Pendahuluan Ruptur Uteri
Ruptur uteri merupakan kondisi ketika dinding rahim robek dan ketiga lapisan dari uterus mengalami pemisahan secara komplit (endometrium, miometrium, dan perimetrium). Kondisi ruptur uteri paling sering terjadi pada ibu hamil, namun tidak menutup kemungkinan kondisi ini terjadi pada wanita yang tidak sedang hamil akibat infeksi, trauma, atau kanker.[1]
Pada ruptur uteri, dinding uterus terpisah dengan jaringan serosa, disertai ekstrusi bagian fetus atau cairan amnion ke kavum peritoneum. Terdapat beberapa faktor risiko ruptur uteri, antara lain riwayat sectio caesarea atau sikatriks pada uteri, grande multipara, penggunaan oxytocin dan misoprostol, placenta percreta, dan malpresentasi.[1,2]
Diagnosis ruptur uteri memiliki tantangan sendiri, karena penyakit ini memiliki gejala klinis yang tidak spesifik, sedangkan waktu deteksi serta penatalaksanaan secara cepat sangat penting guna mencegah terjadi mortalitas. Secara umum, pasien dengan kondisi ruptur uteri akan mengalami keluhan seperti nyeri abdomen akut, sensasi ripping, dengan atau tanpa adanya perdarahan pervaginam serta hilangnya kontraksi uterus.[3,4]
Penatalaksanaan ruptur uteri dimulai dengan stabilisasi kondisi umum pasien. Bila pasien ditemukan dalam kondisi syok, maka perlu dilakukan resusitasi terlebih dahulu. Setelah kondisi pasien stabil, maka pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk dilakukan tindakan sectio caesarea. Prosedur operasi selanjutnya yang dapat dilakukan yaitu repair ruptur, serta histerektomi sesuai indikasi.[5]
Penulisan pertama oleh: dr. Ida Bagus Nugraha