Diagnosis Tetanus Neonatorum
Diagnosis tetanus neonatorum atau TN umumnya cukup jelas untuk ditegakkan secara klinis, yaitu dengan adanya trismus, gangguan menelan, spasme tetanik di kelompok otot lainnya, dan opistotonus. Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung adalah trismus, disfagia, kaku otot leher, bahu, punggung, dan abdomen, serta risus sardonicus.
Anamnesis
Temuan anamnesis yang mengarah pada diagnosis tetanus TN mencakup presentasi bayi berusia 3–14 hari pasca persalinan yang menunjukkan kemampuan menyusu yang lemah disertai tangisan tanpa sebab yang jelas. Keluhan utama yang mungkin timbul pertama kali antara lain trismus, gangguan menelan, adanya spasme tetanik pada kelompok otot lainnya, dan opistotonus.[1,2]
Dalam penelitian yang mempelajari penyebab kematian pada kasus TN oleh Salimpour, manifestasi penyakit paru-paru merupakan salah satu temuan yang lazim diidentifikasi pada kasus TN. Pemeriksaan autopsi sering menunjukkan gambaran bronkopneumonia maupun perdarahan sehingga gejala terkait kondisi ini perlu juga digali.[23]
Selain mengidentifikasi keluhan utama, berbagai faktor risiko TN juga harus ditanyakan pada orang tua atau wali pasien yang dicurigai menderita TN.
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis TN adalah trismus, disfagia, kaku otot leher, bahu, punggung, dan abdomen. Risus sardonicus, yakni mimik wajah yang dianggap patognomonik untuk tetanus, ditandai dengan seringai akibat otot-otot wajah yang tegang.[2,3]
Seiring dengan perjalanan penyakit, kekakuan otot meluas dan tidak hanya melibatkan otot wajah saja. Selain itu, spasme otot yang semula muncul ketika ada rangsangan sensorik seperti sentuhan ringan, mulai muncul secara spontan dan lebih lama pada berbagai kelompok otot.[2,3]
Pada tetanus yang berat, kontraksi tonik umum pada seluruh otot (tetanospasme) dapat terjadi dan menimbulkan opistotonus, adduksi bahu, fleksi siku dan pergelangan, serta ekstensi tungkai. Hal tersebut umumnya disertai dengan peningkatan suhu tubuh.[1]
Selain itu, gangguan sistem respirasi akibat spasme pada otot dinding dada, disfungsi diafragma, obstruksi jalan napas karena spasme glotis dan laring, serta pneumonia aspirasi dapat pula ditemukan pada TN derajat sedang dan berat.[1]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding tetanus neonatorum (TN) perlu mencakup sejumlah kondisi medis yang dapat menyerupai salah satu atau lebih karakteristik tetanus, seperti kejang pada neonatus. Secara umum, kejang pada neonatus dapat disebabkan oleh anomali kongenital, trauma, anoksia, perdarahan intrakranial, serta keadaan pasca persalinan (misalnya infeksi dan penyakit metabolik).
Anomali Kongenital
Kerusakan otak akibat penyakit kongenital maupun proses perinatal dapat memicu spastisitas dan kejang tonik klonik. Bayi dengan kerusakan otak umumnya mengalami penurunan kesadaran dan kejang di akhir 24 jam pertama kehidupan.[24,25]
Sindrom kerusakan otak juga dapat membuat lidah dan otot sekitar rongga mulut lemas, refleks mengisap hilang, dan bayi tidak dapat menelan sejak hari pertama pasca persalinan. Akan tetapi, manifestasi trismus tidak ditemukan pada berbagai kondisi tersebut, sehingga dapat membedakannya dari TN.[24,25]
Trauma
Kontusio serebri yang dapat terjadi akibat trauma sekunder pada persalinan sungsang maupun penyulit obstetri lainnya biasanya lebih sering ditemukan pada bayi aterm yang besar.[24,25]
Infeksi
Infeksi neonatal yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding TN adalah meningitis, yang biasanya berkaitan dengan septikemia. Bayi dengan meningitis neonatal dapat tampak lemah, tidak mau menyusu, dan mengalami kejang, apneu episodik, hipotermia atau hipotermia, dan distres napas pada minggu ke-1 kehidupan dan setelahnya.[26]
Berbeda dengan tetanus, manifestasi kejang pada kondisi ini memiliki karakteristik fase tiap kejang lebih pendek, tidak secepat kejang pada tetanus, dan lebih sering melibatkan sebagian sisi tubuh saja. Selain itu, pada TN tidak ditemukan ubun-ubun membonjol sebagaimana ditemukan pada meningitis.[26]
Penyakit Metabolik
Penyakit metabolik seperti hipoglikemia dan hipokalsemia sering terjadi pada bayi dengan berat lahir rendah maupun bayi dengan ibu yang mengalami diabetes. Insiden hipokalsemia neonatorum memiliki dua periode puncak, yakni pada 2–3 hari pertama kehidupan (paling sering ditemukan pada bayi dengan berat lahir rendah dan trauma obstetrik) dan pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua kehidupan.[26]
Tetani akibat hipokalsemia dapat bermanifestasi seperti kejang dan laringospasme. Perbedaan karakteristik tetani hipokalsemia dari tetanus adalah adanya tremor dan fasikulasi otot serta tidak adanya trismus dan rigiditas otot umum pada tetani.[26]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak berperan banyak dalam penegakan diagnosis maupun pemantauan perkembangan pasien tetanus neonatorum (TN). Penegakan diagnosis hampir selalu ditegakkan berdasarkan karakteristik klinis dan tidak tergantung pada konfirmasi bakteriologis. Hal ini juga disebabkan oleh rendahnya angka deteksi kuman C. tetani yang diambil dari sampel luka, yakni hanya 30% dari sampel pasien yang dicurigai tetanus.[27]
Di sisi lain, kadar antitoksin serum yang rendah atau tidak terdeteksi pada saat awitan penyakit dapat membantu mengarahkan diagnosis tetanus neonatorum. Namun, antitoksin serum dapat pula terdeteksi pada beberapa kasus sehingga berpotensi membingungkan tenaga medis dalam menginterpretasi hasilnya.[4]
Metode perbandingan titer antitoksin berpasangan untuk diagnosis retrospektif tidak bermanfaat pada kasus TN mengingat salah satu pengobatannya mencakup tindakan imunisasi aktif yang turut memicu respons antibodi.[4]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur