Pendahuluan Kanker Ovarium
Kanker ovarium merupakan salah satu keganasan ginekologi yang paling sering terjadi pada wanita dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Tingginya angka mortalitas berkaitan erat dengan sulitnya deteksi dini kanker ovarium, sehingga pasien umumnya datang sudah dalam kondisi stadium lanjut. Alat skrining yang tersedia saat ini sayangnya memiliki angka prediktif yang rendah, sehingga tidak direkomendasikan untuk dilakukan sebagai pemeriksaan rutin.[1,2]
Berdasarkan temuan histopatologi, kanker ovarium terbagi menjadi epitelial dan non-epitelial. Kanker ovarium tipe epitelial terbagi lagi menjadi dua, yakni musinosa dan non-musinosa seperti tipe serosa dan endometrioid. Terdapat beberapa faktor risiko yang diduga berkaitan erat dengan terjadinya kanker ovarium, yakni menopause, terapi hormonal, riwayat keluarga dengan kanker ovarium atau kanker payudara, obesitas, dan kebiasaan merokok.[2]
Gejala yang dialami penderita kanker ovarium umumnya tidak spesifik. Pada stadium awal, kanker ovarium bahkan sering bersifat asimptomatik. Gejala baru akan muncul setelah stadium lanjut, seperti perut terasa penuh, kembung, mual, distensi abdomen, sensasi cepat kenyang, konstipasi, fatigue, nyeri punggung, dispareunia, dan penurunan berat badan.[1,2]
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan rektovaginal untuk mencari adanya masa pada abdomen maupun pelvis. Sementara itu, pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan ultrasonografi, tumor marker CA-125, biopsi, CT Scan, MRI, dan pemeriksaan PET Scan.[1]
Penatalaksanaan pada kasus kanker ovarium dapat dilakukan dengan kemoterapi dan pembedahan. Kemoterapi yang diberikan yakni platinum-based, namun pada beberapa kasus dapat diberikan terapi dengan kombinasi anti-angiogenic becavizumab dan inhibitor PARP.[1,2]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelvi Levani
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta