Pendahuluan Phytophotodermatitis
Phytophotodermatitis adalah reaksi dermatitis kulit terkait tumbuhan. Ruam yang timbul pada phytophotodermatitis paling banyak disebabkan oleh kontak dengan getah atau sari dari tumbuhan, yang kemudian menyebabkan reaksi fototoksik saat terpapar sinar matahari. Beberapa tumbuhan di Indonesia yang dapat menimbulkan phytophotodermatitis adalah jeruk nipis, wortel, dan ubi.[1]
Pada kasus phytophotodermatitis, paparan agen fototoksik dapat terjadi melalui kontak langsung pada kulit atau tertelan. Beberapa faktor risiko phytophotodermatitis meliputi profesi yang memungkinkan kontak dengan tumbuhan fototoksik seperti buruh tani, aktivitas rekreasi di luar ruangan, serta penggunaan metode pengobatan alami atau herbal.[1-4]
Setelah paparan terhadap tumbuhan fototoksik yang diikuti paparan sinar matahari, umumnya eritema muncul dalam 24–48 jam. Lesi dapat berkembang menjadi edema hingga lepuh. Berbeda dengan dermatitis kontak alergi, gejala nyeri dan sensasi terbakar lebih umum dijumpai dibanding pruritus. Pada beberapa kasus, gejala dapat hanya berupa hiperpigmentasi asimptomatik.[1-4]
Diagnosis umumnya cukup ditegakkan melalui anamnesis riwayat paparan dan pemeriksaan fisik. Phytophotodermatitis juga bisa membaik dengan intervensi yang minimal. Penanganan diawali dengan menghindari paparan tumbuhan fototoksik dan membersihkan area kulit yang telah terdampak dengan air dan sabun.[1,2]
Terapi medikamentosa dapat diberikan secara topikal maupun sistemik sesuai derajat keparahan gejala. Terapi steroid topikal seperti hydrocortisone bermanfaat untuk mengurangi peradangan dan meredakan gejala. Pada pasien dengan gejala nyeri dan sensasi terbakar, analgesik dan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) dapat diberikan.[1-4]
Pencegahan merupakan pendekatan terbaik dalam penanganan phytophotodermatitis. Pada individu dengan faktor risiko okupasional, disarankan untuk senantiasa menggunakan alat pelindung diri yang menutup bagian kulit serta area wajah. Penggunaan tabir surya spektrum luas pada saat beraktivitas di luar ruang juga direkomendasikan untuk mencegah kerusakan barier kulit.[1,2]