Pendahuluan Penyakit Wilson
Penyakit Wilson atau Wilson's disease adalah penyakit terkait akumulasi tembaga yang umumnya mempengaruhi organ hati. Penyakit Wilson merupakan kelainan genetik resesif autosomal langka yang dikaitkan dengan mutasi gen ATP7B pada kromosom 13q14. Gen ini berfungsi untuk mengkode ATPase pengangkut tembaga yang penting untuk sintesis seruloplasmin dan ekskresi tembaga bilier.[1-3]
Secara epidemiologi, insiden penyakit ini sekitar 10–30 juta orang di seluruh dunia, dengan frekuensi carrier heterozigot sebanyak 1 dari 100 orang. Penyakit Wilson umumnya terdeteksi pada pasien antara usia 4–40 tahun. Manifestasi klinis penyakit ini sangat bervariasi, yang umumnya melibatkan gangguan pada hati, sistem saraf, dan oftalmologi.[1,2,4]
Manifestasi pada hati mulai dari peningkatan enzim asimtomatik hingga gagal hati akut. Kelainan neurologis yang muncul dapat berupa tremor, distonia, ataksia, dan disartria. Sementara itu, gejala psikiatri dapat berupa gangguan kognitif, gangguan perilaku dan kepribadian, depresi, hingga psikosis.[1,5,6]
Akumulasi tembaga pada organ mata dapat menunjukkan gambaran cincin berwarna cokelat keemasan di kornea perifer, atau disebut cincin Kayser-Fleischer. Penyakit Wilson juga berpotensi menyebabkan anemia hemolitik, kelainan ginjal, jantung, dan muskuloskeletal.[1-3]
Mengingat manifestasi klinisnya yang bervariasi dan kadang tidak spesifik, diagnosis penyakit Wilson dapat sulit dilakukan. Diagnosis penyakit Wilson meliputi berbagai kombinasi pemeriksaan seperti serum seruloplasmin, tembaga dalam urin 24 jam, dan pengujian genetik untuk mutasi ATP7B. Selain itu, pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan seperti MRI otak dan biopsi hati.[1,5]
Pengobatan penyakit Wilson bertujuan untuk mengurangi akumulasi tembaga dan mencegah kerusakan organ lebih lanjut. Terapi farmakologi terutama meliputi agen kelasi dan pemberian zinc. Pada pasien dengan gagal hati akut atau sirosis dekompensasi, transplantasi hati mungkin diperlukan. Manajemen diet melalui pola makan rendah tembaga penting dilakukan untuk mengoptimalisasi terapi. Selain itu, fisioterapi atau terapi okupasi dapat diberikan mengatasi gangguan neurologis.[1,2,4,5]