Penatalaksanaan Osteoporosis
Penatalaksanaan osteoporosis dapat diklasifikasikan menjadi obat hormonal dan nonhormonal. Pemberian bifosfonat seperti alendronate, risedronate, zoledronic acid, ibandronate, atau raloxifene merupakan yang paling sering digunakan. Selain farmakoterapi, pasien juga memerlukan perubahan gaya hidup dan intervensi pencegahan fraktur.
Perubahan Gaya Hidup
Konseling untuk menghentikan kebiasaan buruk seperti merokok dan konsumsi alkohol sangat dibutuhkan karena kalau kebiasaan ini tetap berlanjut akan memperburuk kondisi osteoporosis. Selain itu, aktivitas fisik yang bersifat weight-bearing dan melatih keseimbangan juga perlu ditingkatkan. Olahraga aerobik seperti treadmill atau jogging dalam 24 minggu terbukti mampu meningkatkan densitas mineral tulang di colum femur dan L2-L4 tulang belakang pada wanita pascamenopause. Latihan seperti melompat yang digabung dengan latihan beban sebanyak 3 kali seminggu selama 32 minggu juga terbukti meningkatkan densitas mineral tulang.[6,7,10]
Konsumsi kalsium dan vitamin D yang adekuat juga sangat penting. Institute of Medicine (IOM) telah mengeluarkan rekomendasi untuk asupan harian kalsium dan vitamin D pada orang dewasa tua. Untuk wanita usia lebih dari 50 tahun, IOM merekomendasikan 1200 mg/hari kalsium. IOM merekomendasikan 1000 mg/hari kalsium untuk pria berusia 51-70 tahun dan 1200 mg/hari untuk pria di atas 70 tahun. Batas maksimal asupan kalsium yang direkomendasikan untuk pria dan wanita adalah 2000 mg/hari. Kebutuhan minimum vitamin D harian pada pasien osteoporosis adalah 800 IU kolekalsiferol.[10,19]
Prinsip Terapi Medikamentosa
Terapi farmakologi perlu diberikan pada wanita dengan osteoporosis yang diketahui berisiko tinggi mengalami patah tulang panggul dan tulang belakang. Obat yang dapat digunakan antara lain alendronate, risedronate, zoledronic acid, atau denosumab. Disisi lain, penggunaan estrogen atau estrogen plus progestogen atau raloxifene tidak disarankan untuk pengobatan osteoporosis pada wanita menopause.
Pada wanita dengan osteoporosis, pengobatan farmakologis sebaiknya diberikan selama 5 tahun. Pemantauan bone mineral density (BMD) selama 5 tahun terapi tidak disarankan karena dilaporkan tidak mempengaruhi risiko fraktur.
Pada wanita berusia 65 tahun ke atas yang mengalami osteopenia dan berisiko tinggi fraktur, keputusan terapi harus mempertimbangkan preferensi pasien, profil risiko fraktur, manfaat, bahaya, dan harga obat.
Pada pria dengan osteoporosis, terapi bifosfonat dapat diberikan untuk mengurangi risiko fraktur tulang belakang.[1,5,19]
Terapi Nonhormonal
Terapi nonhormonal meliputi bisfosfonat, denosumab, fluoride, suplementasi vitamin D, dan kalsium.
Bifosfonat
Bifosfonat merupakan analog pirofosfat yang bekerja menghambat resorpsi tulang. Bifosfonat menghambat aktivitas osteoklast. Dosis bifosfonat tersaji dalam Tabel 1.[19]
Tabel 1. Dosis Bifosfonat
Bifosfonat | Profilaksis | Terapi |
Alendronate | 5 mg PO sekali per hari atau 35 mg PO sekali per minggu | 10 mg PO sekali per hari atau 70 mg PO sekali per minggu |
Risedronate (IR) | 5 mg PO sekali per hari atau 35 mg PO sekali per minggu | 5 mg PO sekali per hari atau 35 mg PO sekali per minggu atau 150 mg PO sekali per bulan |
Zoledronic acid | 5 mg IV tiap 2 tahun | 5 mg IV tiap 1 tahun |
Ibandronate | 2,5 mg PO sekali per hari atau 150 mg PO sekali per bulan | 2,5 mg PO sekali per hari atau 150 mg PO sekali per bulan atau 3 mg IV tiap 3 bulan |
Keterangan:
- PO: per oral
- IV: intravena
Sumber: dr. Putra Rizki, Alomedika, 2022.[19]
Denosumab
Denosumab merupakan antibodi RANKL (Receptor activator of nuclear factor kappa-Β ligand) yang bekerja menghambat interaksi RANKL sehingga menghambat aktivitas osteoklast. Denosumab tersedia dalam bentuk sediaan injeksi 120 mg dalam 1,7 mL (70 mg/mL) dengan dosis injeksi 120 mg sekali per 4 minggu subkutan pada paha, abdomen atau lengan atas. Terapi denosumab harus disertai suplementasi kalsium minimal 500 mg dan vitamin D 400 IU. Penggunaan denosumab hanya untuk dewasa, karena keamanan dan efektivitas pada anak belum diketahui secara pasti.
Fluoride
Fluoride menstimulasi pembentukan tulang, pembentukan kristal fluorapatite, dan peningkatan densitas mineral. Kristal fluorapatite resistan terhadap resorpsi osteoklas. Selain itu, juga ditemukan efek retensi kalsium dan hiperparatiroid sekunder.
Suplementasi Vitamin D dan Kalsium
Rekomendasi yang ada menyarankan suplementasi vitamin D dan kalsium secara rutin untuk mencegah risiko terjadinya fraktur. Lansia di atas 65 tahun sebaiknya diberikan suplementasi vitamin D minimal 1000 IU/hari dan kalsium 1000-1200 mg/hari.
Strontium
Strontium ranelate menjadi salah satu terapi pilihan osteoporosis pascamenopause untuk menurunkan risiko fraktur panggul dan vertebrae serta osteoporosis pada pria. Strontium ranelate meningkatkan osteogenesis dan menurunkan resorpsi tulang. Penggunaan strontium hanya pada dewasa. Dosis yang disarankan yakni 2 g/hari. Meski demikian, obat ini memiliki risiko kardiovasular, termasuk peningkatan kejadian penyakit jantung iskemik dan tromboemboli vena
Terapi Nonhormonal yang Tersedia di Indonesia
Di Indonesia, terapi nonhormonal yang tersedia adalah natrium alendronate, ibandronate, asam ibandronat, strontium ranelate, kalsitriol, denosumab, dan fluoride.[1,5,7,8,19]
Terapi Hormonal
Terapi hormonal meliputi modulator reseptor estrogen selektif, testosteron, kalsitonin, dan analog hormon paratiroid.
Modulator Reseptor Estrogen Selektif
Raloxifene merupakan Selective Estrogen Receptor Modulators (SERM) yang memiliki efek agonis estrogen dalam menjaga kepadatan tulang dengan menghambat resorpsi tulang. Raloxifene memiliki efek selektif antagonis terhadap jaringan payudara sehingga dapat dipertimbangkan untuk pasien osteoporosis yang juga berisiko menderita kanker payudara.
American Association of Clinical Endocrinologists (AACE) merekomendasikan obat ini untuk pasien dengan risiko fraktur tulang belakang. Dosis raloxifene untuk terapi maupun pencegahan osteoporosis adalah 60 mg per oral per hari.[5,19]
Analog Hormon Paratiroid
Analog hormon paratiroid rekombinan yaitu teripatide, mampu menstimulasi aktivitas osteoblast sebagaimana aksi parathormon. Pada wanita pascamenopause, penderita osteoporosis yang tidak dapat diberikan terapi oral dengan riwayat fraktur patologis atau berisiko tinggi mengalami fraktur dapat diberikan teriparatide. Pemberian teriparatide adalah 20 mcg sekali sehari.[5,19]
Kalsitonin
Studi menunjukkan kalsitonin dapat meningkatkan kadar total kalsium tubuh. Uji klinis menunjukkan bahwa pemberian kalsitonin 200 IU per hari menurunkan insidensi fraktur vertebra baru pada wanita post menopause penderita osteoporosis. Pemberian kalsitonin selama 4 minggu direkomendasikan untuk pasien fraktur kompresi spinal osteoporotik cedera akut (hingga hari kelima setelah gejala) tanpa defisit neurologis.[8,19]
Testosteron
Terapi testosteron direkomendasikan untuk terapi osteoporosis pada pria, dikombinasikan dengan terapi pencegahan fraktur lainnya. Pemberian disarankan untuk pria dengan kadar testosteron <200 ng/dL dengan risiko fraktur tinggi tetapi memiliki kontraindikasi pemberian terapi osteoporosis lainnya.[1,19]
Terapi Hormonal yang Tersedia di Indonesia
Di Indonesia, terapi hormonal untuk osteoporosis yang tersedia adalah raloxifene, teripatide, kalsitonin, kombinasi estrogen-progestin, dan testosteron.[1,19]
Pencegahan Osteoporosis pada Pasien yang Mengonsumsi Glukokortikoid Jangka Panjang
Guideline American College of Rheumatology tahun 2017 menyarankan pencegahan osteoporosis pada pemberian glukokortikoid jangka panjang berupa pemberian suplementasi kalsium 1000-1200 mg/hari dan vitamin D 600-800 IU/hari serta modifikasi gaya hidup.[1,5,10,19]
Pencegahan Jatuh
Risiko jatuh meningkat pada lansia dan akan meningkatkan risiko fraktur pada pasien osteoporosis. Sarankan pasien untuk mengenakan sepatu hak rendah dengan sol karet agar memiliki pijakan (traksi) yang lebih kokoh. Minta untuk menggunakan pegangan tangan saat naik dan turun tangga atau eskalator. Apabila trotoar terlihat licin, maka pasien sebaiknya berjalan di rerumputan. Sarankan agar pasien menggunakan tas bahu atau tas ransel agar tangan bebas dan dapat berpegangan saat tergelincir. Jika perlu, minta pasien menggunakan alat bantu jalan atau tongkat.
Di rumah, beberapa modifikasi perlu dilakukan, misalnya memastikan lantai bebas dari kabel yang dapat menyebabkan pasien tersandung. Minta pasien untuk menempatkan barang yang sering digunakan di tempat yang mudah diraih. Di kamar mandi, pasang pegangan untuk memudahkan duduk dan berdiri dari toilet. Jaga pula penerangan di rumah dan sekitar tangga.[1,5,10,19]
Penulisan pertama oleh: dr. Debtia Rahma