Edukasi dan Promosi Kesehatan Pertusis
Edukasi dan promosi kesehatan pada pertusis berfokus pada pentingnya vaksinasi sesuai jadwal yang direkomendasikan. Jika pasien telah terkena pertusis, jelaskan pada pasien bahwa terapi antibiotik dini berperan penting dalam meningkatkan luaran klinis.[1,2,7]
Edukasi Pasien
Minta pasien yang sudah terkena pertusis untuk mengonsumsi antibiotik sesuai dosis dan durasi yang dianjurkan. Jelaskan bahwa pasien anak-anak sebaiknya tidak mengonsumsi antitusif kecuali atas petunjuk dokter.
Sarankan untuk menggunakan semprotan pelembap (mist humidifier) untuk membantu mengencerkan mukus dan meringankan batuk. Jika gejala sangat parah, pasien dapat disarankan untuk makan dengan porsi sedikit tapi sering, setiap beberapa jam, untuk mencegah muntah. Minum cukup cairan untuk mencegah dehidrasi.
Jelaskan mengenai praktik kebersihan tangan yang baik untuk mencegah penyebaran penyakit. Tutup mulut dan hidung menggunakan tisu atau lengan atas saat batuk dan bersin, serta mencuci tangan dengan air dan sabun selama minimal 20 detik atau menggunakan pembersih tangan berbasis alkohol.[2,7]
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Pencegahan dan pengendalian pertusis dilakukan dengan pemberian post-exposure antimicrobial prophylaxis (PEP) dan vaksinasi pertusis.[1,2,7]
Post-exposure Antimicrobial Prophylaxis (PEP)
PEP adalah kemoprofilaksis yang diberikan untuk melindungi individu yang telah terpapar dan memiliki risiko tinggi mengalami keparahan penyakit. PEP direkomendasikan pada individu berisiko tinggi dan individu kontak erat tanpa memandang status vaksinasinya.
Yang dimaksud individu berisiko tinggi adalah individu yang berisiko mengalami keparahan penyakit, komplikasi, hingga kematian. Ini mencakup bayi usia <1 tahun (terutama <4 bulan), wanita hamil trimester 3, individu dengan penyakit komorbid yang dapat menjadi eksaserbasi akibat pertusis, dan individu yang dalam kondisi penyakit kritis.
Yang dimaksud individu kontak erat yaitu individu yang tinggal serumah dengan penderita, individu yang bertemu dengan penderita dalam jarak 1 meter, individu yang berada dalam 1 ruangan dengan penderita selama ≥1 jam, petugas kesehatan yang merawat penderita, serta individu yang kontak langsung dengan sekresi oral dan saluran pernapasan dari penderita.
Pilihan PEP sama dengan terapi pertusis, yakni azithromycin, clarithromycin, dan erythromycin. Alternatif terapi adalah cotrimoxazole.[1,2,5]
Vaksinasi
Terdapat 2 jenis vaksin pertusis, yaitu vaksin sel utuh (whole-cell vaccine) dan vaksin aselular. Vaksin sel utuh mengandung keseluruhan bakteri yang telah dilemahkan, sedangkan vaksin aselular mengandung suatu bagian dari bakteri atau organisme tersebut.[1,2]
Vaksin yang digunakan saat ini adalah vaksin aselular, sedangkan vaksin sel utuh hanya digunakan jika vaksin aselular tidak tersedia. Efek samping vaksin aselular yang dapat terjadi lebih ringan, yaitu demam, kelelahan, nyeri kepala, muntah, diare, nyeri perut, dan reaksi lokal di lokasi suntikan. Efek samping lain yang jarang terjadi yaitu reaksi alergi berat.[1,2,7]
Di Indonesia, vaksin pertusis diberikan dalam bentuk kombinasi dengan vaksin difteri, tetanus, polio, Haemophillus influenzae tipe B, dan hepatitis B. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali yakni pada saat bayi usia 2,3, dan 4 bulan. Booster diberikan saat anak usia 18 bulan dan antara 4-6 tahun.[1,7]
Vaksinasi Maternal:
Vaksinasi maternal bertujuan melindungi ibu dari pertusis, mencegah transmisi vertikal ke bayi, dan memberikan imunitas pasif ke bayi. Ibu hamil diberikan 1 dosis vaksin setiap kali kehamilan, yaitu pada saat usia kehamilan 27-36 minggu. Respon imun akan mencapai puncak dalam 2 minggu setelah pemberian.[2,5,7]
Penulisan pertama oleh: dr. Maria Rossyani