Penatalaksanaan Sinusitis
Pada sinusitis akut, penatalaksanaan dengan antibiotik tidak selalu diperlukan. Antibiotik dapat dipertimbangkan pada kasus dimana pasien tampak sangat sakit secara sistemik, pasien yang berisiko mengalami komplikasi berat, dan pasien dengan gejala yang menetap atau memburuk dengan cepat.
Pada sinusitis akut, pemberian analgesik dan dekongestan dapat bermanfaat untuk meredakan gejala. Jika gejala menetap dalam 10 hari atau memburuk, pasien dapat diberikan kortikosteroid intranasal dan dipertimbangkan untuk mendapat antibiotik.[3,6]
Pada kasus sinusitis kronik, dapat diberikan kortikosteroid intranasal. Terapi antibiotik bisa dipertimbangkan jika terdapat tanda infeksi bakteri. Terapi tambahan lain pada sinusitis dapat mencakup irigasi sinus, fisioterapi, dan evaluasi untuk faktor predisposisi seperti alergi atau deviasi septum nasal.[1-3,8,9,11,12]
Sinusitis Akut
Pengobatan simtomatik untuk sinusitis akut dapat meliputi humidifikasi, menjaga asupan cairan yang memadai, berhenti merokok, dan pemberian analgesik non-narkotik atau antipiretik bila perlu seperti paracetamol atau ibuprofen. Pasien sinusitis akut imunokompeten yang bergejala selama kurang dari 10 hari cukup diobati dengan ini saja, tanpa perlu obat-obat lainnya.[3,6]
Terapi Simptomatik
Terapi simptomatik yang biasanya diperlukan adalah analgesik dan antipiretik, seperti paracetamol dan ibuprofen. Selain dari itu, terapi lain jarang diperlukan
Dekongestan:
Dekongestan topikal seperti oxymetazoline dapat digunakan untuk mengurangi edema mukosa, namun sebaiknya tidak digunakan lebih dari 3 hari.[3,6]
Kortikosteroid Intranasal:
Menurut pedoman National Institute for Health and Care Excellence (NICE), kortikosteroid intranasal dapat diberikan pada pasien dengan gejala selama 10 hari atau lebih. Regimen umum yang diberikan adalah mometason 200, 400, dan 800 μg dua kali sehari. Steroid sistemik tidak terbukti memberikan manfaat pada sinusitis.[3,6]
Antihistamin Tidak Direkomendasikan:
Antihistamin belum terbukti memberikan manfaat, sehingga penggunaannya tidak disarankan. Selain itu, antihistamin dapat menyebabkan kekeringan berlebihan pada mukosa hidung.[3]
Penggunaan Antibiotik pada Sinusitis Akut
Antibiotik tidak diberikan secara rutin. Antibiotik dapat dipertimbangkan pada kasus yang bersifat parah atau melibatkan sinus frontal, etmoid, atau sfenoid yang lebih rentan terhadap komplikasi. Menurut NICE sendiri, antibiotik hanya diberikan pada pasien dalam kondisi sangat tidak sehat secara sistemik, memiliki tanda klinis kondisi yang lebih serius, atau berisiko tinggi mengalami komplikasi.[3,6]
Pilihan Antibiotik Dewasa:
Antibiotik yang umumnya direkomendasikan untuk digunakan pertama kali adalah amoxicillin 500 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari. Pilihan lainnya adalah amoxicillin-clavulanate 500/125 mg 3 kali sehari selama 5 hari.
Pada pasien yang alergi terhadap penicillin, dapat diberikan doxycycline 200 mg pada hari pertama dilanjutkan dengan 100 mg sekali sehari selama 4 hari. Pilihan lain adalah clarithromycin 500 mg 2 kali sehari selama 5 hari.[3,6]
Pilihan Antibiotik Anak:
Pada anak, dapat digunakan phenoxymethylpenicillin dengan dosis sebagai berikut:
- 1 bulan hingga 11 bulan: 62,5 mg 4 kali sehari selama 5 hari
- 1 tahun sampai 5 tahun: 125 mg 4 kali sehari selama 5 hari
- 6 tahun hingga 11 tahun: 250 mg 4 kali sehari selama 5 hari
- 12 tahun hingga 17 tahun: 500 mg 4 kali sehari selama 5 hari
Pilihan pada pasien yang alergi penicillin adalah doxycycline 200 mg pada hari pertama, kemudian 100 mg sekali sehari selama 4 hari. Doxycycline dikontraindikasikan pada anak di bawah 12 tahun.[3,6]
Antibiotik yang Tidak Direkomendasikan untuk Sinusitis:
Ciprofloxacin tidak direkomendasikan untuk sinusitis karena memiliki limitasi efek pada S.pneumoniae. Azithromycin juga tidak direkomendasikan karena memiliki resistensi yang tinggi pada S.pneumoniae. Cotrimoxazole juga tidak disarankan karena memiliki resistensi yang tinggi pada S.pneumoniae dan Haemophilus influenza.[8]
Sinusitis Kronis
Dokter perlu membedakan sinusitis kronik dari sinusitis akut rekuren ataupun episode terisolasi dari sinusitis bakterial akut. Jika sudah dipastikan pasien mengalami sinusitis kronik, lakukan identifikasi faktor risiko pada pasien, misalnya adanya fibrosis kistik, defisiensi imun, diskinesia silia, atau polip hidung. Untuk meredakan gejala, dapat diberikan irigasi hidung salin, kortikosteroid intranasal topikal, atau keduanya.[18]
Kontrol Faktor Predisposisi
Dalam terapi sinusitis kronis, dokter perlu mengidentifikasi faktor predisposisi yang dialami pasien. Ini mungkin mencakup Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) akibat virus, paparan terhadap alergen (misal debu atau asap rokok), gastroesophageal reflux disease (GERD), atau imunodefisiensi.[18]
Terapi Simptomatik
Terapi simptomatik yang banyak digunakan untuk sinusitis kronik belum memiliki basis bukti yang kuat terkait efikasinya. Beberapa terapi simtomatik yang sering digunakan adalah dekongestan topikal, steroid topikal, irigasi nasal dengan larutan salin, atau mukolitik.
Inhalasi uap dan irigasi nasal dianggap bermanfaat dalam membantu melembabkan saluran hidung, mengurangi edema mukosa, dan mengurangi viskositas lendir. Meski begitu, sebuah tinjauan menyimpulkan bahwa semprotan salin nebulisasi dengan volume rendah (5 mL) tidak lebih bermanfaat dibandingkan dengan steroid intranasal. Sementara itu, volume yang lebih besar (150 mL) didapatkan hanya sedikit lebih efektif daripada plasebo.[18]
Steroid Intranasal
Terapi steroid intranasal telah dilaporkan efektif dalam mengurangi ukuran polip dan memperbaiki fungsi penciuman pada pasien dengan sinusitis kronis yang disertai dengan polip hidung. Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2020 (EPOS), kortikosteroid intranasal efektif untuk meningkatkan perbaikan gejala dan kualitas hidup pasien dengan sinusitis kronis.
Contoh kortikosteroid intranasal yang dapat diberikan adalah mometasone semprot hidung 200 μg 1-2 kali sehari, ataupun budesonide semprot hidung 128 μg 2 kali sehari. Lama pemberian berbeda-beda antar studi, yakni berkisar 16-52 minggu.
Kortikosteroid oral tidak rutin digunakan. Penggunaan kortikosteroid intranasal oral jangka pendek hanya dilakukan pada kasus yang sulit dikontrol atau hanya terkontrol parsial. Contoh kortikosteroid oral yang dapat digunakan adalah prednisolone 25 mg/hari selama 2 minggu.[12,19]
Peran Antibiotik pada Sinusitis Kronis
EPOS 2020 menekankan bahwa antibiotik digunakan pada kasus sinusitis kronis hanya jika infeksi bakteri dipastikan atau diduga kuat. EPOS menekankan perlunya penggunaan antibiotik yang bijaksana berdasarkan penilaian klinis dan hasil kultur mikroba, khususnya dalam kasus rinosinusitis kronis eksaserbasi akut dengan bukti keterlibatan bakteri.
Perlu dicatat bahwa antibiotik tidak dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk kasus sinusitis kronis tanpa komplikasi. Intervensi non-antibiotik, seperti steroid topikal, irigasi nasal, dan mukolitik lebih disukai sebagai pilihan terapi awal.[19]
Pembedahan
Pembedahan dapat menjadi pilihan jika sinusitis disebabkan oleh kelainan septum, polip, atau masalah struktural lain. Tujuan utama operasi sinus adalah untuk meringankan gejala dan mengurangi infeksi.[3,8]
Pada kasus sinusitis kronis, perawatan bedah dapat dipertimbangkan ketika tindakan konservatif gagal memperbaiki gejala atau mengendalikan progresi penyakit, yakni pada kasus yang sulit disembuhkan dengan terapi medis maksimal, terutama bila dikaitkan dengan polip nasal atau kelainan struktural yang menyumbat saluran hidung. Selain itu, pembedahan mungkin diindikasikan untuk pasien dengan sinusitis kronis yang mengalami eksaserbasi akut berulang meskipun telah dilakukan penatalaksanaan medis yang adekuat.
Keputusan untuk intervensi bedah harus bersifat individual, dengan mempertimbangkan gambaran klinis spesifik pasien, luasnya penyakit, dan respons mereka terhadap pengobatan sebelumnya. Selain itu, pembedahan dapat dianggap sebagai pilihan pengobatan utama pada kasus-kasus tertentu, seperti kasus sinusitis kronis yang berat atau ketika terdapat komplikasi sinusitis.[19]
Penulisan pertama oleh: dr. Saphira Evan