Pendahuluan Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine adalah kondisi kebocoran involunter dari urine. Kondisi ini dapat menyebabkan kegelisahan dan rasa malu pada pasien. Inkontinensia urine diperkirakan terjadi pada 30% wanita berusia 30–60 tahun. Data studi menunjukkan bahwa kasus inkontinensia urine yang paling sering terjadi adalah inkontinensia stres.[1-3]
Inkontinensia urine mayoritas didasari oleh suatu kelainan medis, misalnya delirium, infeksi, vaginitis atropik, obat tertentu, kelainan psikologis, dan kelainan neurologis. Terdapat beberapa jenis inkontinensia urine, yaitu:
- Inkontinensia stres: inkontinensia akibat aktivitas yang meningkatkan tekanan intraabdomen, seperti batuk, bersin, olahraga, dan tertawa
- Inkontinensia urgensi (urge): inkontinensia yang didahului rasa ingin berkemih yang tidak dapat ditahan
- Inkontinensia luapan (overflow): inkontinensia yang terjadi akibat retensi urine yang menyebabkan overdistensi vesika urinaria
- Inkontinensia campuran (mixed): gabungan dari beberapa tipe inkontinensia, umumnya gabungan dari inkontinensia stres dan urgensi
- Inkontinensia fungsional: inkontinensia akibat gangguan fisik atau kognitif yang tidak berhubungan dengan kelainan genitourinaria[2-4]
Penatalaksanaan inkontinensia urine tergantung pada jenis inkontinensia dan etiologi yang mendasari. Secara umum, inkontinensia stres diterapi dengan latihan otot pelvis, farmakoterapi, atau bedah. Pada inkontinensia urgensi, tata laksana dapat berupa modifikasi diet dan gaya hidup, penurunan berat badan, terapi perilaku, farmakoterapi, atau pembedahan.
Untuk kasus inkontinensia luapan, tata laksana bisa berupa kateterisasi intermiten dan manajemen etiologi. Sementara itu, pada kasus inkontinensia fungsional, tata laksana terpenting adalah manajemen etiologi yang mendasari. Rujukan kasus retensi urine ke dokter spesialis urologi dilakukan bila ada tanda bahaya, seperti volume residu >200 ml dan nyeri panggul, atau jika pasien membutuhkan pembedahan.[2,3,5-7]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur