Penatalaksanaan Henti Jantung Mendadak
Penatalaksanaan henti jantung mendadak terbagi menjadi beberapa tahap berbeda. Tahap pertama adalah identifikasi henti jantung mendadak dan pemberian bantuan hidup dasar (BHD). Tahap berikutnya adalah bantuan hidup lanjutan, termasuk pemberian obat-obatan via intravena ataupun intraoseus. Saat return of spontaneous circulation (ROSC) telah didapatkan, pasien selanjutnya harus menjalani perawatan pasca resusitasi yang berkelanjutan untuk pencegahan henti jantung mendadak berulang di masa depan.[1,5,6]
Resusitasi jantung paru (RJP), defibrilasi, dan aktivasi emergency response system (EMS), harus segera dilakukan setelah henti jantung mendadak diidentifikasi. Mengingat tatalaksana henti jantung mendadak akan bergantung pada kompetensi penolong, dan kasus Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) tergolong tinggi, perlu ada utilisasi defibrilator di ruang publik serta pelatihan BHD pada masyarakat awam.[1,5,6]
Pengenalan Dini dan Aktivasi Pelayanan Gawat Darurat
Pengenalan dini dilakukan oleh penolong atau bystander yang menyadari penderita telah mengalami henti jantung mendadak. Pada saat bersamaan, penolong melihat apakah pasien tidak bernapas atau bernapas secara tidak normal (gasping).[1,5]
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan denyut nadi pada orang dewasa dengan meraba arteri karotis < 10 detik. Jika penolong secara definitif tidak dapat merasakan pulsasi dalam periode tersebut, kompresi harus segera dilakukan. Cek nadi dilakukan secara simultan bersamaan dengan penilaian napas pasien.[1,2]
Jika pernapasan tidak normal atau tidak bernapas, namun denyut nadi masih teraba, berikan bantuan napas setiap 5-6 detik, dengan volume tidal yang direkomendasikan 500-700 ml atau dada terlihat mengembang. Hindari pemberian bantuan napas yang berlebihan. Nadi pasien diperiksa setiap 2 menit. [1,5]
Penolong harus sesegera mungkin memanggil nomor akses EMS atau Gawat Darurat setempat apabila pasien tidak merespons dan tidak bernapas atau bernapas tidak adekuat (harus dianggap bahwa pasien mengalami henti jantung mendadak).[1,4]
Hambatan pada fase ini adalah penolong tidak mengenali tanda henti jantung mendadak dan tidak memiliki ilmu terkait melakukan RJP. Hambatan juga bisa terjadi jika henti jantung mendadak terjadi di rumah pribadi dibandingkan lokasi umum.[1,5]
Resusitasi Jantung Paru Segera
Penolong segera melakukan resusitasi jantung paru (RJP) pada penderita henti jantung mendadak sampai bantuan datang. Metode RJP penting untuk membantu sirkulasi dengan mengkombinasikan kompresi dada dan pemberian napas buatan untuk memberikan oksigen yang diperlukan bagi kelangsungan hidup fungsi sel tubuh.[1,5]
Beberapa poin dalam pelaksanaan resusitasi jantung paru (RJP) berkualitas tinggi berdasarkan rekomendasi AHA 2020:
- Kompresi dada dimulai dalam waktu < 10 detik setelah diagnosis henti jantung mendadak ditegakkan
- Melakukan kompresi dada dengan cepat (100-120 x/menit) dan dengan kedalaman minimum 2 inci (5 cm) – 2,4 inci (6cm)
- Meminimalkan interupsi selama kompresi berlangsung
- Mencegah ventilasi yang berlebihan
- Menggantikan pelaksana kompresi dada setelah 2 menit atau jika kelelahan
- Melakukan kompresi dada dan memberikan bantuan napas dengan perbandingan 30:2 apabila tidak terpasang bantuan jalan napas tingkat lanjut[1,5]
Pada henti jantung mendadak yang non shockable seperti PEA dan asistol, penanganannya meliputi: RJP yang efektif, pemberian obat-obatan berupa epinefrin dan vasopressin, serta identifikasi/tatalaksana penyebab. Setelah 5 siklus RJP, cek kembali irama jantung. Tatalaksana selanjutnya sesuai dengan temuan.[1,5]
Bantuan Pernapasan
Setelah melakukan kompresi dada, buka jalan napas korban dengan baik pada korban trauma maupun non trauma. Bila terdapat kecurigaan atau terbukti cedera spinal, gunakan manuver jaw thrust tanpa mengekstensi kepala saat membuka jalan napas. Penolong memberikan bantuan pernapasan sekitar 1 detik (inspiratory time), dengan volume yang cukup untuk membuat dada mengembang. Hindari pemberian bantuan napas yang cepat dan berlebihan karena dapat menimbulkan distensi lambung beserta komplikasinya, seperti regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, ventilasi berlebihan juga dapat menyebabkan naiknya tekanan intratorakal, mengurangi venous return, dan menurunkan cardiac output.[1,3]
Defibrilasi Segera
Defibrilasi paling utama dilakukan pada menit-menit pertama setelah onset henti jantung. Jika terlambat, jantung tidak akan berespons terhadap terapi defibrilasi. Defibrilasi dilakukan pada kondisi henti jantung mendadak yang shockable yaitu pada VF/VT tanpa nadi. Setelah 5 siklus RJP atau 2 menit, segera lakukan penilaian. Bila masih ditemukan VF/VT tanpa nadi maka defibrilasi dapat segera dilakukan, dilanjutkan CPR 5 siklus atau 2 menit, kemudian lakukan penilaian ulang. Penolong harus memeriksa denyut nadi karotis bilamana ritme yang teratur telah kembali. Bilamana tidak ada denyut nadi atau tidak ada indikasi shock dengan AED, RJP harus dilanjutkan dengan menilai ritme setiap lima siklus [1,5]
Keberadaan AED di tempat-tempat umum yang strategis dan pelatihan pada masyarakat sangat berguna untuk meningkatkan kelangsungan hidup penderita Out of Hospital Cardiac Arrest. Sejauh ini masih jarang ditemukan tersedianya defibrilator komunitas di Indonesia, sehingga angka pelaksanaan resusitasi jantung paru di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lain.[1-4]
Langkah–langkah penggunaan AED:
- Pastikan korban dan penolong dalam situasi aman dan ikuti langkah-langkah BHD dewasa. Lakukan kompresi dada dan pemberian bantuan napas sesuai panduan BHD
- Segera setelah AED datang, nyalakan alat dan tempelkan elektroda pads pada dada korban. Elektroda pertama di garis midaxillaris sedikit di bawah ketiak, dan elektroda pads kedua sedikit di bawah clavicula kanan
- Ikuti perintah suara dari AED. Pastikan tidak ada orang yang menyentuh korban saat AED melakukan analisis irama jantung
- Jika shock diindikasikan, pastikan tidak ada seorangpun yang menyentuh korban. Lalu tekan tombol shock
- Segera lakukan kembali RJP
- Jika shock tidak diindikasikan, lakukan segera RJP sesuai perintah suara AED hingga penolong profesional datang dan mengambil alih RJP, korban mulai sadar, bergerak, membuka mata, bernapas normal, atau penolong kelelahan[1,5]
Perawatan Jantung Lanjutan yang Efektif
Bantuan Hidup Lanjut (Advance Cardiac Life Support) bertujuan untuk menstabilkan kondisi pasien yang telah diresusitasi untuk melewati tahap kritis. Tahap ini terdiri dari tatalaksana jalan napas buatan (pemasangan endotracheal tube), pemberian obat-obatan intravena seperti epinefrin dan cairan, serta jika perlu terapi defibrilasi sesuai dengan gambaran EKG-nya.[3,5]
Defibrilasi
Ventricular Tachycardia (VT) dan Ventricular Fibrillation (VF) bila berlangsung lama akan menurunkan aktivitas jantung dan akan sulit untuk dikonversi ke ritme yang normal. Beberapa jenis terapi energi defibrilasi yang dapat dilakukan sesuai indikasi disritmia yang terjadi pada pasien:
Biphasic waveform defibrillators. Energi optimal yang dipakai untuk mengakhiri VF bergantung pada spesifikasi alat, dan berkisar antara 120 – 200 Joule. Pada pasien dewasa menggunakan energi 200 J. Bilamana VF berhasil diatasi tetapi timbul VF ulang, shock berikut gunakan energi yang sama.
Monophasic waveform defibrillators, masih digunakan di banyak institusi, memberikan energi secara unidirectional. Energi awal yang digunakan pada pasien dewasa sebesar 360 J.
Cardioversion untuk atrial flutter, disritmia supraventrikuler, seperti paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT), dan VT dengan hemodinamik yang stabil umumnya memerlukan energi 50 – 100 J monophasic, lebih kecil dibandingkan dengan atrial fibrillation (AF) 100 – 120J. Energi optimal untuk kardioversi dengan biphasic waveform belum diketahui. Energi 100 – 120J efektif dan dapat diberikan pada takiaritmia yang lain. Kardioversi tidak akan efektif untuk terapi takikardi junctional atau takikardia ektopik atau multifokal.[1,5]
Intubasi
Intubasi harus secara cepat dilakukan dengan interupsi RJP seminimal mungkin dan tanpa menunda defibrilasi. Intubasi akan mengoptimalkan oksigenasi dan pengeluaran CO2 selama resusitasi. Penempatan intubasi dikonfirmasi dan dipantau dengan kapnografi. Setelah saluran napas lanjutan terpasang, berikan bantuan napas 1 kali tiap 6 detik (10 napas per menit) dengan kompresi dada terus menerus. Jalur endotrakeal juga bisa dipakai untuk memberikan obat bila akses intravena sulit, misalnya naloxone, atropine, vasopressine, epinefrin dan lidocaine (”NAVEL”). Obat diencerkan dengan 10 ml NaCl steril dan diberikan 2 – 3 kali.[3,5]
Pacing
Heart block high-grade dengan bradikardia yang menonjol adalah penyebab henti jantung mendadak. Pacing temporer harus dipasang bila frekuensi jantung tidak meningkat dengan terapi farmakologi. Pacing transcutaneous adalah cara yang mudah untuk meningkatkan rate ventrikel.[1,5]
Perawatan Pasca Henti Jantung yang Terintegrasi
Perawatan pasca henti jantung dilakukan secara sistematis dan berbasis multidisiplin ilmu untuk pasien setelah didapatkan kondisi return of spontaneous circulation (ROSC). Perawatan pasca henti jantung memiliki beberapa fase yang harus dijalani, yaitu fase stabilisasi awal dan manajemen darurat tambahan dan berkelanjutan.[1,5]
Fase Stabilisasi Awal
Resusitasi tetap berlangsung pasca ROSC dan tahapan tatalaksana pada fase ini dapat dilakukan bersamaan atau berurutan, sebagai berikut:
- Manajemen jalan napas: kapnografi gelombang atau kapnometri untuk mengkonfirmasi dan memantau penempatan pipa endotrakeal
- Manajemen parameter pernapasan: titrasi FIO2 untuk SpO2 92% - 98%; mulai dengan frekuensi napas 10 kali/menit, titrasi ke PaCO2 sebesar 35-45 mmHg
- Manajemen parameter hemodinamik: berikan kristaloid dan/atau vasopresor atau inotropik untuk mencapai tekanan darah sistolik >90 mmHg atau mean arterial pressure >65 mmHg[2,5]
Manajemen Darurat Tambahan dan Berkelanjutan
Evaluasi pada fase ini sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan meliputi:
- Intervensi jantung darurat: evaluasi awal EKG 12 sadapan; pertimbangkan hemodinamika untuk keputusan tentang intervensi jantung
-
Targeted Temperature Management (TTM): jika pasien dalam kondisi Return Of Spontaneous Circulation dan tetap tidak sadar, TTM dapat dimulai secepatnya pada suhu 32-360 C dan dipertahankan selama 24 jam dengan menggunakan perangkat pendinginan dengan feedback loop
- Manajemen perawatan kritis lainnya, seperti: pantau suhu inti terus-menerus (esofageal, rektal, kemih). Pertahankan normoxia, normokapnia, euglikemia. Lakukan pemantauan elektroensefalogram (EEG) terus menerus atau berkala. Berikan ventilasi yang tetap melindungi paru[1,4]
Medikamentosa
Obat-obat untuk henti jantung mendadak akan diberikan pada keadaan hemodinamik tidak stabil, iskemia atau infark miokard, dan aritmia.[1,5]
Epinefrin
Epinefrin merupakan terapi farmakologi utama pada henti jantung mendadak, terutama pada asistol dan PEA, meskipun sedikit bukti akan memperbaiki survival. Obat ini memiliki efek vasokonstriksi alpha-adrenergik pembuluh non cerebral dan non koroner, sehingga menimbulkan kompensasi shunting darah ke otak dan jantung. Dosis tinggi tidak dianjurkan karena dapat ikut menimbulkan disfungsi miokard. Dosis tinggi diindikasikan pada overdosis beta-blockers atau Ca-channel blockers.
Dosis yang dianjurkan pada pasien dewasa adalah 1.0 mg IV, ulangi tiap 3-5 menit, atau pemberian infus 1-4 mikro/menit. Epinefrin juga dipakai untuk bradikardia simptomatik (bradikardi 0.01 mikro/kg; pulse arrest: 0.01 mg/kg).[5,16]
Atropin
Atropin bermanfaat pada bradikardi atau A-V block. Obat ini memiliki efek vagolitik sehingga meningkatkan laju irama sinus dan meningkatkan konduksi AV node. Dosis atropin untuk bradikardi atau A-V block adalah 0.5 mg diulang tiap 3-5 menit sampai dosis total 0.04 mg/kg. Untuk asistol, atropine diberikan 1 mg bolus diulang tiap 3 – 5 menit bila perlu. Blok vagal total dicapai bila dosis kumulatif 3 mg.[5,17]
Lidocaine
Lidocaine bermanfaat untuk mengendalikan (bukan profilaksis) ektopik ventrikel selama infark miokard akut. Dosis awal pada henti jantung adalah 1.0 – 1.5 mg/kg, dapat diulang 0.5 – 0.75 mg/kg bolus setiap 3 – 5 menit sampai dosis total 3 mg/kg. Infus kontinu lidocaine 2 – 4 mg/menit diberikan setelah resusitasi berhasil. Dosis lidocaine harus diturunkan pada pasien dengan cardiac output menurun, fungsi hepar terganggu, atau lansia. (1 mg/kg; infus, 20-50 mikro/kg/menit).[5,18]
Amiodarone
Amiodarone memiliki sifat antiaritmia, memperpanjang aksi potensial, blokade kanal natrium, kronotropik negatif. Obat ini tidak memiliki efek prodisritmik, sehingga digunakan sebagai antidisritmia pada gangguan fungsi kardiak yang berat. Indikasi penggunaan amiodarone adalah VT tidak stabil, VF yang gagal dilakukan defibrilasi elektrik dan terapi adrenalin, mengendalikan laju jantung selama VT yang monomorfik dan VT polimorfik, mengendalikan laju ventrikel pada aritmia atrium yang tidak berhasil dengan terapi digitalis, atau takikardi sekunder oleh penyebab lain, dan bagian dari kardioversi elektrik PSVT yang refrakter atau takikardia atrial.[5,18]
Dosis untuk VF dan VT yang tidak stabil, 300 mg diencerkan dalam 20–30 ml NaCl 0.9% atau Dextrose 5% secara cepat. Untuk pasien dengan kondisi lebih stabil dosis 150 mg diberikan dalam waktu 10 menit, dilanjutkan dengan infus 1 mg/menit selama 6 jam kemudian 0,5 mg/menit. Dosis maksimal adalah 2 g sehari. Efek samping yang timbul segera adalah bradikardi dan hipotensi. Pada anak anak dosis loading 5 mg/kg, dosis maksimum 15 mg/kg/hari.[5,18]
Perawatan Jangka Panjang pada Penyintas Henti Jantung Mendadak
Pasien yang berhasil bertahan pasca mengalami henti jantung mendadak tanpa kerusakan ireversibel pada otak harus menjalani pemeriksaan menyeluruh untuk memastikan etiologi dan mendapatkan tatalaksana definitif untuk pencegahan berulangnya henti jantung mendadak di kemudian hari.[1,3]
Pasien dengan henti jantung mendadak yang disebabkan oleh iskemia miokardial harus ditangani dengan intervensi bedah, farmakologis, dan radiologis sehingga angka harapan hidup dapat meningkat. Penyintas henti jantung mendadak yang dipicu kardiomiopati hipertrofik, penyakit jantung bawaan, displasia ventrikular kanan, catecholaminergic polymorphic VT, sindrom Brugada, dan long QT syndrome merupakan kandidat untuk dipasang Implantable cardioverter-defibrillator (ICD).[1-4]
Persiapan Rujukan
Jika henti jantung mendadak disebabkan oleh etiologi traumatik ataupun yang membutuhkan pembedahan, segera rujuk ke dokter spesialis bedah yang berkaitan setelah hemodinamik stabil. Beberapa tindakan bedah yang dapat dilakukan pada pasien dengan henti jantung mendadak antara lain sebagai berikut:
- Pemasangan alat pacu jantung sementara pada kasus bradikardi dan bradikardi yang diinduksi VT/VF
- Ablasi radiofrekuensi pada kasus badai VT dan syok berulang meskipun telah dilakukan tatalaksana medis
- Terapi defibrilator kardioverter: Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD) termasuk terapi yang sangat efektif tapi dikontraindikasikan pada kasus badai VT. Defibrilasi eksternal lebih disarankan untuk VT-VF
Coronary artery bypass grafting (CABG) untuk henti jantung mendadak yang dipicu oleh penyakit arteri koroner multi arteri sehingga tidak memungkinkan untuk intervensi perkutan
- Eksisi aneurisma ventrikel kiri: Biasa dilakukan jika tidak dapat ditangani dengan ablasi kateter
- Penggantian katup aorta pada kasus henti jantung mendadak yang dipicu stenosis aorta berat
Ventricular assist devices dan orthotopic heart transplantation: Tindakan ini adalah opsi terakhir untuk henti jantung mendadak yang tidak merespon dengan terapi apapun[1,5]