Prognosis dan Komplikasi Epilepsi
Prognosis pasien epilepsi mengenai kemungkinan disabilitas dan kejadian epilepsi rekuren sangat bergantung pada jenis kejang epilepsi yang dialami serta jenis diagnosis sindrom epilepsi pasien.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien epilepsi adalah pasien jatuh pada status epileptikus. Status epileptikus dapat terjadi pada semua tipe epilepsi. Sekitar 0.5% hingga 10% dari seluruh kematian pada pasien epilepsi diakibatkan oleh status epileptikus dengan angka rasio mortalitas 2,8.[2,12]
Selain status epileptikus, komplikasi epilepsi yang berbahaya namun lebih jarang adalah Sudden unexpected death in epilepsy (SUDEP). Kondisi SUDEP adalah kematian mendadak yang terjadi pada pasien epilepsi yang bukan disebabkan oleh kondisi medis tertentu, trauma, akibat tenggelam, atau status epileptikus.[12]
Mekanisme kematian akibat SUDEP diduga berhubungan dengan aritmia jantung, edema paru neurogenik, sufokasi saat kejang dengan gangguan kesadaran.[13]
Angka insidensi kematian akibat SUDEP 2,3 kali lebih tinggi dari insidensi kematian di populasi umum. Angka insidensi SUDEP berkisar antara 0,35-9,3 per 1000 pasien epilepsi pertahunnya. Risiko kematian akibat SUDEP meningkat pada jenis epilepsi fokal onset, pasien dengan kejang yang tidak terkontrol, pasien yang tidak rutin minum obat, dan pasien dengan kejang tipe tonik klonik generalisata sekunder yang tidak terkontrol.[2,13]
Prognosis
Karena prognosis sangat bergantung pada tipe epilepsi serta sindrom epilepsi yang diderita, prognosis untuk tiap pasien bisa berbeda. Persentase rekurensi berkisar antara 15 hingga 70% pada pasien dengan abnormalitas pada pemeriksaan EEG dan MRI. Terapi obat antiepilepsi juga hanya efektif pada 70% pasien saja.[13]
Pasien epilepsi, terutama yang telah terdiagnosis dengan sindrom epilepsi umumnya memiliki berbagai komorbid yang sangat mempengaruhi prognosis pasien kedepannya.. Faktor komorbid ini memiliki rentang yang cukup luas, mulai dari penyulit sederhana hingga berat contohnya gangguan belajar hingga tingkat intelektual yang rendah. Gangguan kejiwaan juga umum ditemukan mulai dari autisme hingga depresi.[6]
Deteksi dini komorbid seperti gangguan kejiwaan, gangguan proses pembelajaran, gangguan gait, skoliosis dan cerebral palsy penting untuk dilakukan sehingga dapat dilakukan tatalaksana yang sesuai kepada pasien.[6]