Patofisiologi Alergi Makanan
Patofisiologi alergi makanan dibedakan berdasarkan reaksi yang dimediasi IgE atau hipersensitivitas tipe I, dan reaksi yang tidak dimediasi IgE. Selain itu, terdapat juga tipe campuran yang melibatkan IgE dan sel T. Alergi makanan yang dimediasi oleh IgE memiliki onset gejala yang cepat, dimulai 4–6 jam setelah terpapar. Alergi makanan yang tidak dimediasi IgE onsetnya lebih lambat. Alergi makanan yang dimediasi IgE dapat menimbulkan reaksi anafilaksis.[2,9–11]
Alergi Makanan Yang Dimediasi IgE
Sensitisasi terhadap alergen makanan dapat terjadi melalui sistem pencernaan, kulit, dan meskipun jarang, melalui sistem pernapasan, yang diakibatkan kerusakan fungsi sawar mukosa atau adanya inflamasi.[12]
Antigen tersebut kemudian diproses dan dipresentasikan oleh antigen presenting cell (APC) ke major histocompatibility complex (MHC). Selanjutnya, MHC akan mengaktifkan sel B untuk menghasilkan IgE yang spesifik terhadap antigen tersebut. IgE akan bersirkulasi dan menempel pada reseptornya di permukaan sel mast dan basofil.[9–11,13]
Eksposur terhadap antigen berikutnya akan dikenali oleh IgE. Kemudian terjadi pelepasan histamin dan triptase. Mediator lain yang turut terlibat, antara lain prostaglandin, leukotrien, kemokin, dan platelet-activating factor.[9–11,13]
Mediator-mediator ini menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular, yang mengakibatkan edema dinding usus, juga kontraksi otot polos dan produksi lendir di saluran pencernaan. Ketika alergen terdistribusi secara sistemik, basofil dan sel mast dapat bereaksi, sehingga menyebabkan anafilaksis.[1]
Alergi Makanan Yang Tidak Dimediasi IgE
Mekanisme alergi makanan yang tidak dimediasi IgE, misalnya esofagitis dan food protein–induced enterocolitis syndrome (FPIES), masih belum jelas. Pada esofagitis, reaksi terutama diperantarai oleh sel T helper 2 (TH2), serta IL-5, IL-13, dan IL-9. Selain itu, didapatkan juga peningkatan eosinofil, sel mast, dan sel CD4+ pada jaringan esofagus.[3,9,10]
Pada FPIES, ditemukan eosinofil dan TH2 pada mukosa usus, tetapi studi lain menyatakan mungkin ada juga peran dari sistem imun bawaan yang turut berperan pada patogenesis penyakit ini.[3,12]
Penyakit Berhubungan dengan Alergi Makanan
Terdapat beberapa jenis penyakit yang berhubungan dengan alergi makanan, antara lain dermatitis atopik, celiac disease, sindrom alergi oral, esofagitis, asma, proctocolitis dan enterocolitis, serta sindrom Heiner.
Dermatitis Atopik
Sebanyak 35–40% pasien dengan dermatitis atopik memiliki alergi makanan diperantarai IgE. Reaksi termediasi IgE dan mekanisme seluler dapat menyebabkan terjadinya inflamasi kulit yang kronis. Eliminasi alergen makanan dapat menghasilkan perbaikan bahkan resolusi gejala pada sebagian pasien.[1,5]
Celiac Disease
Celiac disease merupakan respons imun terhadap protein gluten yang terdapat pada bahan makanan biji-bijian atau tepung. Celiac disease sering dikaitkan dengan terjadinya dermatitis herpetiformis, yaitu munculnya lesi melepuh dan gatal yang kronis, dengan distribusi simetris. Eliminasi gluten dari diet biasanya memperbaiki gejala pada kulit.[5]
Sindrom Alergi Oral
Merupakan reaksi alergi ringan yang dimediasi IgE. Gejala hanya terbatas di area orofaring. Konsumsi sayur, buah, atau kacang oleh orang yang alergi serbuk sari (pollen) dapat memicu sindrom alergi oral karena adanya kesamaan protein penyebab alergi.[5]
Esofagitis dan Gastroenteritis Eosinofilik
Pada esofagitis dan gastroenteritis eosinofilik, terjadi hiperplasia epitel yang menyerupai dermatitis atopik. Keadaan ini diakibatkan reaksi alergi yang dimediasi dan tidak dimediasi IgE. Pada saluran pencernaan, dapat ditemukan infiltrasi eosinofil.[1,5]
Asma
Gejala asma, misalnya wheezing, dapat ditemukan pada alergi makanan, meskipun makanan umumnya bukan alergen yang menyebabkan asma kronik.
Allergic Proctocolotis dan Food Protein-induced Enterocolitis
Inflamasi yang didominasi eosinofil akibat konsumsi makanan dapat terjadi di sepanjang saluran pencernaan. Proctocolitis merupakan bentuk alergi makanan diperantarai sel yang paling sering dijumpai. Jumlah eosinofil pada mukosa sangat banyak, tetapi IgE total normal, dan tidak ditemukan IgE spesifik protein makanan. Hal tersebut konsisten dengan reaksi alergi yang tidak dimediasi IgE.[1]
Sindrom Heiner
Sindrom Heiner adalah reaksi yang tidak dimediasi IgE. Gejalanya berupa pneumonia, hemosiderosis, perdarahan saluran cerna, dan gagal tumbuh pada bayi.[4,5]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra