Edukasi dan Promosi Kesehatan Alergi Makanan
Edukasi bagi pasien maupun keluar pasien alergi makanan meliputi pentingnya menghindari bahan makanan alergen, mengetahui hal-hal yang dapat mencetuskan alergi, dan gejala alergi yang memerlukan pertolongan medis. Pencegahan alergi makanan dilakukan berdasarkan 3 hipotesis, yaitu hipotesis defisiensi vitamin D, higienitas, dan dual-allergen exposure.
Edukasi
Edukasi mengenai alergi makanan bagi pasien mencakup menghindari bahan makanan alergen, mengenali pencetus terjadinya alergi, gejala-gejala alergi makanan, dan persiapan mengatasi anafilaksis.
Menghindari Bahan Makanan Alergen
Cara terbaik untuk mencegah alergi adalah dengan menghindari paparan terhadap bahan makanan yang menyebabkan reaksi alergi. Terdapat berbagai cara yang perlu diketahui pasien.
Potensi Paparan Terhadap Alergen:
Mayoritas reaksi alergi makanan terjadi melalui proses menelan makanan, tetapi bisa juga melalui sentuhan atau inhalasi. Inhalasi partikel makanan berbeda dengan hanya mencium bau makanan. Inhalasi makanan dapat terjadi akibat proses memasak, seperti mengukus, merebus, menggoreng, atau memarut. Pasien perlu mengetahui hal ini, supaya dapat menghindari situasi-situasi terkait.
Menyentuh bahan alergen dapat menyebabkan reaksi lokal pada kulit. Terpapar bahan alergen di tangan, kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulut, juga dapat menimbulkan reaksi alergi. Oleh karena itu, pasien juga perlu diedukasi untuk mencuci tangan jika terdapat kemungkinan terpapar alergen.[1,22]
Memasak Makanan di Rumah:
Jika memasak untuk pasien alergi makanan, pastikan menggunakan alat-alat masak yang terpisah, agar menghindari cross-contact antara peralatan masak yang menyentuh alergen. Cara lain adalah dengan menyiapkan makanan untuk pasien alergi terlebih dahulu, sehingga mencegah terjadinya paparan alergen pada alat-alat masak.
Terkadang, pasien dapat mentoleransi alergen jika dimasak atau dipanggang. Toleransi ini sering terjadi pada alergi susu, telur, buah. dan sayuran. Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan toleransi ini adalah dengan pemeriksaan food challenge.[22]
Hal-hal Lain untuk Menghindari Paparan Alergen:
Pasien juga perlu diberitahu untuk membaca label makanan, dan menanyakan bahan makanan jika makan di rumah makan. Jika pasien ragu-ragu akan kandungan makanan, sebaiknya jangan mengonsumsi makanan tersebut. Edukasi juga diperlukan agar pasien mengetahui bahwa alergen makanan dapat terkandung dapat obat-obatan, vaksin, dan kosmetik.[5,16,22]
Pencetus Alergi
Untuk mencegah alergi, paling baik dilakukan dengan menghindari paparan terhadap makanan, dalam jumlah seminimal apapun. Biasanya, sulit untuk mengetahui berapa banyak jumlah makanan yang berpotensi menyebabkan alergi.
Pada sebagian orang, alergi makanan hanya muncul jika bersamaan dengan konsumsi alkohol, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), misalnya aspirin atau ibuprofen, atau jika berolahraga. Bila demikian, berikan edukasi agar pasien menghindari pencetus-pencetus ini dalam beberapa jam setelah mengonsumsi makanan yang diduga menyebabkan alergi.[5,16]
Gejala Alergi Makanan
Dokter juga perlu mengedukasi pasien tentang berbagai gejala alergi makanan. Pasien sebaiknya segera mengunjungi fasilitas kesehatan jika muncul gejala-gejala alergi makanan, antara lain:
- Gejala saluran cerna, seperti mual, muntah, nyeri perut, diare, terutama bila tinja disertai dengan lendir atau darah
- Gejala pada kulit dan mukosa, seperti gatal, kemerahan, serta bengkak pada bibir, wajah, mulut, atau tenggorokan
- Gejala saluran pernapasan, seperti wheezing, batuk, dan sesak napas
- Gejala sistemik lainnya, seperti pingsan[16]
Persiapan Mengatasi Anafilaksis
Reaksi alergi yang berakibat fatal, seperti anafilaksis, lebih sering ditemukan pada pasien yang alergi terhadap makanan laut bercangkang, kacang, dan ikan. Pasien-pasien ini sebaiknya selalu membawa epinefrin self-injectable yang disimpan dengan baik dan dipastikan tidak kedaluwarsa. Pada edukasi, pasien juga perlu diajarkan cara menggunakan injeksi epinefrin. Setelah pemberian epinefrin, pasien tetap diminta untuk mengunjungi fasilitas kesehatan.
Antihistamin dalam bentuk sirup atau kunyah, seperti cetirizine dan loratadine, juga sebaiknya selalu tersedia bersama pasien. Bagi pasien usia anak-anak, keluarga atau pengasuh harus diajarkan cara mengatasi reaksi anafilaksis.[5,6]
Upaya Pencegahan Penyakit
Upaya pencegahan alergi makanan dikaitkan dengan 3 hipotesis, yaitu vitamin D, higienitas, dan dual-allergen exposure. Hipotesis vitamin D berkaitan dengan defisiensi vitamin D, hipotesis higienitas berhubungan dengan kurangnya paparan terhadap mikrobiota, dan hipotesis dual-allergen exposure berkaitan dengan paparan terhadap alergen, baik melalui oral ataupun sentuhan.
Hipotesis Vitamin D
Berbagai penelitian membuktikan bahwa defisiensi vitamin D berhubungan dengan alergi makanan. Sebuah studi di Australia menemukan bahwa bayi usia 1 tahun yang memiliki kadar vitamin D <50 nmol/L lebih berisiko 11 kali lipat untuk mengalami alergi kacang dan 4 kali lipat untuk alergi telur ayam, dibandingkan bayi dengan kadar vitamin D >50 nmol/L.[1,23]
Dasar hipotesis ini adalah pengaruh vitamin D pada fungsi imun, terutama sel T. Respon sel TH2 diketahui akan meningkat pada keadaan vitamin D yang rendah, atau pada defisiensi vitamin D.[1]
Hipotesis Higienitas
Hipotesis ini didasari dugaan bahwa kurangnya paparan dengan mikroorganisme dan infeksi pada usia dini meningkatkan kerentanan untuk terkena alergi, akibat adanya perubahan sistem imun. Beberapa penelitian menemukan bahwa anak-anak yang tinggal di peternakan memiliki tingkat alergi makanan yang lebih rendah daripada anak-anak di perkotaan.
Faktor risiko lain adalah jika dilahirkan melalui sectio caesarea (SC), karena tidak terjadi paparan dengan mikroorganisme vagina yang menguntungkan. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan paparan dengan mikrobiota, antara lain memelihara anjing, bergabung di penitipan anak, dan adanya saudara kandung yang lebih tua. Peningkatan paparan dengan mikrobiota diduga memiliki efek protektif terhadap alergi makanan.[1,24]
Hipotesis Dual-allergen Exposure
Berdasarkan hipotesis ini, paparan terhadap alergen bisa terjadi melalui sawar kulit yang terganggu fungsinya, misalnya pada penderita dermatitis sejak bayi. Selain itu, alergi juga dapat terjadi akibat kebiasaan menghindari makanan padat yang alergenik, sehingga tubuh tidak memiliki kesempatan untuk mentolerir alergen, dan terjadi alergi makanan.[1]
Berbagai studi observasional mendapatkan upaya pengenalan makanan alergenik sejak dini dapat menurunkan prevalensi alergi makanan. Studi Learning Early About Peanut (LEAP) membuktikan bahwa pengenalan kacang pada usia 4–11 bulan menurunkan risiko alergi kacang pada usia 5 tahun.[25]
Lakukan pengenalan makanan padat, seperti telur, kacang, ikan, seafood, gandum, dan bahan makanan lain yang berpotensi menjadi alergen, pada usia 4–6 bulan saat masih menyusui. Pengenalan bahan makanan dilakukan satu persatu, dan tidak perlu menunda pengenalan bahan makanan.[6]
Pembatasan makanan yang sering menyebabkan alergi pada ibu hamil dan menyusui tidak disarankan. Pembatasan ini hanya dilakukan jika memang sudah terbukti bayi alergi terhadap jenis makanan tertentu.[5,16]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra