Pendahuluan Retensi Urin
Retensi urin adalah kondisi ketika urin tersisa atau tidak bisa keluar dari kandung kemih, misalnya akibat adanya obstruksi batu ginjal di uretra atau akibat obstruksi terkait benign prostate hyperplasia (BPH). Pada kasus retensi urin, seseorang tidak mampu berkemih secara spontan atau terjadi peningkatan volume residu urin setelah berkemih.[1,2]
Gejala retensi urin akut meliputi nyeri suprapubik, ketidakmampuan berkemih, urgensi, dan perasaan kandung kemih tidak kosong sepenuhnya. Sementara itu, retensi urin kronis ditandai dengan gejala seperti aliran urin yang lambat, mengejan saat berkemih, atau inkontinensia akibat overflow. Pemeriksaan fisik sering menunjukkan distensi kandung kemih.
Diagnosis ditegakkan melalui pengukuran residu urin pasca berkemih menggunakan ultrasonografi atau kateterisasi. Pemeriksaan tambahan seperti urinalisis dan kultur urin dilakukan pada kondisi tertentu. Etiologi yang mendasari retensi urin juga perlu ditentukan, seperti obstruksi akibat batu uretra atau benign prostate hyperplasia (BPH), efek samping obat, maupun gangguan neurologis.[1-3]
Tata laksana retensi urin dibedakan menjadi penganan awal dan penanganan definitif. Penangan awal retensi urin akut adalah pemasangan kateter Foley untuk mengosongkan kandung kemih dan mengurangi gejala. Kateterisasi intermiten dapat dilakukan pada pasien dengan volume residu urin <1000 mL, sementara pasien dengan residu >1000 mL atau yang tidak dapat melakukan kateterisasi mandiri lebih baik menggunakan kateter Foley menetap.
Pada kasus retensi urin akibat BPH, dapat dipertimbangan terapi medikamentosa seperti α-blocker atau finasteride untuk membantu mengurangi ukuran prostat dan mencegah retensi berulang. Jika diperlukan, tindakan seperti pemasangan kateter suprapubik atau prosedur bedah dapat dilakukan untuk menangani kasus yang lebih kompleks.[1-4]