Penatalaksanaan Gangguan Stres Akut
Penatalaksanaan gangguan stres akut atau acute stress disorder (ASD) bertujuan untuk mengendalikan gejala dan mencegah perkembangan menjadi posttraumatic stress disorder (PTSD). Tata laksana terdiri dari tata laksana suportif (seperti memberikan dukungan emosional), psikoterapi, dan tata laksana farmakologi. Psikoterapi berupa cognitive-behavioural therapy merupakan pilihan utama dan lebih direkomendasikan dibanding psikoterapi lain atau medikamentosa. Manfaat medikamentosa pada kasus gangguan stres akut belum didukung bukti ilmiah adekuat.
Tata Laksana Suportif
Tata laksana suportif secara umum bertujuan untuk memastikan aspek keamanan pasien serta mengurangi stres pada pasien. Tata laksana suportif tentunya memiliki peranan penting pada penatalaksanaan gangguan stres akut. Berikut adalah intervensi yang dapat dilakukan pada pasien dengan gangguan stres akut:
- Memastikan pasien dalam kondisi yang aman, nyaman, dan kebutuhan dasar sandang, pangan, dan papan pasien terpenuhi
- Memberikan dukungan emosional dari keluarga atau kerabat dekat. Dukungan emosional juga dapat diperoleh dari komunitas atau tenaga kesehatan.
- Memberikan informasi terkait reaksi psikologis yang wajar dialami setelah terpapar kejadian traumatik, memberi saran metode koping yang efektif, mengajarkan teknik relaksasi serta cara mengendalikan kemarahan atau emosi
- Menghindari stimulus yang berpotensi memperberat kondisi stres pada pasien
- Identifikasi adanya risiko percobaan bunuh diri, terutama pada pasien yang memiliki komorbid seperti depresi
- Memberikan pendampingan dalam hal administratif seperti membuat laporan polisi, mengurus cuti kerja, atau asuransi kesehatan[1,9]
Psikoterapi
Psikoterapi bisa dibilang merupakan pilihan utama tata laksana gangguan stres akut. Hal ini karena bukti ilmiah terkait efikasi penggunaan medikamentosa masih belum adekuat.
Trauma-Focused Cognitive Behavioural Therapy
Pilihan penatalaksanaan gangguan stres akut adalah cognitive-behavioural therapy yang berfokus pada trauma. Psikoterapi yang meliputi edukasi tentang aspek psikologis dari trauma, kemampuan untuk mengatasi gejala, mengenali dan mencegah distorsi kognitif ini bermanfaat dalam mencegah gangguan stres akut berkembang menjadi post traumatic stress disorder. Terapi ini setidaknya mulai dilakukan 2 minggu sejak paparan trauma. Terapi dilakukan sekali seminggu selama 6 minggu dengan durasi per sesi adalah 60-90 menit.[1,4]
Exposure Therapy
Berdasarkan beberapa uji klinis, exposure therapy yang dilakukan bersama dengan CBT lainnya efektif dalam mencegah PTSD pada pasien acute stress disorder. Exposure therapy merupakan metode cognitive-behavioral therapy (CBT) dimana pasien secara terkontrol dihadapkan dengan sumber atau stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatik. Metode ini bertujuan untuk menghilangkan memori terhadap trauma dengan cara melatih mekanisme extinction learning.[1,10]
Debriefing
Intervensi yang dilakukan pada debriefing adalah meminta pasien untuk merefleksikan, mengingat, dan menjelaskan perasaan mereka tentang peristiwa traumatik. Meskipun sering dilakukan sebagai penatalaksanaan stres akibat trauma, penelitian menunjukkan bahwa intervensi ini tidak efektif dalam mengurangi gejala gangguan stres akut dan PTSD.[1,10]
Tata Laksana Farmakologis
Sampai saat ini, belum terdapat bukti ilmiah yang cukup untuk merekomendasikan farmakoterapi sebagai tata laksana rutin pada gangguan stres akut. Mayoritas farmakoterapi yang direkomendasikan pada gangguan stres akut berasal dari uji klinis pada populasi dengan PTSD, mengingat kemiripan antara kedua kondisi tersebut.[1,5,15]
Farmakoterapi lini pertama untuk penatalaksanaan PTSD adalah golongan selective serotonin inhibitor (SSRI) seperti fluoxetine, sertraline, dan paroxetine. Beta blocker seperti propranolol telah diuji untuk gangguan stres akut karena diduga dapat menurunkan aktivitas noradrenergik sehingga bermanfaat dalam pengondisian trauma. Namun, terdapat uji klinis yang menunjukkan tidak adanya manfaat.[4,16]
Farmakoterapi dengan golongan benzodiazepine dapat bermanfaat untuk mengatasi gejala akut ansietas, agitasi, maupun gangguan tidur. Meski demikian, penggunaannya baru didukung beberapa studi non-randomisasi.[4,15]
Pasien dengan gangguan tidur atau mimpi buruk dapat diberikan obat golongan antagonis adrenoreseptor alfa-1 seperti prazosin atau benzodiazepine. Terapi adjuvan lainnya yang diketahui efektif adalah eszopiclone, olanzapine, dan risperidone.[1,14]