Penatalaksanaan Alergi Makanan
Penatalaksanaan alergi makanan dibedakan menjadi dua, yaitu mengatasi gejala alergi akut dan mencegah terjadinya reaksi alergi. Pengobatan gejala akut dilakukan dengan menggunakan epinefrin atau antihistamin. Sedangkan, pencegahan reaksi alergi yang terbaik adalah dengan menghindari paparan alergen.[2,4,5,8]
Penatalaksanaan Alergi Makanan Reaksi Akut
Pada pasien dengan gejala yang lokal, seperti mulut gatal atau urtikaria lokal, dapat dengan antihistamin oral, misalnya difenhidramin 25–50 mg setiap 6–8 jam, cetirizine 5–10 mg/hari, atau loratadine 10-20 mg/hari.[5,8]
Sementara pasien dengan anafilaksis, dapat diberikan epinefrin dari larutan 1:1000, dengan dosis dewasa sebesar 0,3–0,5 mL dan dosis anak sebesar 0,01 mL/kg BB. Epinefrin diberikan secara intramuskular, dan dapat diulang setelah 10–15 menit. Selain itu, dapat ditambah antihistamin parenteral, misalnya difenhidramin 10–50 mg IV/IM setiap 6–8 jam.[5,8]
Pada pasien dengan riwayat anafilaksis sebaiknya diberikan epinefrin self-injectable, serta instruksi tertulis mengenai cara mengatasi alergi jika tidak sengaja menelan alergen. Pasien juga perlu mengenali tanda-tanda anafilaksis, misalnya angioedema, lidah bengkak, sesak di dada, perubahan suara napas, suara serak, dan rasa seperti tersedak.[16,19]
Pencegahan Reaksi Alergi Makanan
Menghindari paparan dengan makanan yang sudah dipastikan menyebabkan alergi, baik secara tertelan, kontak kulit, maupun inhalasi. Kontak secara inhalasi dapat terjadi karena protein dapat menguap selama proses pengolahan, misalnya pada asap dari proses menggoreng atau mengukus, atau alergennya mudah terhirup misalnya tepung.[5,7]
Selama proses pengolahan dan penyajian, tidak boleh ada kontak dengan makanan penyebab alergi. Jenis makanan yang diduga memiliki reaksi silang dengan makanan penyebab alergi juga dihindari. Reaksi silang sering ditemukan pada susu sapi dan susu kambing, antar jenis ikan, gandum dan biji-bijan lain, antar kacang-kacangan, serta sapi dan susu sapi.[5,7]
Pada anak-anak, pembatasan jenis makanan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Oleh karena itu, dapat diberikan jenis makanan lain yang tidak menyebabkan alergi, tetapi memiliki jenis dan jumlah nutrisi yang mirip.[5,7]
Setelah 1–2 tahun menghindari makanan penyebab alergi, 2/3 pasien mengalami toleransi. Disarankan untuk mencoba kembali makanan tersebut setelah 1–3 tahun. Namun, semakin tua usia terjadinya alergi, semakin kecil pula kemungkinan terjadi toleransi.[5–8]
Imunoterapi
Imunoterapi merupakan pemberian alergen makanan secara bertahap untuk meningkatkan ambang toleransi terhadap makanan tersebut. Beberapa metode pemberian imunoterapi, antara lain epicutaneous (EPIT), sublingual (SLIT), dan oral OIT). Pemberian OIT menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan EPIT dan SLIT, tetapi juga menyebabkan efek samping yang lebih banyak.[12,20]
Sebagian penelitian mengenai imunoterapi ditujukan terhadap alergi kacang, sebab alergi kacang banyak ditemukan, dan berpotensi menyebabkan anafilaksis.[20]
Imunoterapi untuk Alergi Kacang
Imunoterapi untuk alergi kacang/peanut telah disetujui penggunaannya oleh Food and Drug Therapy (FDA) pada tahun 2020. Bubuk kacang allergen oral dapat meringankan reaksi alergi, termasuk anafilaksis, yang terjadi karena tidak sengaja terpapar kacang.
Berdasarkan uji klinis, 67,2% pasien usia 4–17 tahun yang berada di kelompok perlakuan mampu mengonsumsi protein kacang 600 mg atau lebih pada food challenge di akhir uji klinis. Namun, efikasi ini tidak terlihat pada peserta yang berusia 18 tahun atau lebih.[5]
Omalizumab juga telah diujikan sebagai imunoterapi pada pasien dengan alergi makanan multiple. Obat ini dilaporkan efektif dibandingkan plasebo.
Imunoterapi untuk Alergi Telur
Tinjauan sistematis dari Cochrane pada tahun 2018 mengkaji efektivitas imunoterapi oral dan sublingual untuk telur selama 1–2 tahun. Pada akhir penelitian, didapatkan hampir seluruh peserta mengalami peningkatan toleransi konsumsi telur. Namun, hampir seluruh peserta yang mendapat imunoterapi mengalami kejadian tidak diinginkan, terutama berkaitan dengan reaksi alergi. Sejumlah 1 dari 12 anak mengalami reaksi alergi berat yang membutuhkan epinefrin.
Dari studi, imunoterapi oral dan sublingual untuk telur terbukti efektif. Namun, mempertimbangkan kemungkinan beratnya efek samping yang terjadi, rekomendasi pemberian imunoterapi untuk telur masih kontroversial.[21]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra