membersihkan luka secara operatif, perawatan ketat dan berkesinambungan untuk mencegah tetanospasme, pemantauan keseimbangan cairan, elektrolit, dan kalori, serta penggunaan antitoksin.[1,3]
Pencegahan TN melalui upaya imunisasi aktif menggunakan toksoid tetanus pada wanita usia reproduktif yang belum terimunisasi merupakan pendekatan yang lebih efektif daripada pengobatan setelah infeksi berlangsung.[1,3]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur