Penatalaksanaan Mastitis
Penatalaksanaan pada mastitis meliputi pengosongan payudara, serta terapi suportif, seperti beristirahat dan kompres payudara. Jika gejala mastitis tidak membaik dalam 24–48 jam, dapat diberikan antibiotik, misalnya cephalexin atau clindamycin. Pasien mastitis tidak perlu berhenti menyusui, sebab meskipun menderita mastitis, menyusui tidak membahayakan bayi.
Selain kuratif, tata laksana bertujuan untuk mencegah komplikasi, seperti abses payudara. Pasien dengan abses payudara perlu dirujuk ke ahli bedah untuk terapi definitif.
Pengosongan Payudara (Effective Milk Removal)
Pengosongan payudara secara efektif merupakan salah satu langkah manajemen yang paling penting dan seringkali efektif dalam menangani mastitis karena salah satu penyebab terjadinya mastitis adalah aliran susu yang statis. Langkah-langkah yang dapat dilakukan:
- Ibu harus didorong untuk menyusui lebih sering, dimulai dari payudara yang sakit. Jika rasa sakit mengganggu let down reflex, mulai menyusui dari payudara yang tidak sakit, kemudian setelah let down reflex muncul, beralih menyusui di payudara yang sakit
- Posisikan bayi di payudara dengan dagu atau hidung mengarah pada sumbatan akan membantu menghilangkan sumbatan
- Memijat payudara selama menyusui dengan minyak nabati, atau pelumas lain yang aman jika termakan, juga dapat membantu pengosongan payudara
- Setelah menyusui, kosongkan payudara lebih lanjut menggunakan tangan atau pompa[4]
Cara lain untuk mengatasi pembengkakan payudara adalah dengan mobilisasi cairan, yang bertujuan untuk menstimulasi drainase cairan ke kelenjar limfe aksila. Untuk melakukannya, ibu perlu berbaring, lalu memijat payudara dengan lembut dari areola menuju aksila.[4]
Meskipun terjadi mastitis, menyusui langsung kepada bayi yang sehat tidak terbukti membahayakan kesehatan. Bagi ibu yang kesulitan untuk menyusui, ASI dapat dikeluarkan dengan pijatan tangan atau menggunakan pompa. Menghentikan menyusui secara tiba-tiba meningkatkan risiko terbentuknya abses payudara.[20]
Terapi Suportif
Terapi suportif yang dapat dilakukan adalah istirahat, konsumsi cairan yang cukup, dan nutrisi yang adekuat. Selain itu kompres hangat pada payudara sesaat sebelum menyusui dapat membantu aliran susu. Setelah menyusui, dilakukan kompres dingin untuk mengurangi rasa sakit dan edema.[4,20]
Terapi Farmakologi
Tata laksana farmakologi yang dapat digunakan pada mastitis adalah analgesik, seperti ibuprofen dan paracetamol. Jika gejala mastitis terus berlanjut melebihi 24–48 jam, berikan antibiotik, misalnya cephalexin atau dicloxacillin.
Analgesik
Analgesik dapat digunakan untuk membantu mengurangi rasa nyeri. Ibuprofen dan paracetamol umumnya cukup untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien mastitis. Dosis Ibuprofen adalah 1,6 gram/hari, diberikan dalam dosis terbagi 200–400 mg per kali, dan tidak membahayakan untuk ibu menyusui. Dosis paracetamol yang dapat digunakan adalah 500–1000 mg dapat digunakan setiap 6 jam, dengan dosis maksimal 4 g per 24 jam.[4]
Antibiotik
Penggunaan antibiotik yang adekuat diperlukan dalam pengobatan mastitis. Jika memungkinkan, sebaiknya diberikan berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas. Staphylococcus aureus adalah penyebab tersering, sehingga pemberian antibiotik empiris yang efektif terhadap patogen ini lebih disarankan.[1,4,6]
Sebetulnya, hingga saat ini belum terdapat randomized clinical trial (RCT) berkualitas baik yang mengonfirmasi efektivitas antibiotik pada mastitis laktasional. Tinjauan dari Cochrane menyimpulkan bukti-bukti klinis yang ada belum cukup untuk memastikan penggunaan antibiotik lebih baik dari obat-obatan lain. Namun, sampai adanya bukti klinis yang pasti, pemberian antibiotik dapat dilakukan pada mastitis.[22]
Cephalexin:
Dosis cephalexin adalah 500 mg, 4 kali sehari, selama 10–14 hari. Perlu diingat, cephalexin tidak dapat digunakan pada pasien yang alergi penicillin, maupun memiliki riwayat sensitivitas terhadap golongan sefalosporin, misalnya cefixime atau ceftriaxone.[4,20]
Clindamycin:
Dosis clindamycin adalah 300 mg, 4 kali sehari, selama 10–14 hari. Clindamycin sesuai untuk digunakan pada methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) atau pada pasien dengan riwayat alergi penicillin.[4,20]
Dicloxacillin:
Dosis dicloxacillin adalah 500 mg, 4 kali sehari, selama 10–14 hari. Dicloxacillin merupakan antibiotik yang cukup sering digunakan pada pasien rawat jalan.[4,20]
Trimethoprim/ Sulfamethoxazole:
Dosis Trimethoprim/ sulfamethoxazole adalah 160 mg/800 mg, 2 kali sehari, selama 10–14 hari. Antibiotik ini juga sesuai untuk digunakan pada MRSA. Hindari pemakaian jika usia bayi <1 bulan, ada jaundice, prematur, atau defisiensi glucose-6- phosphate dehydrogenase (G6PD).[4,20]
Amoxicillin/Klavulanat:
Dosis amoxicillin/klavulanat adalah 875 mg, 2 kali sehari, selama 10–14 hari. Namun, saat ini amoxicillin/ klavulanat jarang digunakan, sebab banyak kasus resistensi antibiotik.[4,20]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra