Penatalaksanaan Spinal Cord Injury
Penatalaksanaan awal spinal cord injury atau cedera spinal berfokus pada prosedur life-saving, yakni menjaga patensi jalan napas, sirkulasi, dan pernapasan (airway, breathing, circulation). Manajemen jalan napas sangat penting karena komplikasi sistem respirasi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada cedera spinal. Dalam penanganan awal, dokter juga perlu mengatasi hipotensi dan mewaspadai iskemia-reperfusi.[1-3]
Manajemen Awal
Pasien dengan spinal cord injury memerlukan perawatan di layanan kesehatan dengan trauma center yang kompeten. Pusat kesehatan yang mengobati pasien harus memiliki modalitas neuroimaging, serta ahli bedah ortopedi atau bedah saraf.
Manajemen Pre-Hospital
Pada manajemen pre-hospital, umumnya dilakukan pemasangan cervical hard collar pada hard backboard untuk menjaga spinal alignment. Namun, beberapa studi melaporkan bahwa penggunaan cervical collar tidak adekuat untuk imobilisasi cervical spine. Studi menemukan penggunaan cervical hard collar berkepanjangan dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, pressure injury, dan risiko pneumonia aspirasi pada pasien muntah. Selanjutnya, dilakukan stabilisasi medis, pemasangan NGT, dan pemasangan kateter urine.[1,2,10-12]
Manajemen Lanjutan
Setelah pasien stabil, pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat. Sebaiknya pasien dirawat di ruang intensif untuk memantau defisit neurologis. Bila tidak tersedia, rujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut.[2]
Rehabilitasi merupakan bagian penting untuk pasien dengan spinal cord injury. Rehabilitasi dapat dimulai sejak pasien hendak dipulangkan. Rehabilitasi bertujuan untuk mempertahankan fungsi dan mencegah penurunan fungsi lebih lanjut.[2,13]
Belum ada obat-obatan yang dapat meningkatkan luaran dari spinal cord injury. Penggunaan steroid masih diperdebatkan. Pada tahap pemulangan pasien, perlu dilakukan manajemen secara bertahap agar pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri dan meningkatkan kualitas hidup. Dibutuhkan kerjasama multidisiplin serta dukungan dari keluarga pasien.[2,10-13]
Pencegahan Kolaps Kardiovaskular
Hipovolemia atau venous pooling akibat syok neurogenik dapat mengakibatkan kolaps kardiovaskular dan dikaitkan dengan luaran yang lebih buruk. Pemberian kristaloid dan vasopresor dapat dilakukan untuk manajemen hipotensi akut. Pada orang dewasa, studi retrospektif menunjukkan bahwa mean arterial pressure (MAP) harus dipertahankan pada 85-90 mmHg selama 7 hari pertama setelah cedera.[8]
Pencegahan Kejadian Tromboembolisme
Deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru merupakan komplikasi serius yang dapat terjadi pada pasien spinal cord injury. Penurunan mobilitas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kejadian tromboembolisme pada pasien spinal cord injury.
Pasien bisa tidak menyadari terbentuknya trombus pada ekstremitas akibat hilangnya fungsi sensorik. Kejadian tromboembolisme dapat menyebabkan kematian mendadak.
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian heparin. Tromboprofilaksis juga dapat dilakukan secara mekanis, misalnya dengan penggunaan perangkat kompresi pneumatik dan stoking kompresi bertingkat.[8]
Pencegahan Komplikasi Lainnya
Potensi komplikasi cedera spinal lainnya mencakup ulkus dekubitus, pneumonia, dan atelektasis. Ulkus paling sering muncul pada sakrum, tetapi ulkus tumit dan iskiadika juga sering terjadi. Intervensi yang dapat dilakukan adalah memastikan kecukupan nutrisi pasien, melakukan perubahan posisi pasien secara berkala, dan menjaga kebersihan kulit yang baik. Untuk mencegah pneumonia dan atelektasis, dapat dilakukan reposisi pasien secara berkala, latihan gerak pasif, dan pemantauan fungsi pernapasan.[8]
Dekompresi Bedah
Pembedahan sering diperlukan pada pasien spinal cord injury untuk menghilangkan fragmen tulang, benda asing, atau herniasi diskus yang menekan spinal. Pembedahan juga dapat dilakukan untuk stabilisasi spinal untuk mencegah nyeri atau deformitas di kemudian hari.
Edema dan perdarahan progresif berkontribusi terhadap kerusakan mekanik pada sirkulasi mikrovaskuler korda spinalis. Tindakan dekompresi bedah bertujuan untuk mengurangi tekanan tersebut sehingga mengurangi hipoksia dan edema sekunder.[2,8]
Methylprednisolone
Methylprednisolone sering diberikan pada cedera spinal karena dipercaya bermanfaat meningkatkan luaran neurologis pasien. Methylprednisolone dapat mengurangi stres oksidatif yang terlibat dalam patogenesis cedera spinal dan dianggap bermanfaat meredakan inflamasi pada fase akut cedera. Meski demikian, bukti yang mendukung manfaat penggunaan methylprednisolone dalam meningkatkan luaran klinis pasien cedera spinal masih belum adekuat.[8]
Penulisan pertama oleh: dr. Bunga Saridewi