Penatalaksanaan Fraktur dan Dislokasi Tulang Belakang
Penatalaksanaan dari fraktur dan dislokasi tulang belakang memiliki beberapa prinsip yang perlu diperhatikan seperti memelihara fungsi neurologis pasien, meminimalisir terjadinya kompresi neurologi, stabilisasi tulang belakang, dan rehabilitasi. Hal ini dapat dicapai dengan tatalaksana operatif maupun non-operatif.[1]
Untuk pasien trauma penanganan bisa dimulai dari tatalaksana gawat darurat, untuk pasien non-trauma pilihan tatalaksana bisa langsung dimulai dari konservatif dan pembedahan tergantung dari indikasinya.
Tatalaksana Gawat Darurat
Tatalaksana awal pada pasien dengan trauma adalah stabilisasi pasien dengan menggunakan protokol dari Advance Trauma Life Support (ATLS) yaitu stabilisasi Airway, Breathing, Circulation dan imobilisasi.[2]
Tatalaksana Konservatif
Tatalaksana konservatif yang umumnya dilakukan adalah orthoses, latihan fisik dan terapi farmakologi. Indikasi dari tata laksana konservatif pada fraktur tulang belakang menurut Spine Working Group of the German Society for Orthopedics and Trauma adalah:
- Fraktur tipe A0
- Fraktur tipe A1 dengan deformitas kyphotic yang dapat diterima
- Fraktur tipe A2 tanpa cidera pada diskus atau fraktur dengan pergeseran
- Tidak terdapat informed consent untuk operasi[24]
Orthoses
Orthoses merupakan alat bantu untuk menstabilisasi tulang belakang, contoh orthoses adalah brace dan spinal orthotic vest. Tujuan dari orthoses ini adalah untuk menghindari terjadinya pergerakan rotasi maupun bending. Orthoses juga dinyatakan memiliki komponen analgesik pada pasien. Menurut sebuah kajian pustaka orthoses dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dalam kembali bekerja sebanyak lebih dari 75% pada pasien dengan fraktur torakolumbal yang stabil.
Kekurangan dari orthoses tidak nyaman digunakan dan tidak terlalu berpengaruh terhadap stabilisasi spinal torakal dan lumbal.[2,24,25]
Latihan Fisik
Latihan fisik dapat dilakukan dengan tujuan membantu kekuatan otot, memperbaiki postur dan keseimbangan. Latihan fisik ini juga dapat mengurangi nyeri dan risiko fraktur pada pasien dengan cidera tulang belakang. Latihan yang direkomendasikan adalah aktivitas angkat beban, latihan postur, resistensi, peregangan otot dan keseimbangan. Menurut sebuah kajian pustaka latihan fisik yang dilakukan selama 10 minggu dapat meningkatkan kekuatan bagian belakang, kualitas hidup, dan berkurangnya nyeri pada pasien.[15,16]
Farmakoterapi
Tatalaksana farmakoterapi yang digunakan pada pasien dengan fraktur dan dislokasi tulang belakang adalah obat golongan anti nyeri dan steroid dosis tinggi. Penggunaan obat golongan anti nyeri dapat menggunakan Pain Relief Ladder dari WHO. Terapi yang digunakan adalah nonopioid analgesik, opioid, dan muscle relaxant.[2-3,24]
Anti Nyeri:
Nonopioid analgesik yang digunakan adalah nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), dan golongan coxibs. Metamizole telah ditarik oleh FDA pada penggunaan manusia. Golongan opioid digunakan apabila terdapat nyeri yang berat atau respon pasien yang tidak adekuat pada golongan obat nonopioid.
Tatalaksana untuk nyeri umumnya diberikan selama 6 minggu, dan jika tidak terdapat perbaikan maka dapat dipertimbangkan untuk melakukan tatalaksana operasi[16,24]
Steroid Dosis Tinggi:
Steroid dosis tinggi digunakan pada pasien dengan cidera spinal cord sedang hingga berat yang berfungsi untuk meningkatkan fungsi motorik dan sensorik pada pasien. Steroid yang dapat diberikan adalah methylprednisolone dalam 8 jam setelah terjadi cidera. Tata cara pemberian adalah dengan memberikan 30 mg/kg secara bolus, dengan dosis awitan 5.4 mg/kg/jam selama 23 jam berikutnya.
Namun, pada prakteknya penggunaan steroid dosis tinggi masih kontroversial dan perlu dipertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam penggunaannya. Penelitian lebih besar dengan metodologi yang sesuai dibutuhkan untuk melihat efikasi dan keamanan dari pemberian steroid dosis tinggi.[1-2]
Pembedahan
Tujuan dari tatalaksana pembedahan adalah untuk dekompresi dari spinal cord canal serta stabilisasi kolumna vertebra. Terdapat 3 pendekatan pada pembedahan fraktur tulang belakang yaitu bagian anterior, posterolateral dan anterior. Pemilihan pendekatan ini berdasarkan lokasi anatomi defek.[2]
Indikasi pembedahan pada pasien dengan fraktur dan dislokasi tulang belakang adalah:
- Terdapat defisit neurologis
- Fraktur tipe C dan tipe B
- Deformitas kifosis >15–20 derajat pada posisi normal
- Deformitas scoliosis >10 derajat
- Cidera pada diskus
- Nyeri yang tidak mengalami perbaikan setelah anti-nyeri[24]
Pendekatan posterior dengan insisi midline dan laminektomi umumnya dilakukan pada defek bagian posterior, namun teknik ini jarang dilakukan karena visual terhadap tubuh vertebra tidak terlihat. Teknik ini dilakukan apabila tidak ada pertimbangan terhadap dekompresi dari kanal spinalis. Pendekatan superior merupakan pendekatan yang paling sering digunakan pada fraktur dislokasi.[2-3]
Pendekatan posteroanterolateral umumnya dikombinasi dengan prosedur stabilisasi posterior yang hanya memerlukan akses terhadap anatomi bagian ventral yang minimal. Teknik ini digunakan pada fraktur bagian torakal T1 hingga T4.[2]
Pendekatan anterior merupakan pendekatan yang paling sering dilakukan karena pendekatan ini memiliki akses terhadap tubuh vertebra pada seluruh ketinggian. Teknik ini digunakan untuk cidera dekompresi yang disebabkan oleh fraktur tubuh vertebra seperti burst fracture, sagittal slice fracture, dan fraktur kompresi berat.[2]
Teknik pembedahan yang paling sering digunakan pada fraktur kompresi adalah vertebroplasty perkutaneus dan balloon kyphoplasty karena tingkat komplikasi dan invasive yang minim dibandingkan teknik lain. Nyeri yang dirasakan pasien akan berkurang dalam 24 jam setelah dilakukan prosedur. [16,26]
Vertebroplasty merupakan tindakan memasukkan cairan cement ke dalam tubuh vertebra dengan menggunakan jarum, sedangkan kifoplasti merupakan tindakan memasukkan balon ke dalam tubuh vertebra yang nantinya di inflasi dan cairan cement untuk mengembalikan tinggi dari tulang belakang dan mengurangi nyeri.[4]