Diagnosis Insufisiensi Vena Kronik
Diagnosis insufisiensi vena kronik perlu dipikirkan pada pasien dengan keluhan edema dan perubahan kulit, seperti hiperpigmentasi, ekzema, atrophie blanche, lipodermatosklerosis, hingga ulkus venosus terutama pada tungkai bawah. [6]
Anamnesis
Anamnesis yang perlu digali pada pasien dengan kecurigaan insufisiensi vena kronik, antara lain:
- Gejala seperti nyeri, bengkak, adanya ulkus, atau perubahan warna kulit pada ekstremitas bawah
- Riwayat varises, deep vein thrombosis (DVT), flebitis, atau trauma tungkai bawah
- Gali faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, serta aktivitas fisik seperti terlalu lama berdiri atau duduk, keterbatasan anggota gerak bawah, dan gaya hidup sedenter
- Adanya riwayat kehamilan multipel, obesitas, atau hipertensi
- Riwayat insufisiensi vena atau varises pada keluarga [1-3,5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan pada pasien dengan kecurigaan insufisiensi vena kronik, meliputi inspeksi kulit dan vena tungkai bawah, palpasi sepanjang dilatasi vena dan otot betis, pengukuran diameter betis, serta pemeriksaan spesifik seperti Brodie-Trendelenburg test (atau tes Trendelenburg) dan ankle brachial index (ABI). [1,2,8]
Inspeksi
Inspeksi yang penting dalam pemeriksaan insufisiensi vena kronik yaitu inspeksi tungkai bawah dalam posisi berdiri, inspeksi kulit, dan evaluasi ulkus.
- Inspeksi tungkai bawah dalam posisi berdiri dilakukan untuk menilai adanya dilatasi vena superfisial, telangiektasis, varises, serta edema tungkai bawah (umumnya pitting dan tidak mengenai kaki depan atau forefoot).
- Inspeksi kulit dilakukan untuk menilai adanya hiperpigmentasi, dermatitis stasis, atrophie blanche, dan lipodermatosclerosis. Atrophie blanche adalah penyembuhan luka berupa skar putih pada kulit karena kurangnya suplai darah
- Deskripsikan ulkus: lokasi, ukuran, karakteristik, banyaknya, dan tipe eksudat yang ada, adanya nyeri dan skalanya, serta dasar ulkus [1,2]
Palpasi
Palpasi yang penting dalam pemeriksaan insufisiensi vena kronik yaitu:
- Palpasi konsistensi otot betis dan pengukuran diameternya, dibandingkan dengan sisi tungkai yang sehat
- Palpasi adanya nyeri tekan sepanjang vena yang terdilatasi [1,2]
Pemeriksaan Spesifik
Pemeriksaan spesifik yang perlu dilakukan pada kecurigaan insufisiensi vena kronik yaitu tes Trendelenburg untuk membedakan inkompetensi atau refluks vena terjadi superfisial atau dalam, serta pengukuran ankle brachial index (ABI) untuk menyingkirkan kemungkinan ulkus akibat etiologi arteri (peripheral arterial disease / PAD). [1,2]
Tes Trendelenburg :
Tes Trendelenburg dilakukan dengan cara:
- Pasien dalam posisi supinasi, fleksi panggul tungkai untuk mengosongkan vena
- Gunakan torniquet atau lakukan kompresi manual terhadap vena superfisial untuk mengoklusi vena superfisial
- Pasien diminta berdiri
- Bila terdapat inkompetensi atau refluks vena superfisial, dilatasi vena superfisial akan muncul setelah >20 detik
- Bila terdapat inkompetensi atau refluks vena dalam atau keduanya, dilatasi vena akan segera muncul [1]
Ankle Brachial Index:
Evaluasi ankle brachial index (ABI) dilakukan dengan cara:
- Mengukur tekanan sistolik pada kedua lengan (arteri brakialis) dan pada tungkai yang sakit (di kedua arteri kaki : arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior).
- Pilih angka sistolik tertinggi dari salah satu lengan, dan angka sistolik tertinggi dari salah satu arteri kaki.
- Bandingkan tekanan sistolik tertinggi pada kaki dengan tekanan sistolik tertinggi arteri brakialis, hitung hasil sampai 2 angka desimal.
- Nilai ABI normal 0,9-1,4. Kemungkinan terjadi peripheral arterial disease jika ABI <0.9, dan peripheral arterial disease berat jika ABI <0,5 [9]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipikirkan pada pasien insufisiensi vena kronik antara lain deep vein thrombosis (DVT), lymphedema, lipedema, dan gagal jantung. [1,2]
Deep Vein Thrombosis (DVT)
Pada anamnesis, perlu ditinjau adanya faktor risiko DVT, seperti imobilisasi dalam waktu lama, kejadian thromboemboli sebelumnya, atau riwayat DVT. Pada pemeriksaan fisik, bisa tampak pitting edema mencakup seluruh tungkai bawah. Pemeriksaan penunjang berupa USG atau contrast venography untuk menemukan adanya oklusi vena dalam.
Lymphedema
Pada anamnesis lymphedema, perlu diidentifikasi adanya riwayat kanker, pengobatan kanker yang dijalani, gejala infeksi, serta pembengkakan yang dapat terjadi di area lengan, tungkai, atau genitalia. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional, edema tungkai mencakup kaki depan (forefoot) hingga jari-jari kaki, awalnya pitting namun lama-kelamaan bisa menjadi non pitting, serta bisa terdapat eritema irregular seiring kanal limfatik (limfangitis).
Lipedema
Pada anamnesis didapatkan pembesaran atau pembengkakan lengan dan tungkai bilateral secara bersamaan. Area ekstremitas bawah yang sering terkena adalah bokong dan paha. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan non pitting edema pada tungkai bawah sebatas pergelangan kaki, dan adanya cuff of tissue pada ankle.
Gagal Jantung
Pada gagal jantung, ditemukan gejala seperti dyspnea on effort, orthopnea, dan paroxysmal nocturnal dyspnea,serta terdapat riwayat kelainan jantung atau infark miokard sebelumnya. Pemeriksaan fisik menunjukkan peningkatan tekanan vena jugular (JVP), batas jantung melebar, suara jantung tambahan, dan ronkhi terutama pada basal paru (tanda edema paru). Selain itu juga dapat ditemukan shifting dullness (ascites), hepatojugular refluks, dan pitting edema tungkai bilateral.
Kaki Gajah
Kaki gajah, dikenal juga sebagai elephantiasis atau filariasis limfatik, adalah infeksi kelompok cacing filaria yang disebarkan vektor nyamuk. Gejala filariasis akut meliputi demam filaria selama 3-5 hari, dan pembesaran kelenjar getah bening. Gejala kronis meliputi limfedema, elefantiasis, chyluria, chylocele, chyloascitis, dan chylotoraks. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan mikrofilaria pada pemeriksaan apusan darah tepi. [1,2]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang berperan dalam menegakkan insufisiensi vena kronik adalah dengan pemeriksaan radiologi, terutama dengan USG duplex. Meskipun demikian, pencitraan lainnya seperti venografi dan Doppler juga memiliki peranan dalam mendiagnosis insufisiensi vena kronik. [4,6,8]
Ultrasonografi / USG
USG duplex saat ini adalah pemeriksaan pilihan untuk menegakkan diagnosis insufisiensi vena kronik. Color-flow duplex dapat membantu menilai aliran darah baik menuju transducer (merah) atau menjauhi transducer (biru), sehingga sensitif dan spesifik untuk mengevaluasi pola refluks vena.
Venografi dengan kontras masih menjadi standar baku untuk diagnosis deep vein thrombosis (DVT), namun USG duplex lebih sering dipilih sebagai pemeriksaan awal karena lebih tidak invasif. USG duplex sangat tergantung pada kemampuan operator, namun jika digunakan oleh operator yang ahli dapat memiliki sensitivitas dan spesifitas yang hampir sama dengan venografi.
Arah aliran penting dinilai karena adanya aliran ke arah kaki menjadi patokan adanya refluks. Adanya refluks didefinisikan dengan durasi aliran refluks >0,5 detik untuk vena superfisial dan 1 detik untuk vena dalam. Durasi yang lebih lama memang berhubungan dengan derajat penyakit yang lebih berat, namun tidak berhubungan dengan berat-ringan gejala klinis yang ditimbulkan. [1,2,8]
Phlebografi (Venografi dengan Xray dan Kontras)
Phlebografi adalah metode pencitraan untuk mengevaluasi vena, dengan menggunakan media kontras dan sinar Xray. Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena sudah tergantikan oleh USG duplex, yang lebih mudah, cepat, tidak invasif, tidak menggunakan kontras sehingga menghindari reaksi alergi, serta memiliki ketepatan diagnostik yang sama atau lebih baik dari phlebografi. [2,8]
Venous Plethysmography
Venous plethysmography adalah pemeriksaan noninvasif untuk mengevaluasi refluks, obstruksi, dan gangguan pompa otot dengan menilai venous filling index (indeks pengisian vena). Pemeriksaan ini sudah mulai jarang dilakukan karena adanya USG duplex. Ada 3 metode venous plethysmography, yaitu photoplethysmography (atau light reflection rheography), air plethysmography, dan venous occlusion plethysmography.
Photoplethysmography: pengukuran durasi pengisian vena (venous filling time) pada pleksus vena subkutan melalui banyaknya sinar inframerah yang dipantulkan haemoglobin kapiler. Tingginya pengisian menandakan refluks.
Air plethysmography: pengukuran perubahan volume vena dengan manset/cuff berisi udara yang dipasang di tungkai bawah.
Venous occlusion plethysmography: oklusi drainase vena dengan manset/cuff pada tungkai atas dan manset lain di tungkai bawah (sebagai strain gauge atau pengukur tegangan) untuk menilai kapasitas vena dan drainase vena. [1,2,8]
Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Venography (MRV)
Perkembangan teknologi venografi dengan CT scan atau magnetic resonance venography (MRV) adalah pencitraan vena (venografi) dengan kontras, yang perlu direncanakan sedemikian rupa waktunya, agar memperoleh visualisasi vena yang memadai. CT atau MRV unggul terutama untuk area yang sulit dievaluasi oleh modalitas lainnya. MRV adalah pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik untuk mengevaluasi vena superfisial dan vena dalam pada area tungkai dan pelvis, sekaligus menemukan penyebab edema tungkai akibat jaringan lunak nonvaskular. Venografi dengan CT atau MRV dapat dilakukan bila hasil USG duplex inkonklusif. [2,8]
Ambulatory Venous Pressure Monitoring (AVP)
Ambulatory venous pressure (AVP) adalah baku emas dalam menilai hemodinamik dari insufisiensi vena kronik. Pemeriksaan AVP dilakukan dengan memasang jarum yang terhubung ke pengukur tekanan ke vena dorsalis pedis. AVP bermanfaat dalam mengevaluasi derajat dan luaran klinis insufisiensi vena kronik, terutama melalui parameter mean AVP dan refill time. Akan tetapi, teknik ini dianggap tidak mampu merefleksikan tekanan vena dalam secara akurat. AVP mulai ditinggalkan karena invasif dan tidak praktis, apalagi setelah adanya USG duplex. [1,2,8]