Epidemiologi Halitosis
Epidemiologi halitosis baik secara global maupun regional sebenarnya masih sulit ditentukan oleh peneliti karena berbagai alasan. Alasan yang pertama adalah karena ketiadaan konsensus tentang kriteria diagnostik dan metode deteksi yang digunakan untuk menetapkan seseorang mengalami halitosis atau tidak.[3,4]
Alasan yang kedua, hampir di semua populasi dan kebudayaan, halitosis adalah suatu hal yang tabu dan memalukan. Sehingga hal ini memengaruhi jumlah responden yang mau berpartisipasi dalam peneltian halitosis. Namun demikian, beberapa penelitian telah melaporkan prevalensi halitosis di berbagai wilayah di dunia.[3,4]
Global
Angka epidemiologi halitosis secara global dilaporkan oleh Patil, dkk. pada tahun 2019 dimana disebutkan sebanyak 2,4% populasi dewasa mengalami halitosis. Laporan lain menyebutkan bahwa halitosis hampir ditemukan pada seluruh populasi dan berbagai macam kelompok usia. Halitosis juga ditemukan meningkat seiring dengan pertambahan usia.[3,4]
Angka prevalensi dilaporkan sebesar 5-75% pada anak-anak, sementara pada orang dewasa ditemukan prevalensi sebesar 8-50%. Halitosis sedang (moderate) dilaporkan terjadi pada 30% populasi. Sementara sisanya melaporkan pernah mengalami halitosis selama setidaknya setengah hari (morning breath). Selain itu, bau mulut yang parah dilaporkan terjadi pada kurang dari 5% populasi.[3,4]
Indonesia
Belum ada data epidemiologi nasional terbaru terkait halitosis, tetapi menurut hasil laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013, disebutkan bahwa halitosis ditemukan pada 28.6% dari total 25.9%
Mortalitas
Halitosis belum pernah dilaporkan menjadi penyebab langsung kematian. Namun demikian, beberapa penyebab halitosis seperti karsinoma dan abses gigi yang disertai dengan komplikasi sepsis dapat meningkatkan risiko mortalitas penderita.[3,4,10]
Penulisan pertama oleh: drg. Fiesta Ellyzha Eka Hendraputri