Pendahuluan Pemeriksaan Fisik Genitalia Wanita
Pemeriksaan fisik genitalia wanita merupakan prosedur yang dilakukan untuk menilai kelainan pada sistem genitalia wanita seperti kanker serviks, klamidiasis, gonorrhea, kista Bartholin, atau dispareunia. Pemeriksaan ini menjadi dasar untuk pemeriksaan lain seperti pengambilan swab vagina, ultrasound vagina, dan histeroskopi. Pemeriksaan fisik genitalia wanita juga umum dilakukan saat medical check up sebagai bagian dari skrining kanker serviks.[1,2]
Secara umum, sistem genitalia wanita terdiri dari dua bagian yaitu sistem genitalia eksterna dan sistem genitalia interna. Sistem genitalia eksterna meliputi mons pubis, klitoris, orifisium uretra, labia mayora, labia minora, vestibulum, kelenjar Bartholin, kelenjar Skene, dan perineum. Sementara sistem genitalia interna meliputi vagina, serviks, uterus, tuba falopi, dan ovarium.[3,4]
Indikasi pemeriksaan fisik genitalia wanita adalah kebutuhan diagnosis, kebutuhan skrining, dan kebutuhan terapi. Pemeriksaan fisik ini dapat membantu menegakkan diagnosis penyakit infeksi genitalia, trauma, perdarahan, prolaps organ, kista dan abses kelenjar. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk skrining keganasan, penilaian kehamilan, dan kepentingan terapi seperti pengangkatan polip, pemasangan pessaries serta pemasangan alat kontrasepsi.[1,4,5]
Pemeriksaan fisik genitalia wanita sering membuat pasien merasa tidak nyaman dan cemas. Oleh karena itu, teknik pemeriksaan fisik genitalia wanita perlu diawali dengan persiapan pasien melalui anamnesis yang adekuat, penjelasan prosedur kepada pasien, dan permintaan informed consent. Teknik pemeriksaan akan meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan fisik abdomen, dan pemeriksaan pelvis. Teknik pemeriksaan dapat bervariasi antara anak-anak, wanita yang belum aktif secara seksual, dan wanita lanjut usia.[5,6]
Komplikasi dari pemeriksaan fisik genitalia wanita dapat dihadapi pada kondisi tertentu. Pada wanita dengan vaginitis atrofi, pemeriksaan inspekulo dapat terasa menyakitkan dan dapat menyebabkan spotting atau perdarahan ringan. Selain itu, pemeriksaan pada wanita dengan riwayat pernah mengalami kekerasan seksual dapat memicu kecemasan dan post-traumatic stress disorder (PTSD).[4-7]