Pendahuluan Tumor Pituitari
Tumor pituitari menyumbang sekitar 10–15% dari total kejadian tumor otak. Sebanyak 90% kasus tumor pituitari merupakan adenoma yang bersifat jinak, tetapi beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan patofisiologinya dapat memengaruhi kecepatan pertumbuhan dan agresivitasnya.[1,2]
Di Amerika Serikat, prevalensi tumor pituitari adalah 1,82 kasus per 100.000 orang. Menurut studi, adenoma ditemukan secara tidak sengaja pada nyaris 10% pasien yang diautopsi. Tumor pituitari lebih sering ditemukan di adenohipofisis dan jarang dijumpai di neurohipofisis. Namun, neurohipofisis merupakan lokasi yang umum untuk metastasis tumor pituitari.[2]
Identifikasi tumor pituitari secara dini akan menentukan keberhasilan terapi, sehingga klinisi perlu mengenali tanda dan gejala klinis tumor ini. Gejala dapat timbul akibat tekanan massa terhadap jaringan sekitarnya dan pengaruhnya terhadap organ target. Tumor pituitari dapat menyebabkan kekurangan atau kelebihan produksi hormon tertentu yang memengaruhi organ target.[1,3]
Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan untuk menegakkan diagnosis tumor pituitari adalah pemeriksaan radiologi dan patologi. MRI otak dan regio sella turcica dengan irisan multiplanar tipis menghasilkan penampang aksial, koronal, dan sagital struktur-struktur yang ada di sella turcica. Pemeriksaan histologis, elektromikroskopis, dan imunohistokimia lesi yang dikorelasikan dengan kondisi klinis dan pemeriksaan radiologis akan menunjang diagnosis.[1]
Penatalaksanaan tumor pituitari meliputi terapi medikamentosa dan pembedahan. Obat diberikan sesuai gejala klinis. Misalnya, agonis reseptor dopamin diberikan untuk mengatasi prolaktinoma, sementara terapi penggantian hormon diberikan jika ada defisiensi hormon tertentu. Ada berbagai metode pembedahan untuk mengakses area sella, salah satunya adalah endoskopi dengan pendekatan transnasal.[1]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur