Patofisiologi Hipertensi Perioperatif
Patofisiologi hipertensi perioperatif melibatkan interaksi kompleks antara respons fisiologis terhadap stres perioperatif, termasuk peningkatan aktivitas simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang menyebabkan vasokonstriksi dan retensi cairan.
Peningkatan aktivitas simpatis merangsang pelepasan katekolamin yang meningkatkan denyut jantung dan kontraksi pembuluh darah. Selain itu, pengeluaran renin oleh ginjal meningkat karena hipovolemia relatif selama periode operasi, menyebabkan produksi angiotensin II yang merangsang vasokonstriksi pembuluh darah.[1,5]
Prediktor Hipertensi Perioperatif
Prediktor hipertensi perioperatif yang umum adalah riwayat hipertensi sebelumnya, terutama bila tekanan diastolik di atas 110 mmHg. Prediktor lain adalah jenis operasi yang akan dilakukan, seperti operasi karotid, operasi aorta abdominal, operasi vaskuler perifer, operasi intraabdomen dan operasi intratorakal. Hipertensi perioperatif dapat terjadi saat induksi anestesi, saat operasi, sesaat setelah operasi dan 24–48 jam setelah operasi.[1,11]
Patofisiologi Hipertensi Perioperatif akibat Induksi Anestesi
Saat induksi anestesi, baik pasien yang memiliki tekanan darah tinggi ataupun tidak, dapat mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Pasien dengan riwayat hipertensi kronik lebih rentan mengalami fluktuasi tekanan darah akibat remodeling arterial dan peningkatan resistensi vaskular.[2,5,12]
Aktivasi saraf simpatetik saat induksi anestesi dapat meningkatkan tekanan darah sebanyak 20–30 mmHg dan denyut jantung meningkat 15–20 kali per menit pada pasien dengan tekanan darah yang normal. Respons ini dapat meningkat secara signifikan pada pasien yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol sebelumnya di mana tekanan sistolik dapat meningkat menjadi 90 mmHg.[13]
Patofisiologi Hipertensi Perioperatif Intraoperasi
Hipertensi perioperatif yang terjadi saat operasi biasanya disebabkan oleh nyeri akut yang berhubungan dengan stimulasi saraf simpatetik sehingga menyebabkan vasokonstriksi. Pada saat operasi, tekanan darah arterial rata-rata turun diakibatkan oleh efek langsung anestesi, inhibisi saraf simpatik dan hilangnya kontrol refleks baroreseptor tekanan arterial.[4,5]
Efek induksi anestesi terhadap perubahan tekanan darah berhubungan dengan peningkatan kadar katekolamin dan peningkatan sensitivitas pembuluh darah perifer terhadap katekolamin. Pasien dengan riwayat hipertensi sebelumnya cenderung mengalami perubahan tekanan darah yang fluktuatif saat operasi, baik hipertensi maupun hipotensi, yang dapat meningkatkan risiko terjadinya iskemia miokard.[5,14]
Patofisiologi Hipertensi Perioperatif Pascaoperasi
Hipertensi perioperatif sesaat setelah operasi biasanya disebabkan oleh nyeri setelah operasi, hipoksia, hiperkarbia, hipotermia, distensi kandung kemih, atau cairan intravaskuler yang berlebihan akibat pemberian terapi cairan selama operasi.
Beberapa studi mengungkapkan bahwa hipertensi akut pascaoperasi lebih rentan terjadi pada pasien wanita, terutama yang berusia lanjut. Hal ini diperkirakan berhubungan dengan tingkat aktivitas estrogen. Wanita pascamenopause mengalami perubahan kadar estrogen dan lebih rentan terhadap agitasi emosional. Kondisi ini berdampak pada peningkatan rangsangan saraf simpatetik dan perubahan fungsi endokrin, sehingga memicu peningkatan abnormal tekanan darah.[5]
Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi didefinisikan tekanan darah sistolik ≥180 mmHg atau tekanan diastolik ≥120 mmHg pada dua kali pemeriksaan berturut-turut. Stimulasi adrenergik, nyeri pascaoperasi, kecemasan, peningkatan volume cairan intravaskular dapat memicu timbulnya krisis hipertensi, terutama pada pasien dengan riwayat hipertensi kronik.[1,3]
Bila krisis hipertensi tidak ditangani dengan tepat, pasien berisiko mengalami perdarahan, gangguan serebrovaskuler, dan infark miokard. Efek ini dikaitkan dengan peningkatan beban kerja miokardial dan peningkatan tekanan hidrostatik.[3,12]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelvi Levani