Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronis
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronis melibatkan penerapan langkah-langkah yang mengurangi risiko kardiovaskular, meminimalkan cedera ginjal lebih lanjut, dan memperlambat laju perkembangan kerusakan ginjal. Tabel di bawah ini menjelaskan rencana penatalaksanaan pada penyakit ginjal kronis berdasarkan stadium dan laju filtrasi glomerulus (GFR).[26,30]
Tabel 1. Rencana Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronis
Stadium | GFR (ml/menit/1,73m2) | Rencana Penatalaksanaan |
Stadium 1 | ≥ 90 | Terapi penyakit yang mendasari, penatalaksanaan pada kondisi komorbid, evaluasi progresivitas dari perburukan fungsi ginjal, dan memperkecil risiko kardiovaskular |
Stadium 2 | 60-89 | Menghambat progresivitas dari perburukan fungsi ginjal |
Stadium 3 | 30-59 | Evaluasi dan penatalaksanaan pada komplikasi yang terjadi |
Stadium 4 | 15-29 | Persiapan untuk terapi pengganti ginjal |
Stadium 5 | < 15 | Terapi pengganti ginjal |
Sumber: dr. Eva Naomi, Alomedika, 2023.[20]
Penatalaksanaan spesifik terhadap penyakit yang mendasari (underlying disease) harus dilakukan sebelum terjadi penurunan pada GFR pasien dan ginjal pasien dalam ukuran normal. Apabila GFR pasien telah menurun sampai 20-30% dari normal, maka penatalaksanaan terhadap underlying disease tidak memiliki manfaat yang banyak.
Penyakit yang paling banyak dikaitkan dengan penyakit ginjal kronis adalah hipertensi dan diabetes. Kontrol tekanan darah dan gula darah yang baik dengan pemberian obat antidiabetes dan antihipertensi akan menghambat dan mencegah kerusakan lebih lanjut.[30,33]
Indikasi Rujukan Ke Ahli Nefrologi
Pemantauan terhadap penurunan GFR pada pasien penyakit ginjal kronis dengan komorbid bertujuan untuk mencegah perburukan fungsi ginjal. Pemantauan dilakukan pada pasien dengan faktor komorbid seperti hipertensi dan atau diabetes mellitus yang tidak terkontrol, penyakit kardiovaskular, dan penyakit gangguan ginjal lainnya. Tabel di bawah menjelaskan kondisi komorbid yang memerlukan rujukan ke ahli nefrologi.[25,34]
Tabel 2. Parameter Rujukan Pasien dengan Komorbid pada Penyakit Ginjal Kronis
Penyakit Komorbid | Keterangan |
Diabetes Mellitus | GFR <60 mL/menit/1,73 m2 |
Hipertensi | ACR ≥70 mg/mmol (kecuali pada pasien dengan hipertensi yang disertai dengan diabetes yang terkontrol. |
Gagal Ginjal Akut | ACR ≥30 mg/mmol bersama dengan adanya hematuria |
Penyakit Kardiovaskular | Penurunan berkelanjutan GFR ≥25% dan perubahan stadium penyakit atau penurunan berkelanjutan GFR ≥15 mL/menit/1,73 m2 atau lebih dalam waktu 12 bulan |
Kelainan pada struktur ginjal dan trakutus urinarius | Memerlukan rujukan apabila disertai dengan hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik, meskipun setidaknya pasien telah diberikan empat agen antihipertensi dengan dosis terapi yang disesuaikan |
Keterangan: GFR = Laju Filtrasi Glomerulus ACR = Albumin Creatinin Ratio |
Sumber: dr. Eva Naomi, Alomedika, 2023.[34]
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis pada pasien penyakit ginjal kronis bertujuan untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemberian Obat Antihipertensi
Penggunaan obat antihipertensi bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular dan juga memperlambat kerusakan nefron. Beberapa obat antihipertensi, seperti ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) benazepril, melalui berbagai penelitian terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal.[20,25,26]
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO), terapi farmakologi dengan ACEI atau ARB (Angiotensin Receptor Blocker) diberikan pada pasien penyakit ginjal kronis dengan diabetes yang menunjukkan hasil pemeriksaan ekskresi albumin urin 30–300 mg/24 jam atau pada pasien tanpa diabetes dengan ekskresi albumin urin > 300 mg/24 jam.[26,33]
Tekanan darah yang direkomendasikan pada pasien penyakit ginjal kronis adalah 120–139/<90 mmHg. Sementara tekanan darah yang direkomendasikan pada pasien penyakit ginjal kronis dengan diabetes adalah 120–129/<80 mmHg. Apabila pasien penyakit ginjal kronis memiliki ACR ≥70 mg/mmol maka tekanan darah yang direkomendasikan adalah 120–129/<80 mmHg.[20,25]
Sodium Glucose Cotransporter 2 (SGLT2)
Terapi farmakologis dengan agen sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2) inhibitor, seperti canagliflozin, dilaporkan memberi hasil positif pada fungsi ginjal pasien dengan nefropati pada diabetes mellitus tipe 2, dengan mikroalbumin, non-albuminuria, ataupun penyakit ginjal tahap akhir dengan GFR < 30 ml/menit/1,73 m2.
Beberapa studi juga melaporkan bahwa risiko gagal ginjal dan kejadian kardiovaskular ditemukan lebih rendah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan penyakit ginjal kronis, yang menggunakan canagliflozin dibandingkan dengan golongan agen antidiabetik lainnya.[25,34]
Pembatasan Asupan Protein
Tujuan dari terapi konservatif pada pasien penyakit ginjal kronis selain menghambat progresifitas kerusakan ginjal, juga mengkoreksi faktor yang bersifat reversibel dan mengatasi keluhan simptomatik yang timbul. Pembatasan asupan protein merupakan salah satu bagian dari terapi konservatif pada pasien penyakit ginjal kronis.[30,33]
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada GFR ≤ 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan sebanyak 0,6 - 0,8 /kgBB/hari yang 0,35 – 0,50 gr di antaranya merupakan protein dengan nilai biologi tinggi.[30,33]
Tabel 3. Pembatasan Asupan Protein pada Penyakit Ginjal Kronis
Laju Filtrasi Glomerulus (ml/menit) | Asupan Protein g/Kg/hari |
>60 | Tidak dianjurkan |
25-60 | 0,6–0,8/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 gr per ≤ 10 g/kg/hari nilai biologi tinggi |
5-25 | 0,6–0,8/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 gr per ≤ 10 g/kg/hari nilai biologi tinggi, atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton |
<60 (sindrom nefrotik) | 0,8/kg/hari atau atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton |
Sumber: dr. Eva Naomi, Alomedika, 2023.[20,33]
Mengatasi Komplikasi
Penyakit ginjal kronis bisa menyebabkan berbagai komplikasi seiring dengan berkembangnya penyakit. Ini mencakup anemia dan asidosis.[1-3,5,20,26]
Anemia
Pengecekan hemoglobin (Hb) pada penyakit ginjal kronis tidak perlu dilakukan secara rutin pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) ≥ 60 mL/min/1.73 m2. Pada pasien dengan GFR 30–59 mL/min/1,73 m2, pemeriksaan dilakukan minimal 1 kali/tahun. Pada GFR <30 mL/min/1,73 m2, pemeriksaan dilakukan minimal 2 kali/tahun.
Pemberian eritropoietin disarankan dimulai bila Hb < 10 mg/dL dengan target Hb 10–12 mg/dL. Sebelum memulai terapi, sebaiknya dilakukan studi kadar besi di dalam darah. Target saturasi besi adalah 30 – 50% dan feritin 200 – 500 ng/mL.[1-3,5,20,26]
Gangguan Mineral Tulang
Pengukuran kadar kalsium, fosfat, hormon paratiroid dan alkalin fosfatase dilakukan setidaknya satu kali pada pasien dengan GFR < 45 mL/min/1,73 m2. Bila diperlukan pemberian vitamin D, pemeriksaan ulang dilakukan setidaknya 3 bulan sekali.
Rekomendasi pemberian vitamin D diberikan hingga kadar kalsium di atas 10,2 mg/dL. Bila kadar fosfat di atas 4,6 mg/dL, berikan pengikat fosfat seperti kalsium asetat, sevelamer karbonat, atau lanthanum karbonat. Bila tetap tinggi setelah pemberian pengikat fosfat, hentikan terapi vitamin D.[1-3,5,20,26]
Kelebihan Cairan
Kelebihan cairan pada pasien yang terlihat dari adanya edema atau asites dapat diterapi dengan loop diuretic atau ultrafiltrasi.[1-3,5,20,26]
Asidosis Metabolik
Untuk penanganan asidosis metabolik, berikan suplemen bikarbonat per oral pada konsentrasi bikarbonat serum < 22 mmol/L hingga mencapai nilai normal, kecuali dikontraindikasikan.[1-3,5,20,26]
Manifestasi Uremik
Pada manifestasi uremik yang berat, misalnya perikarditis, pertimbangkan untuk terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis.[1-3,5,20,26]
Komplikasi Kardiovaskular
Semua pasien penyakit ginjal kronis disarankan dipertimbangkan berada dalam risiko tinggi penyakit kardiovaskular. Terapi kejadian kardiovaskular pasien penyakit ginjal kronis disamakan dengan pasien yang tidak menderita penyakit ginjal kronis, tetapi pada pasien dengan gagal jantung, sebaiknya lakukan pengawasan laju filtrasi glomerulus dan kadar kalium darah.[1-3,5,20,26]
Gangguan Pertumbuhan pada Anak-anak
Pada pasien anak dengan penyakit ginjal kronis yang mengalami gangguan pertumbuhan, pertimbangkan untuk memberikan terapi hormon.[1-3,5,20,26]
Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal seperti dialisis peritoneal dan hemodialisa diindikasikan pada pasien penyakit ginjal kronis stadium 5 dengan GFR < 15 (ml/menit/1.73 m2), serta terdapat satu atau lebih dari:
- Adanya tanda dan gejala pada penyakit ginjal kronis seperti pruritus, gangguan asam basa dan elektrolit
- Kelebihan volume cairan tubuh (overload) dan tekanan darah yang tidak terkontrol
- Perburukan pada status gizi pasien dengan penyakit ginjal kronis yang tidak membaik dengan intervensi diet.
- Gangguan kognitif maupun penurunan kesadaran.[20,34,35]
Terapi pengganti ginjal dengan hemodialisa menggunakan mesin hemodialisis dan dialiser. Dialisis dilakukan secara intermitten yaitu antara 4-6 jam/kali, 3 sampai 6 kali/minggu.
Efek yang kurang menguntungkan dari hemodialisa adalah hemodinamik yang tidak stabil. Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa, seringkali mengalami hipotensi atau gangguan hemodinamik lainnya setelah hemodialisa berlangsung.[33-35]
Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti utama ginjal pada pasien penyakit ginjal kronis dengan stadium 5, yang telah memasuki gagal ginjal tahap akhir. Apabila proses transplantasi ginjal berlangsung berhasil maka terapi ini merupakan terapi yang paling ideal untuk mengatasi keseluruhan penurunan fungsi ginjal.
Umumnya semua pasien penyakit ginjal kronis dengan gagal ginjal tahap akhir dipertimbangkan sebagai calon resipien transplantasi ginjal, kecuali jika pasien tersebut mengalami penyakit keganasan sistemik, infeksi kronis, penyakit kardiovaskuler yang berat, ataupun pasien dengan gangguan neuropsikiatri yang dapat mengganggu kepatuhan dalam mengonsumsi obat imunosupresif pasca transplantasi ginjal.[20]
Terapi Paliatif
Pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium sedang hingga berat terutama yang tidak memilih terapi pengganti ginjal dengan hemodialisa ataupun transplantasi ginjal, membutuhkan terapi paliatif. Konsultasi dengan dokter spesialis gizi, dokter spesialis geriatri, dokter spesialis kejiwaan, maupun psikolog sangat direkomendasikan untuk memberikan dukungan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.[33,34]
Penulisan pertama oleh: dr. Nathania S. Sutisna
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta