Prognosis Xerostomia
Prognosis xerostomia yang timbul akibat gaya hidup umumnya dapat mengalami resolusi dengan modifikasi gaya hidup. Bila tidak diterapi, dapat timbul komplikasi seperti karies gigi. Sementara itu, xerostomia akibat penyakit sistemik ditentukan oleh penyebabnya.[6,7,10]
Komplikasi
Xerostomia dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Keluhan umum pasien xerostomia antara lain rasa tidak nyaman pada mulut, kesulitan berbicara, disfagia, gangguan pengecapan, kesulitan mengunyah, sensasi terbakar pada mulut, dan bau mulut. Hal ini dapat mengganggu aktivitas sosial, menurunkan nafsu makan, dan menyebabkan penurunan berat badan.
Rongga Mulut
Fungsi saliva adalah untuk lubrikasi dan menjaga rongga mulut agar tetap lembab dan bersih, serta melindungi mukosa oral dari cedera mekanik. Ketika produksi saliva menurun, rongga mulut menjadi rentan terhadap infeksi dan asam. Karies gigi dan demineralisasi enamel dapat terjadi.
Perubahan flora normal rongga mulut juga menyebabkan pasien rentan mengalami kandidiasis oral. Kandidiasis mendukung terjadinya karies dan keparahan penyakit periodontal. Kandidiasis juga menyebabkan sensasi terbakar, glossodynia, glossitis dan cheilitis angular. Risiko kandidasis semakin tinggi pada pasien dengan Sindrom Sjogren yang sedang menjalani terapi kortikosteroid atau imunosupresan lain.
Pasien yang menggunakan gigi palsu biasanya mengeluhkan berkurangnya retensi gigi palsu, nyeri, dan ulserasi. Komplikasi xerostomia lain dapat berupa gingivitis, perdarahan rongga mulut, maupun halitosis.[6,7,10]
Prognosis
Hampir seluruh pasien xerostomia melaporkan hasil yang baik dari perawatan simptomatik. Xerostomia yang disebabkan oleh dehidrasi, hipofungsi saliva yang diinduksi obat, konsumsi substansi kafein, merokok dan alkohol dapat mengalami resolusi jika gaya hidup dapat dimodifikasi.
Konsultasi dan kontrol rutin terkait penyakit sistemik yang menyebabkan xerostomia, serta mengganti obat yang menginduksi xerostomia dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Gejala xerostomia cenderung persisten pada pasien yang sedang menjalani terapi radiasi kepala leher dan sindrom Sjogren.[7]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini