Diagnosis Rubella
Diagnosis rubella secara klinis sulit dilakukan karena gejala penyakit ini biasanya tidak spesifik. Penyakit rubella sering memiliki tampilan klinis yang mirip dengan demam akibat campak, mononukleosis infeksiosa, dan infeksi enterovirus. Selain itu, pemeriksaan laboratorium darah rutin tidak banyak membantu diagnosis sebab biasanya hanya menunjukkan leukopenia dan limfosit atipikal saja.
Metode diagnosis yang lebih bermanfaat adalah isolasi virus dari spesimen swab tenggorok, urine, cairan sendi, atau sekresi tubuh lainnya terutama pada hari-hari pertama timbulnya ruam. Sementara itu, isolasi virus untuk sindrom rubella kongenital lebih sering menggunakan metode molekuler tertentu seperti reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) ditambah pemeriksaan serologi untuk imunoglobulin M dan G (IgM dan IgG) spesifik rubella.[1]
Anamnesis
Manifestasi yang digali dalam anamnesis berbeda antara infeksi rubella post natal dengan sindrom rubella kongenital.
Infeksi Rubella Post natal
Temuan anamnesis yang mendukung diagnosis rubella post natal biasanya berupa episode gejala prodromal seperti mudah lelah, lemas, demam, dan penurunan nafsu makan yang berlangsung selama beberapa hari. Mengingat gejala ini biasanya ringan dan perlahan menghilang, pasien biasanya belum memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter hingga muncul pembesaran kelenjar getah bening (KGB) dan ruam.
Inkubasi:
Waktu inkubasi rubella post natal adalah sekitar 14-21 hari (biasanya 16-18 hari) setelah terpapar dari individu dengan rubella. Sekitar 25% sampai 50% pasien tidak mengalami gejala (infeksi subklinis). Periode infektivitas adalah maksimal 7 hari sebelum sampai 7 hari setelah onset ruam, yang bersamaan dengan kadar puncak virus rubella di dalam saluran pernapasan dan viremia yang memudahkan proses transmisi
Gejala Klinis:
Gejala prodromal biasanya terjadi 1 sampai 5 hari lebih awal dari ruam. Gejala biasanya sering ditemui pada remaja dan dewasa, namun jarang pada anak-anak. Gejala prodromal ditandai dengan demam yang tidak terlalu tinggi, anoreksia, mual, lemah, letargi, coryza, batuk, nyeri kepala, konjungtivitis non eksudat, nyeri menelan, myalgia, dan nyeri kelenjar getah bening.
Limfadenopati biasanya melibatkan kelenjar getah bening regio retroaurikular, suboksipital, dan posterior. Kelenjar getah bening posterior merupakan kelenjar yang paling terlihat ketika onset ruam. Pada beberapa kasus, limfadenopati dapat ditemukan secara generalisata.
Pada sekitar 20% kasus, petekie dapat ditemukan. Petekie dapat ditemukan pada palatum mole yang disebut dengan Forchheimer spot.[1]
Karakteristik Ruam:
Ruam rubella biasanya eritema sebesar pinpoint, makulopapular, yang secara klasik bermula dari wajah dan menyebar secara kaudal ke badan dan ekstremitas. Ruam menjadi generalisata dalam 24 jam. Ruam dapat terasa sedikit gatal, tapi hal ini jarang terjadi.
Kadang-kadang ruam berbentuk seperti ruam pada Scarlet fever atau berbentuk purpura. Ruam biasanya bertahan selama 3 hari dan hilang dengan urutan yang sama seperti ketika ruam muncul.[1]
Sindroma Rubella Kongenital
Infeksi rubella berpotensi fatal pada trimester pertama kehamilan dan berujung pada kematian janin, kelahiran prematur, serta beragam kelainan kongenital. Hasil anamnesis spesifik yang mengarah pada diagnosis sindrom rubella kongenital umumnya diawali dengan gejala dan tanda pada janin yang sesuai dengan yang dapat bersifat temporer, permanen, atau berkembang.
Sindroma rubella kongenital dapat berasal dari infeksi rubella maternal ketika embriogenesis. Katarak, kelainan jantung kongenital, dan tuli sensorineural merupakan trias klasik dari sindroma rubella kongenital. Trias ini biasanya terjadi jika infeksi janin berlangsung dalam 11 minggu pertama usia kehamilan.[1]
Gejala Penglihatan:
Kelainan mata seperti katarak, retinitis pigmentosa, glaukoma infantil, kornea berkabut, korioretinitis, hipoplasia iris, kelainan saluran pembuangan lakrimal, dan mikroftalmia terjadi pada sekitar 40% kasus. Katarak terjadi pada sekitar 25% kasus sindroma rubella kongenital, dan bilateral pada sekitar 50% kasus. Sindroma rubella kongenital merupakan penyebab tersering dari katarak kongenital. Retinitis pigmentosa biasanya ditandai dengan penampakan salt and pepper atau noda berbentuk bercak yang irregular pada fundus.[1]
Gejala Kardiovaskular:
Patent ductus arteriosus terjadi pada sekitar 20% dan stenosis arteri pulmoner pada 12 % pasien dengan rubella kongenital. Kelainan kardiovaskular lain seperti hipoplasia arteri pulmoner, stenosis katup pulmoner, stenosis katup aorta, koarktasio aorta, atrial septal defect, dan Tetralogy of Fallot juga dilaporkan.[1]
Gejala Pendengaran:
Kelainan pendengaran terjadi pada sekitar 60% kasus dan biasanya bilateral dan sensorineural. Kelainan pendengaran bisa menjadi manifestasi tunggal pada sindroma rubella kongenital. Keparahan kelainan pendengaran bervariasi, mulai dari ringan sampai berat, dan biasanya tidak terlihat sampai tahun ke-2 dan seterusnya setelah lahir. Kelainan pendengaran dapat memburuk dengan berjalannya waktu.[1]
Manifestasi pada Masa Neonatus:
Pada periode neonatus, rubella kongenital dapat bermanifestasi sebagai prematuritas, intrauterine growth restriction (IUGR), mikrosefali, anemia hemolitik, trombositopenia, dan ruam purpura. Pasien juga bisa mengalami ikterus, hepatitis, hepatomegali, splenomegali, “blueberry muffin” spot, hipotonia, dan fontanel anterior yang menonjol. Keadaan-keadaan klinis tersebut merupakan keadaan yang sementara dan dapat menghilang secara spontan dalam hari sampai minggu.[1]
Manifestasi Lambat:
Manifestasi lambat di antaranya retardasi mental, retardasi psikomotor, keterlambatan berbicara, attention deficit hyperactivity disorder, dan autisme. Pasien juga bisa menunjukkan gejala kelainan perilaku, ensefalopati progresif, disfungsi tiroid, defisiensi growth hormone, maupun defek immunologis.[1]
Pemeriksaan Fisik
Selain demam, hasil pemeriksaan fisik pada infeksi rubella didapat umumnya berupa limfadenopati yang dapat berlangsung selama beberapa minggu dan ruam. Kelenjar getah bening (KGB) yang terlibat antara lain pada regio aurikular posterior, servikal posterior, dan suboksipital. Kadangkala, splenomegali juga dapat ditemukan. Perlu diketahui bahwa temuan fisik tersebut tidak spesifik untuk rubella, namun juga dapat dijumpai pada penyakit campak, roseola, infeksi parvovirus B19, dan infeksi enterovirus.
Pada wanita, biasanya dapat terjadi komplikasi berupa arthritis atau arthralgia yang melibatkan sendi jari, pergelangan tangan, dan lutut yang menyertai timbulnya ruam. Kondisi ini dapat berlangsung hingga 1 bulan.[2]
Pada kasus sindrom rubella kongenital, temuan fisik bisa sangat bervariasi tergantung organ yang dipengaruhi. Pasien bisa menunjukkan tanda gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, mikrosefali, murmur vaskular, dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Pada beberapa kasus, bisa ditemukan tanda palatum tinggi, pneumonia interstitial, miokarditis, myositis, nefritis, dan meningoensefalitis.[1]
Diagnosis Banding
Sebagai penyakit infeksi yang disertai timbulnya ruam, diagnosis banding penyakit rubella mencakup campak, demam dengue, dan roseola infantum.[1]
Campak
Campak dan rubella sulit dibedakan secara klinis. Pada campak, pembesaran nodus limfa tidak selalu terjadi. Demam juga umumnya lebih tinggi dibandingkan pasien rubella. Ruam juga lebih merah dan tampak jelas (blotchy) dibandingkan ruam rubella. Pemeriksaan serologi dapat membantu membedakan keduanya. Setiap wanita hamil yang terpapar atau mengalami ruam nonvesikuler idealnya diperiksa lebih lanjut terhadap kedua penyakit ini.[2,14]
Demam Dengue
Pasien demam dengue dapat mengalami ruam dan gejala prodromal yang mirip rubella. Meski demikian, pemeriksaan penunjang yang mengungkap trombositopenia ataupun adanya imunoglobulin terhadap dengue dapat membedakan keduanya.[18]
Roseola
Pada roseola, ruam biasanya muncul segera setelah demam berakhir. Demam akan berlangsung sekitar 3–5 hari, kemudian saat mereda pasien mengalami ruam merah berukuran 2–5 milimeter. Lingkaran pucat dapat ditemukan di sekitar ruam. Ruam biasanya dimulai pada batang tubuh dan menyebar ke leher, wajah, kaki, dan lengan dalam waktu 24 jam. Ruam biasanya tidak gatal dan berubah menjadi putih di bawah tekanan. Ruam biasanya hilang setelah 1-2 hari.[19]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada rubella adalah dengan deteksi virus pada spesimen hidung, tenggorokan, urine, darah, dan cairan serebrospinal hingga 10 hari setelah timbulnya ruam. Pada bayi yang dicurigai mengalami sindrom rubella kongenital, swab nasofaring atau urine sebaiknya dilakukan segera setelah kelahiran.
Infeksi Rubella Post Natal
Infeksi rubella akut dapat dikonfirmasi dengan deteksi virus rubella melalui polymerase chain reaction (PCR). Infeksi rubella juga bisa dikonfirmasi dengan adanya peningkatan yang signifikan IgG rubella dari serum fase akut dan fase pemulihan, atau adanya IgM rubella.
Interpretasi hasil pemeriksaan IgG dan IgM perlu dilakukan hati-hati dengan mempertimbangkan waktu pengumpulan sampel relatif terhadap timbulnya ruam. Pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendeteksi IgM dan IgG spesifik rubella antara lain enzyme immunoassay (EIA), aglutinasi lateks, dan inhibisi hemagglutinin. Di sisi lain, PCR harganya relatif lebih mahal dan jarang tersedia, sehingga tidak rutin dilakukan untuk kasus infeksi rubella postnatal.
Waktu optimal untuk pengambilan sampel serum untuk deteksi IgM adalah 5 hari setelah timbulnya gejala demam dan ruam. Jika sampel diambil kurang dari 5 hari setelah onset dan hasilnya negatif, sampel kedua diperlukan untuk mengonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis rubella menggunakan deteksi IgM.[2,10]
Pada kasus dimana wanita hamil terpapar oleh pasien dicurigai rubella, spesimen darah harus segera diperiksa untuk melihat titer IgG spesifik rubella. Jika positif, maka ibu hamil dinyatakan imun dan bisa dilakukan edukasi. Jika negatif, pengecekan kembali IgG dan IgM spesifik rubella harus dilakukan dalam 3 minggu untuk menyingkirkan infeksi rubella primer asimtomatik.[2]
Sindrom Rubella Kongenital
Sindrom rubella kongenital bisa didiagnosis pada masa prenatal dengan pemeriksaan IgM spesifik pada darah fetus. Alternatif lain adalah deteksi RNA rubella pada cairan amnion, darah fetus, atau biopsi vili korion dengan reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR).[4]
Pada masa neonatal, diagnosis serologi dapat dibuat dengan mendeteksi IgM spesifik rubella dalam 6 bulan pertama kehidupan. Sindrom rubella kongenital juga dapat dikonfirmasi dengan peningkatan atau persistensi IgG spesifik rubella pada bayi setelah 6-12 bulan pertama kehidupan.
Meski begitu, pemeriksaan serologi untuk sindrom rubella kongenital agak sulit untuk dilakukan sebab pemeriksaan IgM spesifik rubella dari serum bayi sering berkaitan dengan hasil positif palsu berkat adanya IgG maternal. Oleh sebab itu, pemeriksaan IgG berkala perlu dilakukan saat bayi berusia 3 dan 6 bulan. Apabila konsentrasi IgG spesifik rubella pada bayi menetap atau meningkat pada durasi pemantauan selama beberapa bulan, maka menandakan adanya infeksi rubella kongenital.[10]
Pada neonatus yang dicurigai mengalami sindrom rubella kongenital, diagnosis virologi melalui sampel swab nasofaring, darah, dan urine bayi merupakan pilihan. Sampel bisa diambil segera setelah lahir ataupun hingga usia bayi mencapai 1 tahun.[11]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita