Teknik Dialisis Ginjal
Teknik dialisis ginjal disesuaikan dengan jenis terapi pengganti ginjal yang digunakan. hemodialisa membutuhkan akses vaskular, seperti A-V fistula, AV graft, atau Central Venous Catheter (CVC) Sedangkan peritoneal dialisis membutuhkan akses kateter yang dimasukkan ke rongga perut.
Persiapan Pasien
Pada peritoneal dialisis, pasien perlu dipersiapkan pemasangan kateter peritoneal dialisis dengan langkah sebagai berikut:
- Menentukan tipe kateter yang tepat dan lokasi pemasangan keluar
- Persiapan usus sehari sebelum tindakan, yaitu: 2 L polyethylene glycol solution, enema
- Membilas bagian perut/dada dengan sabun chlorhexidine sehari sebelum tindakan
- Menghilangkan rambut di area pemasangan
- Mengosongkan kandung kemih sebelum tindakan
- Profilaksis antibiotik dosis tunggal sebelum tindakan terutama yang mencakup anti staphylococcus[3,8,13,14]
Pada hemodialisa, pasien akan dipersiapkan sebagai berikut
- Pasien akan diukur berat badan, tekanan darah, nadi, suhu, dan kemudian akses vaskular dipastikan bersih dan didesinfeksi
- Kemudian dua jarum dimasukkan ke dalam akses vaskular, dan difiksasi. Tiap jarum tersambung dengan selang plastik yang terhubung ke dialiser
- Pada saat hemodialisa berlangsung, pasien dapat mengalami mual dan kram otot perut
- Selama hemodialisa berlangsung, pasien akan dipantau ketat seperti tekanan darah dan detak jantung
- Setelah hemodialisa selesai, jarum dilepaskan dari akses vaskular dan diberikan penahan ke tempat bekas tusukan jarum agar tidak perdarahan. Berat badan pasien akan diukur ulang pascahemodialisa[3,8,13,14]
Peralatan
Berikut ini adalah beberapa peralatan hemodialisa dan peritoneal dialisis:
Peralatan Peritoneal Dialisis:
- Cairan dialisat: Cairan dialisat yang digunakan terdiri dari tiga macam cairan dengan konsentrasi berbeda yaitu kadar dextrose5%, 2,5% dan 4,25% dalam kantong plastik 2 liter
- Set transfer
- Kateter peritoneal dialisis yang tersedia dalam beberapa bentuk (lurus, pigtail-curled, swan neck), ukuran, dan jumlah cuff Dacron untuk mencapai kedalaman dan fiksasi yang optimal. Pemasangan kateter peritoneal dialisis sebaiknya dipakai setelah 10-14 hari untuk menunggu perbaikan pada area yang dipasang kateter
- Konektor
Cycler: diperlukan pada automated peritoneal dialysis[3,8]
Alat Hemodialisa
Alat hemodialisa dibagi menjadi dialiser, cairan dialisat, dan akses vaskuler.
Alat Dialiser:
Alat dialiser merupakan suatu alat berupa tabung yang terdiri dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang dipisahkan oleh membran semipermeabel.
Dialiser hollow-fiber (serat kapiler) merupakan desain yang paling efektif sehingga memungkinkan proses dialisis dengan efisiensi tinggi dan resistansi yang rendah.
Ada tiga bahan dasar membran dialiser yaitu selulosa, selulosa modifikasi, dan selulosa sintetik. Saat ini, banyak membran dialisis terbuat dari bahan sintetik, seperti polyacrylonitrile, polysulfone, polyamide, dan lain-lain. Perbedaan utama dari bahan-bahan ini adalah efek biokompatibilitas, besar klirens, dan daya filtrasinya. Biokompatibilitas adalah kemampuan membran untuk aktivasi kaskade komplemen (respon inflamasi).[4,11,15-17] Bahan selulosa sintetik mempunyai biokompatibilitas yang lebih baik.[15-17]
Cairan Dialisat:
Salah satu komponen penting dalam hemodialisa adalah komposisi dan perpindahan dialisat. Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar mirip pada plasma darah normal.[16]
Tabel 3. Komposisi Cairan Dialisat pada Hemodialisa dan Peritoneal Dialisis
Komposisi | Hemodialisa (mEq/L) | Dialisis Peritoneal (mEq/L) |
Na | 136-140 | 132 |
Cl | 99-110 | 96 |
K | 0-4 | 0-10 |
Ca | 2.5 | 3.5 |
Mg | 0.5-1 | 0.5 |
Asetat | 2.5-5 | - |
Bikarbonat | 27-39 | - |
Laktat | - | 40 |
Glukosa | 200 mg/dL | 1500-4250 mg/dL |
Sumber: Journal of Anaesthesiology Clinical Pharmacology, 2012.[16]
Akses Vaskuler:
Untuk melakukan hemodialisa, perlu dipersiapkan akses vaskuler untuk dihubungkan dengan dialiser, dialisat dan mesin hemodialisa. Akses vaskuler terdiri atas: AV fistula sebagai pilihan pertama, AV graft sebagai pilihan kedua, tunneled venous catheter sebagai pilihan ketiga, dan non tunneled temporary catheter. Beberapa pilihan anastomosis arteriovenosa yang sering digunakan adalah: snuffbox AVF, brescia cimino AVF, brachiocephalic AVF, dan brachiobasilic transposition AVF. Sedangkan AV graft yang sering digunakan adalah: forearm loop AVG, brachioaxillary AVG, dan femoro-femoral AVG.[3,8,11]
Posisi Pasien
Posisi pasien saat melakukan dialisis dibedakan dari tipe dialisisnya,yaitu peritoneal dialisis dan hemodialisa,
Peritoneal Dialisis
Dalam pemasangan kateter peritoneal dialisis, pasien diposisikan dalam posisi supinasi. Kedalaman lokasi cuff ditentukan dari batas atas coil kateter dengan batas atas simfisis pubis, kemudian ditandai dengan batas atas cuff terdalam pada paramedian, 3 cm lateral dari garis midline. Lokasi di mid-rectus abdominis lebih baik digunakan untuk pemasangan kateter peritoneal dialisis. Selama melakukan posisi CAPD, pasien dapat melakukan aktifitas membaca, berbicara, menonton TV atau posisi tidur.[12-14]
Hemodialisa
Selama hemodialisa, pasien dapat duduk/berbaring. Pada pasien tertentu dapat beraktifitas membaca atau menonton TV selama prosedur. Umumnya pengerjaan hemodialisa ini dikerjakan di pusat hemodialisa.[8,11]
Prosedur
Prosedur dialisis ginjal disesuaikan dengan tipe dialisis: peritoneal dialisis dan hemodialisa.
Peritoneal Dialisis
Peritoneal dialisis sendiri terdiri dari 2 macam yaitu: continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) dan automated peritoneal dialysis (APD). Perbedaan dari kedua tipe peritoneal dialisis adalah jadwal dialisis dan teknik pengerjaan memakai mesin atau tangan. Pada CAPD dilakukan 3-5 kali per hari, 7 hari/minggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam kavum peritoneum (dwell-time) lebih dari 4 jam.[4,14]
Pada peritoneal dialisis, set transfer akan dihubungkan dengan kantong drainase, kantong cairan dialisis, dan kateter peritoneal dialisis yang sudah tertanam di perut.
Berikut langkah-langkah pengerjaan peritoneal dialisis, yaitu:
- mempersiapkan kebutuhan yang dipakai, mencuci tangan, dan memakai masker hidung-mulut ketika akan menghubungkan kateter ke set transfer untuk mencegah infeksi
- Menghubungkan set transfer dimana set ini berfungsi untuk menghubungkan kateter ke kantong cairan dialisis dan di ujungnya terdapat penutup yang aman untuk terhindar dari infeksi. Penghubung yang ada penutup ini dapat menghubungkan beberapa tipe set transfer. Namun pada umumnya banyak dipakai tipe set transfer berbentuk huruf Y. Salah satu cabang konektor Y dihubungkan ke kantong drainase dan satu cabangnya lagi dihubungkan ke kantong cairan dialisis
- Hangatkan kantong cairan dialisis ke temperatur suhu sebelum dipakai. Penghangatan kantong cairan dialisis tidak boleh menggunakan microwave. Gantungkan kantong cairan dialisis ke atas dan hubungkan ke selang. Hilangkan udara pada selang dan kunci selang yang menuju ke kantong drainase
- Pada APD, terdapat mesin yang disebut cycler untuk mengisi dan mengalirkan ke perut. Jumlah cairan dialisis yang berbeda dapat diatur. Setiap sore, mesin di set untuk pertukaran selama 3-5 kali sehingga diperlukan cairan 3-5 kantong untuk penggunaan setiap kali pertukaran. Mesin cycler juga terdapat selang khusus yang menghubungkan kantong cairan dialisis untuk pertukaran terakhir di malam hari. Selama sehari-hari, kita dapat mengatur cycler untuk melepaskan klem dan mengeluarkan cairan dari perut ke jalur drainase, menghangatkan cairan dialisis sebelum masuk kedalam tubuh, melepaskan klem supaya cairan yang sesuai suhu tubuh dapat masuk ke perut. Pengukur cairan pada cycler akan mengukur dan merekam jumlah cairan yang dibuang. Beberapa cycler membandingkan jumlah cairan yang masuk dan keluar sehingga dapat mengetahui kecukupan cairan yang keluar dari tubuh[8,14]
Hemodialisa
hemodialisa terbagi menjadi hemodialisa konvensional, hemofiltrasi, dan hemodialfiltrasi. Hemodialisa konvensional merupakan gabungan dari proses difusi dan ultrafiltrasi. Proses dialisis memerlukan cairan dialisat yang mengalir dengan arah berlawanan terhadap darah sehingga mempertahankan kecepatan difusi yang optimal. Berbeda dengan hemodialisa konvensional, hemofiltrasi memakai prinsip konveksi dengan tekanan hidrostatik dan membran high flux. Sedangkan hemodiafiltrasi menggabungkan manfaat dari hemodialisa dan hemofiltrasi.[4]
Secara umum, teknik hemodialisa adalah dua jarum tipis dimasukkan ke AVF/AV graft dan difiksasi, 1 jarum akan menarik perlahan-lahan darah dan mentransfer ke dialiser/mesin dialisis. Mesin dialisis terdiri atas membran yang bekerja sebagai filter dan cairan khusus yang disebut dialisat. Membran akan memfiltrasi produk yang tidak digunakan dari darah dan melewati cairan dialisat. Cairan dialisat yang telah dipakai akan dipompa keluar ke dialiser, darah yang telah difiltrasi akan dipompa kembali ke dalam tubuh. Setelah proses hemodialisa selesai, jarum akan dilepaskan dan ditutup plester untuk mencegah perdarahan.[11,15,16]
Pengaturan dialisis setelah menghubungkan akses vena ke mesin dialisis adalah mengatur flow rate cairan dialisis, konsentrasi bikarbonat dan elektrolit, dan suhu. Umumnya, flow rate cairan adalah 500 mL/min. Ketika flow rate darah tinggi (>800 mL/mnt), flow rate cairan dapat dinaikkan hingga 800 mL/mnt. flow rate cairan dialisis yang optimal adalah 1,5 hingga 2 kali dari flow rate darah. Pada pasien dewasa yang menggunakan flow rate darah menggunakan 400 mL/mnt, klirens dialisat umumnya sekitar 230 ± 30 mL/menit dan suhu dialisat umumnya sekitar 34,5 - 36,5 derajat Celsius. Perhitungan klirens dialiser dari flow rate darah dan waktu dialisis dapat menggambarkan total volume darah yang membuang urea. Berdasarkan European Best Practice Group tahun 2002, merekomendasikan waktu dialisis minimum 4 jam. Beberapa bukti menganjurkan rate cairan yang ditarik <12 mL/Kg/jam mempunyai angka survival lebih tinggi.[8]
Tindakan hemodialisa memerlukan antikoagulan untuk mencegah bekuan darah di sirkuit ekstrakorporeal yang dapat diakibatkan oleh berbagai faktor. Antikoagulan yang umum dipakai adalah unfractionated heparin (UFH). Namun, tidak ditemukan adanya perbedaan yang jelas pada adekuasi hemodialisa memakai UFH dan low molecular weight heparin (LMWH).
Cara pemberian heparin:
- Heparin bolus dosis 50 unit/kg, dosis ini dikurangi pada pasien dengan uremikum berat
- Tunggu 3-5 menit agar heparin tersebar merata
- Mulai infus heparin dengan kecepatan 10-20 unit/kg/jam
- Hentikan infus heparin 1 jam sebelum terminasi dialisis[3]
Sedangkan pada pasien risiko perdarahan, pilihan yang dapat dipakai adalah dialisis bebas heparin (heparin free). Caranya adalah:
- Heparin tidak diberikan saat priming.
- Kecepatan aliran darah (Qb) dibuat setinggi mungkin
- Berikan bolus cairan normal salin 100-250 ml setiap 15-30 menit ke jalur arteri
- Untuk mencegah overload, penarikan cairan ditambahkan dengan sejumlah normal salin yang diberikan
- Monitorin ketat alarm tekanan arteri dan vena untuk mendeteksi adanya bekuan[3]
Follow Up
Pasien dialisis ginjal biasanya akan di periksa darah dan tes urin. Dialisis ginjal pada pasien oliguria, manifestasi perbaikan dari fungsi ginjal berupa peningkatan urin output. Tetapi manifestasi ini tidak terlihat pada pasien nonoliguria. Perbaikan fungsi ginjal juga dapat dinilai melalui pengukuran kreatinin klirens. Selama melakukan dialisis ginjal, pemantauan berat badan sebelum dan sesudah melakukan dialisis ginjal juga perlu diperhatikan.[4,11,14]
Peritoneal Dialisis
Pada peritoneal dialisis, perlu memantau pasien supaya tidak terjadi overload cairan dan hipertensi/hipotensi. Bila volume ultrafiltration < 400 ml pada peritoneal equilibration test (PET), maka terjadi overload cairan. Kadar elektrolit, gula darah, dan kateter peritoneal perlu dipantau.[8]
Hemodialisa
Sebelum dialisis, pasien perlu diperhatikan: berat badan, tekanan darah, suhu, dan akses vaskular.
Saat melakukan dialisis, tekanan darah perlu diukur tiap 30-60 menit. Selama hemodialisa dapat terjadi komplikasi seperti hipotensi dan reaksi anafilaktik. Bila terjadi hipotensi maka diberikan 100 ml Nacl 0,9%, menurunkan flow rate darah, dan mencari sumber penyebab hipotensi.[8]
Pemantauan reaksi anafilaksis sangat penting. Bila terjadi reaksi anafilaktik perlu dibedakan menjadi tipe A dan tipe B. Reaksi anafilaksis A umumnya terjadi setelah 30 menit lebih tindakan hemodialisa. Bila terjadi reaksi anafilaksis A, segera berikan epinefrin, steroid, atau antihistamin intravena kemudian hentikan hemodialisa. Sedangkan, reaksi anafilaksis B umumnya terjadi saat 20 menit hemodialisa dimulai dan hanya memerlukan penanganan suportif.[8]