Diagnosis Parasomnia
Diagnosis parasomnia ditegakkan secara klinis berdasarkan kriteria DSM–V maupun Internal Classification of Sleep Disorder (ICSD)–3 dengan investigasi riwayat fase tidur dan identifikasi faktor risiko seperti obat–obatan golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI).[3,11]
Pengambilan riwayat medis umum dan penggalian riwayat tidur secara mendalam umumnya cukup untuk menegakkan diagnosis parasomnia. Apabila diagnosis masih belum jelas, maka dilakukan polisomnografi. Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan tidak spesifik untuk parasomnia dan jarang diperlukan.[3]
Terdapat beberapa klasifikasi parasomnia, menurut Diagnostic and Statistical Manual (DSM)–V dan Internal Classification of Sleep Disorder–3. Klasifikasi ICSD–3 lebih komprehensif dibandingkan dengan DSM–V.[3]
Tabel 2. Klasifikasi Parasomnia menurut Internal Classification of Sleep Disorder–3 (ICSD–3)
Klasifikasi Parasomnia menurut Internal Classification of Sleep Disorder-3 (ICSD-3) |
A. Parasomnia NREM ● Kondisi kebingungan ● Sleepwalking ● Terror tidur ● Gangguan makan terkait tidur |
B. Parasomnia REM ● Gangguan perilaku terkait fase REM ● Recurrent isolated sleep paralysis |
C. Parasomnia lain ● Exploding head syndrome ● Halusinasi terkait tidur ● Enuresis ● Parasomnia terkait kondisi medis tertentu ● Parasomnia terkait penyalahgunaan zat atau obat ● Parasomnia, unspecified |
Sumber: dr. Adrian Prasetio, 2020[14]
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara mendalam untuk menggali riwayat tidur. Anamnesis dilakukan pada pasien dan pasangan tidur. Beberapa hal yang harus digali saat anamnesis meliputi:
- Kebiasaan tidur dan bangun pada hari biasa dan hari libur
- Frekuensi, durasi, dan tingkat kesegaran setelah tidur
- Kepuasan akan tidur
- Kesulitan memulai atau mempertahankan tidur
- Rasa takut, kekhawatiran, atau ruminasi saat tidur
- Gerakan motorik yang terjadi saat tidur
- Adanya binatang peliharaan dan apakah mereka tidur di ranjang yang sama dengan pasien
- Riwayat medis lain, riwayat keluarga, serta riwayat penggunaan obat atau zat[1,7]
Aktivitas otonom yang bermakna umumnya disebabkan oleh terror tidur. Pada parasomnia NREM, pasien sering didapatkan kebingungan saat terbangun, mata tetap terbuka selama episode parasomnia, dan amnesia. Hal tersebut tidak ditemukan pada parasomnia REM.[2]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk membantu mengidentifikasi penyebab organik dari parasomnia. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan dalam pemeriksaan fisik:
- Observasi umum pasien, untuk menilai kesadaran. Menguap terus, iritabel, kelopak mata yang cenderung turun, sering mengubah posisi, dan tatapan kosong dapat mengindikasikan rasa kantuk yang berlebihan
- Evaluasi parameter perkembangan. Berat badan berlebih atau obesitas berkaitan dengan obstructive sleep apnea (OSA)
- Pernapasan dari mulut secara persisten mengindikasikan obstruksi nasal[9]
Diagnosis Banding
Parasomnia perlu dibedakan dengan kejang nokturnal.
Kejang Nokturnal
Kejang nokturnal merupakan diagnosis yang harus dipertimbangkan pada pasien yang dicurigai parasomnia. Kejang generalisata tonik klonik umumnya cukup jelas dibedakan dengan parasomnia dari riwayat pasien dan tampilan klinis seperti menggigit lidah, inkontinensia urine, gerakan tonik klonik, dan kebingungan atau mengantuk setelah episode kejang.
Akan tetapi, kejang nokturnal lobus frontal dan parasomnia cukup sulit dibedakan karena keduanya menampilkan perilaku yang tidak biasa, otomatisasi, dan kurang responsif terhadap.[9]
Salah satu kunci membedakan kejang nokturnal dan parasomnia adalah waktu terjadinya. Parasomnia NREM terjadi pada sepertiga awal waktu tidur, saat fase NREM dominan, sedangkan parasomnia REM terjadi pada sepertiga akhir waktu tidur. Kejang nokturnal dapat terjadi pada fase manapun, tetapi cenderung ditemukan saat memasuki fase NREM atau sebelum bangun dari tidur.[9]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang gold standard untuk parasomnia adalah polisomnografi, biasanya dilakukan untuk menilai kontinuitas tidur dari fase satu ke fase tidur lainnya, serta gerakan periodik saat tidur. Akan tetapi, pemeriksaan penunjang tidak rutin dilakukan dan direkomendasikan jika diagnosis belum jelas atau meragukan secara klinis.
Polisomnografi
Polisomnografi adalah pemantauan aktivitas fisiologis saat tidur secara berkesinambungan dan komprehensif. Polisomnografi dilakukan pada malam hari selama 6–8 jam.
Hal yang dicatat selama pemeriksaan adalah aktivitas gelombang otak, gerakan mata, aktivitas elektromiografi submental, aliran udara hidung dan mulut, tekanan rongga hidung, usaha napas, saturasi oksihemoglobin, denyut jantung, dan gerakan kaki.[3]
Pasien dengan REM behavior disorder atau RBD menunjukkan hilangnya atonia yang khas pada tidur REM atau disebut REM sleep without atonia (RSWA). RSWA harus ditemukan untuk menegakkan diagnosis parasomnia REM, disertai dengan salah satu dari cedera terkait tidur atau perilaku abnormal saat tidur. Pada polisomnografi juga dapat ditemukan peningkatan aktivitas otot skelet transien dan fasik pada submental atau tungkai.[4]
Actinography
Actinography dilakukan menggunakan benda seperti jam tangan untuk memantau gerakan saat tidur, biasanya dalam waktu 5–14 hari. Actinography mampu memberikan data pola tidur dan bangun, serta memiliki keunggulan dibandingkan dengan polisomnografi karena mampu memberikan data beberapa hari dari lingkungan tempat tinggal.[9]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli