Pendahuluan Malaria
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit protozoa Plasmodium. Penyakit infeksi ini memiliki gejala klasik, yaitu demam paroksismal, menggigil, dan diaforesis.
Malaria ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. betina. Ada 5 jenis spesies Plasmodium yang dapat menimbulkan malaria pada manusia, yakni Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, dan Plasmodium knowlesi.[1]
Siklus hidup Plasmodium terbagi 2, yakni di dalam tubuh manusia (aseksual) dan di dalam tubuh nyamuk (seksual). Di dalam tubuh manusia, Plasmodium mengalami siklus eksoeritrositik (asimtomatik) dan siklus eritrositik (simtomatik).
Di dalam sel darah merah, parasit tersebut menggunakan hemoglobin sebagai sumber nutrisinya dan menghasilkan zat sisa heme yang diagregasi oleh parasit menjadi pigmen hemozoin yang tidak larut. Pigmen tersebut menumpuk di berbagai organ seperti otak, hati, dan limpa yang menimbulkan berbagai manifestasi klinis.[2]
Pasien yang terinfeksi malaria menunjukkan gejala setelah beberapa minggu terinfeksi (masa inkubasi tergantung spesies Plasmodium). Gejala malaria adalah demam paroksismal, sakit kepala (ditemukan pada hampir semua pasien malaria), malaise, rasa lelah berlebihan, batuk, nyeri otot dan sendi, penurunan nafsu makan, mual, muntah, serta diare.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan anemia, jaundice, dan hepatosplenomegali. Pada kasus malaria berat, manifestasi klinis yang dapat ditemukan adalah malaria serebral (penurunan kesadaran bisa sampai koma), anemia berat, gagal ginjal akut, acute respiratory distress syndrome, dan asidosis metabolik.[3]
Selain berdasarkan gejala klinis, diagnosis malaria selain berdasarkan gejala klinis juga harus didukung oleh hasil pemeriksaan mikroskopik apusan darah tepi. Pemeriksaan rapid diagnostic test (RDT) juga dapat digunakan untuk diagnosis serta umum digunakan untuk skrining dan kebutuhan surveilans.[3]
Pengobatan antimalaria hanya diberikan kepada pasien yang telah terkonfirmasi dari pemeriksaan penunjang malaria. Antimalaria yang digunakan dan tersedia di Indonesia adalah artemisinin combination therapy (ACT). Penggunaan ACT dipilih karena sebagian besar wilayah di Indonesia menunjukkan resistensi terhadap chloroquine.
Pada kasus Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, regimen tersebut ditambah dengan primaquine hingga 14 hari untuk membunuh parasit dengan stadium hipnozoit, sehingga relaps dapat dicegah.[4,5]
Jika tidak disertai komplikasi, prognosis malaria umumnya baik dan sebagian besar pasien mengalami perbaikan klinis dalam waktu 48 jam setelah pemberian antimalaria. Prognosis dapat menjadi buruk apabila terjadi malaria serebral, ARDS, asidosis laktat, gagal ginjal akut, gangguan koagulasi, dan anemia berat.[3,6]
Sebagai upaya pengendalian penyakit ini, Indonesia memiliki Program Eliminasi Malaria yang strateginya menitikberatkan pada penggunaan kelambu, penyemprotan dalam ruangan, serta penemuan kasus aktif dan deteksi dini malaria yang diikuti dengan pengobatan yang tepat hingga tuntas.[7-9]