Diagnosis Malaria
Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti malaria ditegakkan dari pemeriksaan darah mikroskopis atau rapid diagnostic test (RDT). Diagnosis malaria berat ditegakkan berdasarkan kriteria malaria berat dari WHO.[4]
Anamnesis
Pada anamnesis, gejala utama malaria yang sering dikeluhkan adalah demam, menggigil, malaise, mialgia, gejala gastrointestinal (mual, muntah, dan diare), gejala neurologis (disorientasi dan penurunan kesadaran), sakit kepala, dan/atau batuk. Gejala klasik malaria adalah demam paroksismal yang didahului fase menggigil lalu diikuti demam tinggi dan berkeringat banyak.[4]
Pada pasien yang tinggal di daerah endemis, terkadang gejala klasik malaria tidak ditemukan. Pasien anak-anak juga sering kali datang dengan gejala yang tidak spesifik dan gejala gastrointestinal yang menonjol.[4,16]
Malaria wajib dicurigai bila menemukan gejala-gejala tersebut pada pasien yang tinggal di daerah endemis malaria atau pada pasien dengan riwayat bepergian ke daerah endemis malaria.[4,30]
Dokter juga perlu menanyakan riwayat sakit malaria atau minum obat malaria, status imunologi pasien, usia, status kehamilan, alergi, penyakit lain yang diderita pasien, riwayat transfusi darah, dan obat-obatan yang dikonsumsi.[3,4]
Sebagian pasien yang mengalami terinfeksi dapat bersifat asimtomatik, tetapi tetap menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan apusan darah tepi atau skrining dengan RDT.[15]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah suhu tubuh ≥37,5o C (bisa mencapai 41o C), konjungtiva anemis, sklera ikterik, dan hepatosplenomegali.[4]
Tipe demam yang umum dijumpai pada pasien malaria adalah demam paroksismal. Fase demam didahului dengan menggigil selama 1–2 jam, diikuti dengan demam tinggi, kemudian terjadi diaforesis dan suhu tubuh pasien turun kembali normal atau di bawah normal. Demam paroksismal dapat terjadi setiap 48 jam (Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale) atau setiap 72 jam (Plasmodium malariae).[3]
Pasien anak dengan infeksi malaria lebih mudah mengalami hepatosplenomegali, anemia berat, kejang, hipoglikemia, dan sepsis. Malaria tanpa komplikasi tidak disertai dengan gejala klinis dan hasil laboratorium yang menandakan malaria berat atau disfungsi organ.[16,17]
Kriteria malaria berat berdasarkan WHO adalah ditemukannya stadium aseksual Plasmodium falciparum atau Plasmodium vivax atau Plasmodium knowlesi ditambah minimal satu dari manifestasi klinis berikut:
- Penurunan kesadaran GCS<11 atau Blantyre <3
Acute respiratory distress syndrome pada anak
- Kejang berulang lebih dari 2 episode dalam 24 jam
- Syok (pengisian kapiler >3 detik, tekanan sistolik <80 mmHg (dewasa) atau <70 mmHg (anak).
- Kelemahan otot (tidak bisa duduk, berjalan, atau minum pada anak yang lebih kecil)
- Perdarahan spontan abnormal (epistaxis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, perdarahan dari tempat pungsi vena)
Edema paru, ditentukan berdasarkan Rontgen toraks atau saturasi oksigen <92% yang disertai frekuensi pernapasan >30 kali/ menit
Jaundice dengan bilirubin plasma/serum >3 mg/dL dan kepadatan parasit >100.000/µL (Plasmodium falciparum) atau >20.000/ µL (Plasmodium knowlesi)
- Anemia berat, ditandai dengan Hb <7 g/dL atau hematokrit <21% (dewasa); Hb <5g/dL atau hematokrit <15% (anak di daerah endemis tinggi); Hb <7 g/dL atau hematokrit <21% (anak di daerah endemis sedang–rendah)
- Asidosis base deficit >8 mEq/L atau plasma bikarbonat <15 mEq/L atau laktat plasma vena >5 mEq/L
- Hipoglikemia glukosa plasma <40 mg/dL
- Hiperparasitemia
- Hiperlaktatemia
- Hemoglobinuria (black water fever)
- Gangguan fungsi ginjal kreatinin serum >3 mg/dL atau ureum darah >20 mmol/L[4,5]
Diagnosis Banding
Di Indonesia, setiap orang yang tinggal di daerah endemis malaria yang mengalami demam atau riwayat demam dalam 48 jam terakhir dan tampak anemis, wajib dicurigai sebagai malaria, tanpa mengesampingkan penyebab demam lain.
Malaria menunjukkan gejala awal seperti flu-like syndrome dan manifestasi klinis yang tidak spesifik, sehingga memiliki banyak diagnosis banding, seperti infeksi saluran pernapasan, demam tifoid, demam dengue, hepatitis, leptospirosis, dan chikungunya.[4]
Pada pasien yang mengalami demam disertai penurunan kesadaran, meningoensefalitis viral atau bakterial perlu disingkirkan dan dapat dipertimbangkan pemeriksaan pungsi lumbal untuk mengonfirmasinya. Diagnosis banding malaria biasanya juga berkaitan dengan penyakit yang banyak ditemukan di wilayah tersebut.[31]
Cara membedakan malaria dengan penyakit lain yang menjadi diagnosis bandingnya adalah melalui tes apus darah mikroskopik atau RDT.[4,31]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang wajib dilakukan pada semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi malaria. Pemeriksaan penunjang untuk mengonfirmasi diagnosis malaria adalah pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis menggunakan mikroskop
Pemeriksaan Mikroskopis Apusan Darah Tepi
Pemeriksaan mikroskopis apusan darah tepi berguna untuk menentukan ada tidaknya parasit malaria, menentukan spesies penyebab, stadium penyakit, dan kepadatan parasit. Pemeriksaan apusan darah tebal sensitif untuk mendeteksi Plasmodium, tetapi lebih sulit untuk menentukan spesies penyebab. Apusan darah tipis digunakan untuk menentukan spesies dan kepadatan parasit.[4,32]
Apusan darah tepi yang sudah dibuat harus segera dibaca oleh tenaga terlatih. Hasil apusan darah tepi yang negatif memberikan kesimpulan bahwa kemungkinan diagnosis bukan malaria.
Hasil apusan darah tepi yang negatif pada pasien dengan gejala khas malaria perlu diulang selang 12–24 jam hingga 3 kali tes. Jika ketiga pemeriksan apusan darah tepi tersebut negatif, maka diagnosis malaria dapat disingkirkan dan perlu dicari etiologi demam lainnya.[4,30]
Kelebihan pemeriksaan apusan darah tepi adalah mampu mengidentifikasi spesies Plasmodium (termasuk pada kasus infeksi campuran), menentukan kepadatan parasitemia, memantau efikasi terapi, membutuhkan alat pemeriksaan yang sederhana, dan biaya pemeriksaan murah.[32]
Kekurangan pemeriksaan apusan darah tepi adalah sulit mendeteksi jika parasitemia yang rendah, kesalahan pembacaan dapat terjadi pada kasus parasitemia yang sangat tinggi, infeksi campuran sering tidak terdiagnosis, membutuhkan tenaga terlatih yang mampu membaca hasil (jarang ada bila bukan di daerah endemis).[32]
Berikut ini karakteristik hasil pemeriksaan apusan darah tepi pada berbagai spesies Plasmodium.
Tabel 1. Karakteristik Penemuan Apusan Darah Tepi Malaria
Karakteristik | Spesies Plasmodium | |||
Plasmodium falciparum | Plasmodium vivax | Plasmodium ovale | Plasmodium malariae | |
Ukuran eritrosit | Tidak membesar | Membesar | Tidak membesar | Tidak membesar |
Bentuk eritrosit | Lingkaran, krenasi | Lingkaran atau oval, berbentuk tidak normal | Lingkaran | Lingkaran, oval, atau berfimbria |
Warna eritrosit | Normal, lebih gelap, atau tepi tampak keunguan | Normal – pucat | Normal | Normal |
Pigmen | Hitam atau coklat tua 1–2 buah, berbentuk batang di gametosit | Granul coklat keemasan tersebar di sitoplasma | Granul hitam atau coklat | Sama dengan Plasmodium vivax dan Plasmodium malariae |
Trofozoit imatur (cincin) | Ukuran kecil, 2 titik kromatin, cincin multipel yang tampak tidak tegas. Bisa tampak Maurer's cleft pada bentuk cincin yang lebih tua | Ukuran relatif besar, 1 titik kromatin, sitoplasma dapat berbentuk amoeboid. Dapat ditemukan titik Schuffner | Sitoplasma padat, 1 titik kromatin besar, cincin tunggal | Sama dengan Plasmodium ovale |
Trofozoit | Sitoplasma lebih tegas dengan pigmen kekuningan, bentuk trofozoit Plasmodium falciparum jarang ditemukan di darah perifer | Sitoplasma amoeboid, titik kromatin besar, pigmen halus kuning kecoklatan, titik Schuffner lebih jelas | Sitoplasma tampak tegas, titik kromatin besar, padat dan ireguler | Sitoplasma padat, titik kromatin besar, trofozoit berbentuk batang atau keranjang dengan pigmen kasar berwarna coklat tua |
Skizon | Terdiri dari 8–24 merozoit dengan ukuran kecil, pigmen gelap dan bergumpal membentuk suatu massa | Terdiri dari 12–24 merozoit, pigmen kuning kecoklatan. Ukurannya besar dan mengisi volume eritrosit | Terdiri dari 6–14 merozoit dengan nukleus besar dan berkumpul di sekitar pigmen berwarna coklat tua | Terdiri dari 6–12 merozoit dengan nukleus besar, dapat tersusun membentuk rosette, berkelompok di sekitar massa pigmen berwarna coklat tua |
Gametosit | Berbentuk bulan sabit, ukuran besar dan ramping, kromatin terletak di tengah | Berbentuk lingkaran atau oval dengan pigmen kecoklatan, ukurannya hampir sama dengan eritrosit. | Berbentuk lingkaran atau oval, berukuran hampir sama dengan eritrosit. Pigmen berwarna kecoklatan dan lebih kasar dibandingkan Plasmodium vivax | Berbentuk lingkaran atau oval dengan pigmen coklat yang tersebar, ukurannya hampir sama dengan eritrosit |
Sumber: dr. Saphira Evani, 2020[33-36]
Rapid Diagnostic Test (RDT)
Pemeriksaan penunjang alternatif yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan antigen menggunakan rapid diagnostic test (RDT) dengan format kaset atau dipstick. Pemeriksaan RDT berguna untuk skrining karena memberikan hasil yang cepat. RDT malaria menggunakan metode imunokromatografi untuk mendeteksi antigen malaria menggunakan strip yang dilapisi antibodi anti malaria.[3,30,32,37]
Tes ini memiliki kelebihan berupa mudah dilakukan (tidak memerlukan tenaga ahli untuk membaca hasil) dan hasilnya cepat. Namun, RDT kurang efektif pada jumlah parasit di bawah 100/mL darah. Selain itu, hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien yang diterapi hingga 2 minggu karena masih ada antigen yang bersirkulasi. Oleh karena itu, pemeriksaan RDT tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi respons pengobatan.[3,4]
Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah pasien dengan riwayat bepergian ke daerah endemis, jika ditemukan trias berupa trombositopenia, peningkatan kadar laktat dehidrogenase (LDH), dan limfositosis atipikal maka perlu dicurigai sebagai infeksi malaria dan perlu dilakukan pemeriksaan apusan darah tepi.[3]
Kadar hemoglobin, trombosit, fungsi hepar, fungsi ginjal, kadar glukosa darah, dan parameter lain untuk mengevaluasi hemolisis perlu diperiksakan untuk mengevaluasi kondisi klinis pasien dan menentukan penatalaksanaan tambahan yang dibutuhkan.[3]
Polymerase Chain Reaction Assay
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) lebih sensitif dan spesifik daripada apusan darah tepi untuk mendiagnosis malaria. Namun, karena hanya tersedia di laboratorium tertentu, pengerjaannya lama, dan harganya relatif mahal, maka pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin. PCR dapat digunakan untuk mengonfirmasi spesies parasit dan menentukan mutasi pada kasus resistensi obat.[30,38]
Kultur Darah
Pemeriksaan kultur darah perlu dipertimbangkan untuk pasien malaria yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi antimalaria. Etiologi infeksi lain perlu dicurigai dan mungkin terjadi pada pasien-pasien yang berada di daerah endemis.[3]
Radiologi
Rontgen toraks perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis lainnya. Selain itu, pada kecurigaan malaria berat, terutama bila ada manifestasi klinis respiratorik, Rontgen toraks juga perlu dilakukan. CT scan kepala dilakukan bila ada kecurigaan edema serebral atau perdarahan otak.[3]
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis bakterial pada pasien dengan penurunan kesadaran.[3]