Diagnosis Transient Ischemic Attack (TIA)
Diagnosis transient ischemic attack (TIA) ditegakkan secara klinis dengan menilai defisit neurologis yang terjadi disertai dengan perbaikan dalam 24 jam pasca awitan. Namun pemeriksaan tambahan dengan metode pencitraan tetap dibutuhkan untuk menentukan ada tidaknya lesi iskemik yang terjadi di otak pasien untuk membedakan dengan stroke.[1,10]
Keluhan pasien TIA mirip seperti stroke, yakni gangguan sensorik atau motorik yang muncul secara akut. Biasanya pasien TIA yang datang ke ruang gawat darurat, sudah tidak bergejala lagi, sehingga riwayat penyakit harus ditanyakan secara detil, mencakup awitan, durasi, gejala neurologis, gejala penyerta, dan faktor risiko.[3]
Anamnesis
Anamnesis pada pasien TIA sangat penting karena sampai saat ini umumnya diagnosis TIA masih ditegakkan secara klinis sehingga anamnesis akurat merupakan kunci penegakkan diagnosis yang penting. Namun hal ini juga menimbulkan permasalahan tersendiri karena variabilitas yang tinggi pada penegakan diagnosis TIA oleh tiap-tiap klinisi.[1]
Gejala Klinis
Gejala yang umumnya terjadi meliputi kelemahan atau mati rasa pada salah satu sisi tubuh, gangguan bicara (disartria), kehilangan penglihatan pada satu sisi (amaurosis fugax), pusing, atau kesulitan berjalan.
Durasi gejala merupakan informasi penting, karena TIA secara definisi adalah serangan iskemik sementara yang gejalanya hilang dalam 24 jam. Oleh karena itu, mengetahui berapa lama gejala berlangsung dapat membantu membedakan antara TIA dan stroke.[1,3]
Gejala pada TIA bersifat mendadak, dengan defisit paling maksimal pada saat keluhan pertama muncul. Apabila defisit neurologis bermigrasi secara gradual ke bagian tubuh lain, maka perlu dipikirkan diagnosis banding lain. Selain itu, jika keluhan sering berulang, maka perlu juga disingkirkan kemungkinan penyebab lain, contohnya kejang.[1]
Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya TIA adalah riwayat hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, merokok, konsumsi alkohol berlebihan, obesitas, dan riwayat penyakit jantung. Riwayat medis yang berkaitan dengan TIA juga perlu ditanyakan, antara lain riwayat stroke atau TIA sebelumnya, riwayat atrial fibrilasi, dan riwayat keluarga serangan iskemik.[1,3]
Pemeriksan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien TIA harus berfokus pada identifikasi defisit neurologis dan gangguan bicara yang merupakan gejala paling sering pada TIA. Pemeriksaan saraf kranial dapat menguji adanya kebutaan monokular, ambliopia, wajah asimetris, hemianopia, diplopia, gerakan lidah abnormal, disfagia, dan disfungsi auditorik.[3]
Pemeriksaan Neurologis
Pasien TIA umumnya akan datang dengan keluhan defisit neurologis yang bersifat mendadak, contohnya kelemahan satu sisi anggota tubuh, afasia, atau disartria. Umumnya gejala tersebut tidak progresif. Gejala TIA juga umumnya bersifat negatif daripada positif, contohnya keluhan kehilangan penglihatan mendadak umum ditemukan daripada keluhan penglihatan silau, atau kehilangan indera perabaan lebih sering daripada rasa kesemutan.[5]
Pemeriksaan fisik sangat bermanfaat untuk membantu menentukan apakah gejala neurologis yang ada bersifat fokal atau nonfokal. Iskemia serebral regional akan menyebabkan gejala yang bersifat fokal. Gejala neurologis yang bersifat fokal umumnya terjadi pada satu sisi bagian tubuh saja. Di sisi lain, gejala neurologis nonfokal seperti kelemahan seluruh tubuh atau pingsan, jarang berkaitan dengan TIA.[1]
Pemeriksaan Lainnya
Selain pemeriksaan neurologis, pemeriksaan fisik standar yang harus dilakukan pada pasien dengan kecurigaan TIA adalah pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik jantung. Tanda vital seperti tekanan darah, denyut nadi, dan saturasi oksigen harus selalu diukur pada setiap pasien TIA yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Selanjutnya, perlu dilakukan pemeriksaan fisik jantung standar dan auskultasi karotis untuk mencari ada tidaknya bruit karotis.[1,3,10]
TIA Klasik dan Non Konsensus
Manifestasi klinis TIA dapat dibagi menjadi TIA klasik dan non-konsensus. Pada TIA klasik, gambaran defisit neurologis berifat tipikal atau umum ditemukan dan lebih mudah dalam menegakkan diagnosis TIA. Pada TIA non-konsensus, defisit neurologis yang muncul tidak umum ditemukan pada pasien TIA, sehingga lebih jarang terdiagnosis.[3,10]
TIA Klasik:
Manifestasi klinis yang didapatkan pada pemeriksaan fisik TIA klasik antara lain:
- Kelemahan motorik: kelemahan anggota gerak motorik atau tubuh yang bersifat transient dengan onset mendadak, termasuk pada wajah dan ekstremitas
- Disfasia: awitan mendadak dan bersifat transien dari disfasia ekspresif atau reseptif, atau keduanya
- Gangguan sensorik: awitan mendadak dan bersifat transien dari hilangnya sensorik dari dua atau lebih bagian tubuh
- Hemianopia atau quadrantanopia: kehilangan penglihatan dengan onset mendadak dan bersifat transien pada sebagian lapang pandang tertentu
- Kehilangan visual monokuler: awitan mendadak dan bersifat transien
- Vertigo: awitan mendadak vertigo transien disertai gejala TIA lain
- Diplopia: awitan mendadak diplopia transien disertai gejala TIA lain
- Disartria: awitan mendadak disartria transien disertai gejala TIA lain
- Ataksia: awitan mendadak ataksia transien disertai gejala TIA lain[10]
TIA Non-Konsensus:
Manifestasi klinis yang didapatkan pada pemeriksaan fisik TIA non-konsensus antara lain:
- Hanya vertigo: awitan mendadak vertigo yang baru atau rekuren tanpa defisit neurologis lain yang menyertai. Tidak dicetuskan oleh gerakan kepala atau trauma, dan tidak disertai oleh nyeri telinga, tinnitus, atau kehilangan pendengaran
- Hanya ataksia: awitan mendadak gangguan gait yang bersifat transien tanpa penyebab lain
- Hanya diplopia: awitan mendadak penglihatan ganda binokular transien terisolasi tanpa penyebab okular atau neuromuskular yang jelas
- Hanya disartria: awitan mendadak bicara cadel yang bersifat transien
- Hanya gangguan visual bilateral: awitan mendadak gangguan visual bilateral terisolasi (kecuali hemianopia atau quadrantanopia) tanpa gejala positif yang menyertai
Single segment sensory loss: awitan mendadak baal di satu sisi bagian tubuh yang bersifat sementara tanpa gejala TIA lainnya[10]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding TIA antara lain adalah stroke iskemik dan stroke hemoragik, yang merupakan kondisi defisit neurologis menetap. Diagnosis banding lain mencakup meningitis dan diseksi arteri karotis.
Stroke
Stroke didefinisikan sebagai defisit neurologis fokal akut dengan etiologi vaskular, yang bertahan lebih dari 24 jam. Kondisi disfungsi neurologis global seperti stupor atau koma yang diakibatkan oleh iskemia batang otak atau perdarahan subarakhnoid juga termasuk dalam kelompok diagnosis stroke.
Pencitraan otak sangat penting untuk menentukan diagnosis stroke, serta membedakan stroke yang terjadi merupakan stroke iskemik atau hemoragik. Pada stroke iskemik tidak terjadi perdarahan di bagian otak, namun terjadi iskemik menetap yang diakibatkan oleh sumbatan tiba-tiba pembuluh darah otak yang mengakibatkan terputusnya aliran darah dan oksigen ke otak. Pemeriksaan CT scan non-kontras merupakan pemeriksaan paling umum digunakan untuk mengevaluasi stroke akut.[1,2,11,12]
Diseksi Arteri Karotis
Diseksi arteri karotis dimulai ketika terjadi robekan di arteri karotis leher, yang menyebabkan darah memasuki lapisan dinding pembuluh darah dan membelah lapisan pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan terbentuknya intramural hematoma atau dilatasi aneurisma, yang dapat menjadi sumber timbulnya mikroemboli.
Saat ini pencitraan magnetic resonance angiography (MRA) telah menjadi pilihan menggantikan pemeriksaan angiografi konvensional dalam penegakan diagnosis diseksi arteri karotis interna dan membedakannya dari diagnosis lain. Bahkan beberapa fasilitas kesehatan telah menjadikan MRA sebagai satu-satunya pilihan metode pencitraan untuk membantu penegakan diagnosis.[13]
Meningitis
Meningitis adalah suatu sindrom yang muncul akibat peradangan selaput meninges. Trias klasik meningitis bakterial antara lain adalah adanya demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Meningitis bakterial merupakan diagnosis banding pada pasien dengan manifestasi klinis nyeri kepala, kaku kuduk, demam, dan perubahan kesadaran.
Untuk membedakan TIA dan meningitis, dilakukan pungsi lumbal. Pemeriksaan cairan serebrospinal sangat membantu dalam penegakan diagnosis meningitis. Penegakan diagnosis meningitis bakterial dibuat dengan melakukan kultur pada sampel cairan serebrospinal pasien. [14]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan penatalaksanaan TIA antara lain adalah pemeriksaan jantung seperti elektrokardiografi (EKG), CT Scan, ultrasonografi, MRI, serta pemeriksaan laboratorium.[1,4,6]
Pedoman klinis menganjurkan pemeriksaan pencitraan saraf dilakukan dalam 24 jam onset TIA dan merekomendasikan pemilihan MRI dan diffusion-weighted MR imaging sebagai modalitas utama. Pemeriksaan CT scan yang dilakukan bersama CT angiogram sangat direkomendasikan apabila pemeriksaan MRI tidak ada atau tidak dapat dilakukan.
Pemeriksaan jantung, seperti EKG dan echocardiogram, bertujuan untuk mencari sumber emboli kardiak dan adanya penyakit patologis yang mendasari seperti patensi foramen ovale, penyakit katup jantung, trombus jantung, dan aterosklerosis. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi faktor risiko, seperti profil koagulasi, panel gula darah, dan profil lipid.[3]
CT Scan
Pencitraan otak adalah pemeriksaan kunci dalam kasus TIA. Pemeriksaan CT scan yang digunakan adalah pemeriksaan CT scan non-kontras untuk menyingkirkan kemungkinan etiologi struktural seperti subdural hematoma, perdarahan intrakranial, atau tumor otak. CT scan dianjurkan untuk dilakukan segera dalam 24 jam awitan TIA.[1,5]
Pada pasien dengan gejala TIA yang telah teresolusi sempurna, temuan bukti infark akut pada gambaran CT scan non-kontras dapat menjadi prediksi rekurensi, walaupun proporsi pasien dengan kasus ini sangat kecil yaitu hanya 4%.
Pencitraan dengan metode noninvasive CT angiography (CTA) dapat digunakan untuk mengidentifikasi stenosis atau oklusi di intrakranial dan ekstrakranial. Stenosis dan oklusi sangat berisiko mengalami rekurensi TIA hingga stroke apabila tidak dilakukan penanganan lanjutan.[1]
Magnetic Resonance Angiography
Magnetic resonance (MR) memiliki sensitivitas diagnostik yang lebih tinggi dari CT Scan. Magnetic resonance angiography (MRA) juga dapat memberikan informasi pencitraan pembuluh darah sefaloservikal. MRA dapat dilakukan secara bersamaan saat melakukan pemeriksaan MRI, sehingga dapat membantu klinisi membedakan etiologi sindrom-sindrom serebrovaskular.[1,4,7]
Ultrasonografi Vaskular
Carotid duplex ultrasound adalah modalitas pencitraan non-invasif yang bermanfaat untuk mengevaluasi penyakit oklusi yang terletak di bifurkasio. Bila teridentifikasi adanya stenosis derajat tinggi pada sisi retina ipsilateral arteri karotis, maka ini merupakan penanda risiko stroke. Namun, pemeriksaan ultrasonografi karotis ini tidak adekuat untuk memantau sirkulasi arteri karotis yang tidak berada di bifurkasio.
Ultrasonografi Doppler memiliki kelemahan karena hanya dapat memberikan gambaran pencitraan anatomi serebrovaskular yang terbatas. Namun, pemeriksaan ini sangat berguna pada pasien yang tidak dapat menjalani pemeriksaan MRA atau CTA, atau pada kondisi pasien yang membutuhkan data tambahan seperti morfologi dinding pembuluh darah, dinamika aliran arteri, potensi mikroemboli, dan adanya right-to-left shunts.[1]
EKG dan Pemeriksaan Jantung Lain
Pemeriksaan penunjang EKG 12 sadapan dilakukan untuk mengevaluasi ada tidaknya ritme jantung abnormal, contohnya atrial fibrilasi. Abnormalitas berupa perubahan gelombang P, left atrial enlargement (LAE), atau hipertrofi ventrikel kiri dapat menjadi penanda risiko stroke. Selain EKG, pemeriksaan jantung seperti echocardiogram diperlukan apabila tidak ditemukan etiologi pasti penyebab TIA.[1,3-5]
Pencitraan jantung komprehensif dengan transthoracic (TTE) atau transesophageal (TEE) echocardiogram disertai pemeriksaan ultrasonografi jantung dapat memberikan gambaran informasi lengkap mengenai morfologi dan fungsi jantung. Ini dapat membantu mendiagnosis etiologi trombus, seperti left ventricular akinesis, poor ejection fraction, atrial miksoma, patent foramen ovale (PFO), atrial septal defect, ventricular septal defect, dan trombus ventrikel kiri.[3-5]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap bisa diperlukan untuk melihat ada tidaknya anemia atau eritrositosis sebagai penyebab TIA. Hitung platelet juga cukup relevan karena trombositosis dapat menjadi penyebab potensial TIA. Pemeriksaan lain seperti profil koagulasi (partial thromboplastin time atau international normalized ratio) dapat membantu mendiagnosis gangguan koagulasi.[1]
Pemeriksaan glukosa darah dan profil lipid juga diperlukan. Kondisi hipoglikemia dan hiperglikemia dapat menyerupai gejala TIA. Selain itu, diabetes mellitus dan dislipidemia merupakan faktor risiko potensial terjadinya TIA dan stroke iskemik, sehingga sangat bermanfaat dalam evaluasi potensi risiko rekurensi TIA kedepannya.[1,4]
Penanda imunologis seperti antibodi antifosfolipid, dan pemeriksaan genetik seperti mutasi faktor V Leiden, perlu dilakukan pada pasien dengan riwayat hiperkoagulasi, termasuk kanker, khususnya adenokarsinoma, deep vein thrombosis, atau kondisi autoimun.[4]
Penulisan pertama oleh: dr. Imanuel Natanael Tarigan