Patofisiologi Tenggelam/Drowning
Patofisiologi tenggelam atau drowning berhubungan dengan dua kejadian, yaitu imersi dan submersi. Risiko tenggelam yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas adalah hipoksemia dan asidosis.
Ketika tenggelam, terjadi aspirasi air dalam jumlah yang banyak. Cairan tersebut masuk ke dalam paru-paru dan menghilangkan surfaktan pada alveolus. Hal ini menyebabkan beberapa gangguan, seperti peningkatan permeabilitas membran alveolus, penurunan compliance paru, dan ventilation-perfusion mismatch.
Penurunan kadar oksigen dalam darah menyebabkan disfungsi organ, dimulai dari organ dengan kebutuhan oksigen tinggi seperti otak. Hipoperfusi dari otak dalam 2 menit menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran, dan dalam 4–6 menit akan terjadi kerusakan otak ireversibel.[1–3,20,21]
Selain aspirasi, salah satu hal yang terjadi dalam tenggelam adalah laringospasme. Pada korban tenggelam yang meninggal dengan laringospasme, aspirasi cairan tidak terjadi atau hanya sedikit terjadi, sehingga disebut juga dry drowning.[1,2]
Imersi Air Panas
Air panas dengan kelembaban tinggi membatasi penguapan keringat, terutama apabila hanya ada kepala dan leher di atas permukaan air. Proses berkeringat tetap terjadi di dalam air, sekresi kelenjar keringat larut dalam air tetapi tidak menguap dan tidak berkontribusi dalam pengaturan suhu tubuh.
Ketika suhu kulit meningkat, termoreseptor pada saraf sensorik aktif dan berinteraksi dengan pusat regulasi suhu di hipotalamus. Hal ini kemudian berlanjut pada persarafan otonom eferen yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah kutaneus. Vasodilatasi menyebabkan penurunan resistensi vaskuler, sehingga laju nadi meningkat.[3]
Dehidrasi yang terjadi akibat sekresi keringat ditambah dengan peningkatan laju jantung tersebut berisiko mencetuskan aritmia ventrikel. Kondisi ini diperparah dengan kombinasi vasodilatasi perifer dan peningkatan viskositas darah.
Kegiatan yang paling berisiko imersi air panas adalah berendam lama di air panas. Saat berendam, terjadi penurunan tekanan darah akibat hilangnya tekanan hidrostatik saat meninggalkan bak mandi dan ditambah dengan posisi berdiri.
Populasi lansia dan orang dengan penyakit jantung lebih rentan terhadap kondisi ini. Pada individu dengan gangguan termoregulasi atau defek genetik, rangsangan taktil akibat suhu air panas dapat mencetuskan refleks kejang.[3]
Imersi Air Dingin
Patofisiologi tambahan pada imersi di air dingin adalah adanya cold shock. Setelah terjatuh ke air dingin, suhu air menyebabkan kulit menjadi lebih dingin, kemudian ke saraf superfisial, dan otot. Pendinginan kemudian berlanjut pada jaringan organ dalam. Proses ini mulai terjadi pada suhu sekitar 25 derajat C dan memuncak pada suhu 10–15 derajat C setelah imersi selama 30 detik dan berangsung-angsur menurun dalam 2–3 menit kemudian.[3,4]
Pada saat terjadi imersi di air dingin, paparan air dingin pada wajah menstimulasi parasimpatis dan diving response, sedangkan aktivasi reseptor kulit menyebabkan stimulasi simpatis. Paparan air dingin juga menstimulasi parasimpatis pada nodus jantung yang kemudian menurunkan denyut jantung (bradikardia).
Ketika terjadi penurunan suhu mendadak setelah tenggelam, reseptor kulit teraktivasi dan bereaksi dengan berusaha menarik napas, meningkatkan tonus otot, hiperventilasi, vasokonstriksi perifer, hipertensi, dan peningkatan cardiac output.
Reseptor suhu di perifer bisa secara langsung meningkatkan pusat respirasi melalui stimulasi motor neuron alpha pada spinal. Hal ini meningkatkan metabolisme tubuh, menurunkan kemampuan menahan napas, dan berkontribusi mempercepat proses hipoksia dan hiperkapnia.
Gangguan parasimpatis dan simpatis ini kemudian menyebabkan aritmia dan disritmia jantung, sinyal kronotropik positif dan negatif di jantung yang tidak sinkron. Aritmia yang terjadi umumnya supraventrikular dan ritme junctional.[3]
Submersi
Rasa panik ketika tenggelam mengaktivasi sistem persarafan simpatis dan menurunkan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah. Masih dibutuhkan penelitian lanjutan mengenai efek panik dan aktivasi simpatis saat tenggelam. Akan tetapi, diketahui bahwa kombinasi stressor psikologis dan fisik memperparah cold shock dan menurunkan kemampuan untuk berenang.[3]
Diving response merupakan salah satu mekanisme yang dilakukan tubuh untuk bertahan di bawah air. Diving response bisa diaktivasi baik saat apnea atau paparan air dingin di wajah. Pada reaksi ini, terjadi aktivasi persarafan parasimpatis dan simpatis secara bersamaan yang menyebabkan vasokonstriksi perifer, hipertensi, dan bradikardia.
Tujuan dari diving response adalah menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan memperlambat desaturasi. Vasokonstriksi hanya terjadi pada perifer, sedangkan aliran arteri karotis meningkat dengan vasodilatasi dan meningkatkan perfusi jaringan otak.[3]
Ketika saluran napas korban berada di bawah air setelah menahan napas, terjadi laringospasme sebagai respon dari masuknya air ke orofaring. Laringospasme diduga terjadi secara involunter dan bertujuan untuk mencegah air lebih banyak masuk ke saluran napas. Akan tetapi, keadaan ini mengakibatkan pasien kesulitan bernapas dan menurunkan kadar oksigen dalam darah.
Ketika kadar oksigen semakin turun, spasme menghilang dan korban bisa menarik napas kembali. Pada sekitar 10–15% korban tenggelam, laringospasme tetap ada hingga terjadi arrest sehingga pada paru tidak ditemukan air atau dry drowning.[2,3]
Paru-paru merupakan organ yang paling rentan pada kasus tenggelam. Cairan yang teraspirasi bisa bersifat hipertonik dan hipotonik, dan ini mengakibatkan perubahan fungsi surfaktan. Disfungsi dari surfaktan dan masuknya cairan ke interstisial menyebabkan gangguan pertukaran gas dan memperparah hipoksia.[2,3]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli