Epidemiologi Pterygium
Berdasarkan data epidemiologi global, prevalensi pterygium bervariasi antara 1–30%. Prevalensi tertinggi terjadi di “zona pterygium”, yaitu zona yang terletak 40 derajat dari lintang utara dan selatan dari garis ekuator. Indonesia merupakan negara yang terletak pada “zona pterygium”, dengan perkiraan prevalensi sekitar 10%.[4]
Global
Di dunia, prevalensi pterygium di setiap negara bervariasi sesuai populasi, dengan perkiraan 1–30%. Pterygium dilaporkan lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki, dibanding perempuan, sebanyak 2 kali lipat. Pterygium lebih banyak ditemukan pada pasien yang berusia di atas 40 tahun, terutama yang mengalami paparan sinar ultraviolet kronis atau sering beraktivitas di luar ruangan.[4,5]
Indonesia
Indonesia merupakan negara yang terletak pada “zona pterygium”, sehingga berisiko memiliki prevalensi pterygium yang tinggi. Prevalensi pterygium pada populasi berusia di atas 21 tahun di Indonesia diperkirakan sebesar 10%. Prevalensi ini kurang lebih serupa dengan negara-negara lain, yang juga terletak pada “zona pterygium”.[12]
Mortalitas
Pterygium tidak menyebabkan mortalitas secara langsung. Namun, pterygium dapat mengganggu kualitas hidup pasien akibat gangguan penglihatan, yang bisa diketahui dengan pemeriksaan visus. Pterygium juga dapat mengalami inflamasi, yang menyebabkan mata merah dan iritasi okular. Hal-hal tersebut tentu mengganggu kenyamanan pasien.
Pterygium juga sering dihubungkan dengan ocular surface squamous neoplasia (OSSN). Jika terjadi keganasan pada mata, maka tingkat mortalitas lebih tinggi.[4,5]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra