Epidemiologi Otitis Media
Epidemiologi otitis media lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita berdasarkan data epidemiologi. Di Indonesia, otitis media signifikan terjadi pada anak usia sekolah.
Global
Penelitian menyatakan bahwa episode otitis media akut (OMA) pada tahun pertama dan tahun ketiga adalah 66% dan 86% pada lelaki, serta 53% dan 77% pada wanita. Puncak insidensi otitis media adalah usia 6‒12 bulan pertama kehidupan, dan menurun setelah usia 5 tahun. Sebanyak 80% anak-anak menderita otitis media, dan 80‒ 90% anak-anak menderita otitis media efusi sebelum usia sekolah. Di usia dewasa, otitis media lebih jarang terjadi kecuali pada dewasa dengan keadaan defisiensi imun.[2,6]
Menurut ras/suku bangsa, insidensi otitis media tertinggi terjadi pada suku Inuits dari Alaska, Aborigin Australia, dan orang asli Amerika (12‒46%), kemudian Maori di Selandia Baru, Nepal, dan Malaysia (4‒8%), diikuti oleh Korea, India, dan Saudi Arabia (1,4‒2%), dan insidensi terendah di Amerika, Inggris, Denmark, dan Finlandia (<1%).[2,6]
Indonesia
Penelitian tahun 2014, yang dilakukan di Indonesia pada 6 wilayah besar Indonesia (Bandung, Semarang, Balikpapan, Makasar, Palembang, Denpasar), didapatkan bahwa otitis media sangat signifikan terjadi pada anak usia sekolah. Prevalensi kejadian OMA, otitis media efusi (OME), dan otitis media kronis secara berurutan adalah 5/1000, 4/100, dan 27/1000 anak. Prevalensi otitis media kronis pada daerah pedesaan adalah 27/1000 atau 2,7%, dan pada daerah perkotaan prevalensinya lebih rendah yaitu 7/1000 anak atau 0,7%.[9]
Prevalensi otitis media kronis di Indonesia adalah di Bali dan Bandung. Otitis media kronis aktif di pedesaan Bali tertinggi ditemukan pada usia 10‒12 tahun sebanyak 23,5 per 1000 anak. Sedangkan otitis media kronis inaktif tertinggi pada anak usia 6‒9 tahun sebanyak 62,9 per 1000 anak. Prevalensi timpanosklerosis di pedesaan Bali pada anak usia 13‒15 tahun sebesar 26 per 1000 anak.[9]
Mortalitas
Otitis media tidak menyebabkan kematian langsung. Namun, otitis media yang tidak ditangani secara tepat dapat menyebabkan komplikasi, di antaranya gangguan pendengaran baik tuli konduktif maupun sensorineural. Gangguan pendengaran pada anak bisa berdampak buruk pada tumbuh kembang anak, misalnya pada aspek bahasa dan bicara.[15]