Patofisiologi Influenza
Patofisiologi influenza dimulai dari inhalasi droplet virus influenza. Virus influenza masuk melalui inhalasi dari droplet yang infeksius, aerosol partikel mikro, maupun inokulasi langsung lewat sentuhan tangan dari penderita. Virus kemudian mengikat reseptor asam sialat yang terdapat pada sel epitel jalan napas, khususnya di trakea dan bronkus.
Selanjutnya, replikasi virus mencapai puncaknya dalam 48 jam pasca infeksi dan jumlah virus berhubungan langsung dengan derajat keparahan penyakit. Pada kasus yang berat, terdapat perluasan infeksi virus mencapai bagian paru distal yang sesuai dengan karakteristik pneumonitis interstisial. Kerusakan pada alveoli yang disertai pembentukan membran hialin menyebabkan perdarahan dan eksudat keluar dari kapiler alveolar menuju lumen yang kemudian mengakibatkan gangguan pertukaran gas dan disfungsi napas berat.[1,2]
Penularan dan Infeksi Influenza
Influenza disebabkan oleh virus RNA kelompok Orthomyxovirus yang terdiri dari tiga jenis utama yaitu virus influenza A, B, dan C. Virus influenza tipe A memiliki variasi genetik yang lebih luas dan dapat menyebabkan pandemi jika terjadi perubahan genetik signifikan.
Penularan influenza terjadi melalui droplet saluran pernapasan individu yang terinfeksi. Setelah masuk ke dalam saluran pernapasan, virus menyerang sel epitelium pernapasan bagian atas. Virus influenza menempel pada reseptor sel dan memasuki sel inang melalui endositosis.
Di dalam sel, materi genetik virus dilepaskan dan mengarahkan sel inang untuk memproduksi virus baru. Proses replikasi ini merusak sel dan memicu respon inflamasi yang menyebabkan gejala klinis seperti demam, nyeri otot, dan batuk.[2]
Infeksi Influenza Meningkatkan Risiko Infeksi Bakteri
Virus influenza dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan epitelium pernapasan, meningkatkan risiko infeksi sekunder oleh bakteri, khususnya Streptococcus pneumoniae, yang dapat menyebabkan pneumonia. Respon imun tubuh, terutama sel T dan B, berperan dalam memerangi virus influenza. Namun, perubahan genetik pada virus dan evolusi cepat dapat membuat sistem kekebalan sulit untuk menghasilkan perlindungan yang sempurna.[2,3]
Penulisan pertama: dr. Sunita