Diagnosis Fraktur Pelvis
Diagnosis fraktur pelvis atau fraktur tulang panggul didasarkan pada adanya riwayat trauma pada panggul, yang dapat disertai rasa nyeri dan mati rasa pada ekstremitas bawah. Fraktur pelvis patut dicurigai pada pasien dengan riwayat kecelakaan lalu lintas.[5–7]
Pemeriksaan fisik awal meliputi primary survey untuk menilai airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik head to toe, terutama untuk menilai nyeri pada area fraktur.[5–7]
Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium, seperti serum laktat dan base excess dari analisa gas darah untuk memantau upaya resusitasi. Standar baku emas pencitraan adalah dengan computed tomography (CT) scan panggul.[7]
Anamnesis
Pasien dengan fraktur pelvis dapat datang dengan penurunan kesadaran maupun dengan kesadaran baik (Glasgow coma scale/ GCS 14 atau 15). Pasien dengan kesadaran baik dapat menjelaskan tentang keluhan yang dirasakan, onset, dan kronologis trauma, misalnya jatuh, kecelakaan saat berkendara, atau tertabrak.[5,7,12]
Selain itu, dapat ditemukan keluhan berupa nyeri pada panggul, mati rasa objektif (objective numbness) atau paralisis pada ekstremitas bawah, hematuria, inkontinensia urin atau inkontinensia alvi, serta adanya perdarahan pada genitalia atau rektum.[5,7,17]
Deskripsi nyeri meliputi lokasi, durasi, intensitas dan kualitas nyeri, faktor yang memperberat dan mengurangi nyeri, serta pengaruh nyeri terhadap gerakan. Perlu ditanyakan mekanisme trauma pada pasien untuk menentukan tingkat keparahan trauma.[7,8,14,17]
Dokter juga perlu mempertimbangkan riwayat mikrotrauma sebagai penyebab fraktur stres maupun fraktur insufisiensi pada panggul. Mikrotrauma dapat terjadi karena aktivitas fisik dengan gerakan berulang, maupun aktivitas olahraga yang melibatkan akselerasi dan deselerasi yang cepat, seperti sepak bola, basket, baseball, dan gimnastik.[7,8,14,17]
Riwayat penyakit dahulu yang perlu ditanyakan meliputi riwayat fraktur pelvis sebelumnya, kondisi medis atau riwayat perawatan yang dapat meningkatkan risiko fraktur pelvis, seperti osteoporosis, osteomalacia, rheumatoid arthritis, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, serta riwayat terapi radiasi pelvis pada kanker ginekologi.[12,14-17]
Pasien dengan penurunan kesadaran tidak dapat memberikan keterangan, oleh karena itu diperlukan anamnesis singkat dengan pengantar pasien maupun saksi di tempat kejadian, misalnya terutama pada kasus kecelakaan lalu lintas. Anamnesis riwayat pasien berpedoman pada AMPLE, yaitu:
- A: allergies atau riwayat alergi
- M: medications atau daftar obat-obatan yang sedang digunakan
- P: past illnesses/pregnancy atau riwayat penyakit dahulu dan kehamilan
- L: last meal atau waktu makan terakhir
- E: events/environment atau mekanisme kejadian yang berhubungan dengan trauma [5]
Pemeriksaan Fisik
Pada semua pasien dengan trauma pelvis perlu segera dilakukan pemeriksaan primary survey yang meliputi pemeriksaan pada airway (jalan napas), breathing and ventilation (pernapasan dan ventilasi), circulation (sirkulasi), disability (evaluasi neurologis dengan Glasgow coma scale/GCS), serta exposure and environmental (paparan dan lingkungan).[4,7,8,17]
Pemeriksaan primary survey dapat mengidentifikasi gangguan pernapasan (acute respiratory distress syndrome/ ARDS) maupun gangguan hemodinamik (syok hemoragik atau syok hipovolemik) yang dapat terjadi pada fraktur pelvis secara cepat. Segera lakukan penatalaksanaan awal primary survey dengan resusitasi fungsi vital pada pasien dengan penurunan kesadaran sampai kondisi pasien stabil.[4,5,7,26]
Hemodinamik tidak stabil adalah pada keadaan sistolik di bawah 90 mmHg dan denyut jantung di atas 120 kali/ menit. Tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik lainnya adalah gejala vasokonstriksi, seperti ekstremitas dingin dan capillary refill time memanjang, serta penurunan kesadaran dan sesak napas.[7,12,17]
Ketika kondisi pasien stabil, harus tetap dilakukan pemantauan tanda-tanda vital. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan fisik seluruh tubuh pada secondary survey. Pemeriksaan fisik meliputi pelvis serta bagian-bagian tubuh lainnya, seperti toraks, abdomen, muskuloskeletal dan saraf, yang mungkin terlibat multiple trauma.[5,7,8,17,26]
Pada pasien dengan kesadaran baik (GCS 14 atau 15), pemeriksaan fisik regio pelvis sensitif untuk mendiagnosis fraktur pelvis dan terutama untuk mencari tahu adanya nyeri pada palpasi pelvis. Sekitar 80% fraktur pelvis dapat dideteksi melalui pemeriksaan gejala klinis.[5,7,8]
Penilaian Inspeksi
Inspeksi dilakukan untuk mencari tanda-tanda perdarahan, ekimosis pada pinggang, perineum, dan skrotum, adanya darah pada meatus penis atau vagina serta melihat posisi krista iliaka dan ekstremitas bawah secara general. Penemuan hematuria menandakan ada cedera pada traktus genitourinarius bawah.[5,8]
Pada inspeksi dapat juga ditemukan hematoma di skrotum, labia, pinggang dan inguinal yang menandakan adanya perdarahan intrapelvis. Selain itu, dapat terlihat abrasi atau laserasi pada rektum, vagina, dan perineum, yang bisa menyebabkan kontaminasi luka oleh urin atau feses. Inspeksi juga diperlukan pada bagian posterior tubuh, seperti pada regio gluteal.[5,7,8]
Penilaian Palpasi
Palpasi manual harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari cedera lanjutan pada pasien. Palpasi dilakukan pada krista iliaka, simfisis pubis, sakrum, sendi sacroiliac, dan trochanter mayor. Temuan pada palpasi dapat berupa:
- Nyeri tekan pada pelvis
- Krepitasi pada area fraktur
- Ketidakstabilan cincin panggul pada kompresi krista iliaka. Kompresi pada krita iliaka hanya boleh dilakukan satu kali sebab pergerakan pada pelvis dapat menyebabkan gangguan hemodinamika [5,8,12,17]
Penilaian Range of Motion
Pada penilaian range of motion (ROM) ditemukan adanya hambatan gerakan rotasi internal dan eksternal yang dapat dijumpai akibat deformitas pelvis. Keterbatasan gerakan ini juga bisa terlihat pada ekstremitas bawah. Selain itu, dapat ditemukan disfungsi motorik, berupa kelemahan dan kelumpuhan pada ekstremitas bawah.[5,8,12,17]
Penilaian Cedera Lain yang Berkaitan dengan Fraktur Pelvis
Selain pemeriksaan fisik terfokus pada pelvis, perlu dilakukan pemeriksaan fisik pada bagian tubuh lain, seperti rektal, vagina, uretra, dan tulang belakang. Pemeriksaan bertujuan untuk mencari tahu apakah terjadi trauma uretra, muskuloskeletal, atau neurologi.[8,12,17,25,27]
Trauma Uretra dan Vesika:
Ruptur vesika banyak ditemukan pada fraktur pelvis berat. Temuan darah pada meatus uretra eksternal atau introitus vagina, serta edema di perineum dan genitalia menguatkan kecurigaan kerusakan pada uretra.
Pada pemeriksaan digital rectal examination / colok dubur dapat ditemukan high riding prostate. Selain itu, adanya darah pada pemeriksaan rektal dan vagina menandakan fraktur pelvis terbuka. Ketidakmampuan untuk menahan berkemih/buang air besar (BAB) dan hematuria memperkuat juga merupakan tanda-tanda trauma uretra.[6-8,17,25]
Trauma Muskuloskeletal:
Fraktur pelvis sering ditemui sebagai multiple trauma, yang disertai dengan fraktur pada tulang-tulang lain. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan terhadap tulang belakang dan ekstremitas, berfokus pada ekstremitas bawah. Pada ekstremitas bawah dapat ditemukan perbedaan panjang antara kedua kaki yang disebabkan oleh translasi/pergeseran pelvis maupun akibat deformitas ekstremitas bawah.[8,12,17]
Trauma Neurovaskular:
Paralisis pada ekstremitas, hilangnya refleks dan sensibilitas, serta disfungsi miksi dan defekasi dapat menunjukkan adanya kemungkinan cedera spinal pada fraktur pelvis.[7,8,17,25,27]
Lesi saraf skiatik dapat juga terjadi pada trauma pelvis yang ditandai dengan mati rasa objektif (objective numbness) atau paralisis pada ekstremitas bawah. Pada fraktur pelvis yang diikuti dengan fraktur sakrum dapat terjadi lesi pleksus lumbosakralis yang ditandai dengan terjadinya gangguan fungsi seksual.[7,8,17,25,27]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan pada fraktur pelvis pada kejadian trauma adalah fraktur acetabulum serta fraktur kepala dan leher femur.[8,12,14,17]
Fraktur Acetabulum
Fraktur acetabulum terjadi akibat hantaman caput femur terhadap acetabulum pada trauma berenergi tinggi. Manifestasi klinis pada fraktur acetabulum mirip dengan fraktur panggul, yaitu nyeri dan deformitas pada panggul, disertai hambatan mobilitas, terutama saat adduksi panggul.[5,8,10,28]
Namun, fraktur acetabulum biasanya disertai dengan cedera lain, seperti fraktur pada patella dan tibia, atau cedera ligamentum cruciatum posterior. Pada pemeriksaan radiologis, didapatkan gambaran kerusakan luas pada mangkuk sendi dan masuknya caput femur ke dalam pelvis.[5,8,10,44]
Fraktur Leher Femur
Fraktur leher femur merupakan suatu keadaan terputusnya hubungan pada caput femur dan leher femur. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah nyeri, deformitas, perubahan gaya berjalan, dan hambatan mobilitas fisik (beraktivitas jalan atau berdiri). Berbeda dengan fraktur pelvis, nyeri pada fraktur leher femur lebih terpusat pada bagian gluteal, inguinal, atau paha.[5,8,10,17,29]
Pada pemeriksaan ROM, pasien akan mengalami hambatan dalam menggerakkan femur secara abduksi dan rotasi. Pada pemeriksaan rontgen dapat terlihat garis fraktur pada bagian superior atau inferior leher femur.[5,8,10,17,29]
Pemeriksaan Penunjang
Baku emas pencitraan pada pasien dengan hemodinamik stabil adalah dengan computed tomography (CT) scan pelvis. Pada keadaan hemodinamik yang tidak stabil dapat digunakan foto polos pelvis dan extended focused assessment with sonography for trauma (E-FAST).[7,8,17]
Pemeriksaan penunjang lain pada fraktur pelvis dapat berupa pemeriksaan laboratorium, seperti serum laktat dan base excess pada analisa gas darah untuk memantau upaya resusitasi dan persiapan operasi.[7]
Perlu diingat, pemeriksaan penunjang dipilih sesuai kebutuhan saja, untuk menghindari penundaan dalam kontrol perdarahan, serta mencegah perpanjangan waktu antara terjadinya trauma dan sampai di ruang operasi.[7]
Pemeriksaan Rontgen Pelvis
Rontgen pelvis merupakan modalitas awal untuk mendiagnosis fraktur pelvis. Pemeriksaan rontgen pelvis anteroposterior dapat memberikan sebagian besar gambaran pada trauma pelvis dengan cepat, terutama pada pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil.[8,10,12,17]
Rontgen inlet pelvis memberikan deskripsi gambaran anteroposterior dan mediolateral, serta deformitas pada rotasi internal dan eksternal. Rontgen outlet pelvis memberikan deskripsi gambaran translasi superior dan inferior, abduksi atau adduksi, maupun deformitas pada rotasi fleksi dan atau ekstensi.[8,10,12,17]
Pemeriksaan CT Scan Pelvis
Pemeriksaan CT scan pelvis merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis trauma pelvis, terutama pada pasien dengan status hemodinamik yang stabil. Selain itu, CT scan dapat menunjukkan morfologi sakral, apabila pada penatalaksanaan fraktur pelvis dilakukan pemasangan sekrup iliosacral perkutan.[7,8,10,12,17]
Pemindaian CT scan pelvis tiga dimensi juga dapat membantu mendeskripsikan trauma pada cincin panggul (pelvic ring) serta pola deformitas yang terkait.[1,7,8,12,17]
Extended Focused Assessment with Sonography for Trauma
Extended Focused Assessment with Sonography for Trauma (E-FAST) merupakan pemeriksaan bedside ultrasound yang diindikasikan pada kondisi fraktur pelvis dengan ketidakstabilan hemodinamik dan mekanik, terutama akibat trauma tumpul.[1,7,31]
Bersama dengan rontgen toraks, E-FAST dilakukan untuk menyingkirkan sumber perdarahan lain, misalnya di toraks dan abdomen. Berapa penelitian melaporkan E-FAST tidak cukup sensitif untuk menyingkirkan perdarahan pada pelvis, tetapi dianggap cukup sensitif untuk mengeliminasi perlunya penatalaksanaan laparatomi pada pasien yang tidak stabil.[7,31]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan pada pasien fraktur pelvis sebagai pemantauan upaya resusitasi dan persiapan pasien yang membutuhkan penatalaksanaan dengan tindakan operasi. Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan meliputi analisis gas darah untuk menilai base excess, serum laktat, golongan darah, tes koagulasi, hitung darah lengkap, dan elektrolit.[1,4,7,8,17,26]