Penggunaan pada Kehamilan dan Ibu Menyusui Lopinavir
Penggunaan lopinavir pada kehamilan dan pada ibu menyusui harus secara hati-hati. Lopinavir hanya boleh digunakan jika manfaat yang diharapkan lebih besar daripada risiko terhadap janin atau bayi.
Penggunaan pada Kehamilan
Berdasarkan Food and Drug Administration (FDA), lopinavir masuk kategori C. Studi pada hewan coba memperlihatkan adanya efek samping terhadap janin, namun belum ada studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya boleh digunakan jika besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap janin.[4,9]
Sedangkan Therapeutic Goods Administration (TGA) memasukan ke dalam kategori B3. Jumlah pasien hamil dan menyusui yang mengonsumsi obat tersebut masih terbatas; observasi pada pasien-pasien tersebut tidak menunjukkan adanya peningkatan frekuensi malformasi atau risiko lain terhadap janin.[4]
Data yang tersedia dari Amerika Serikat menunjukkan tidak adanya perbedaan risiko cacat pada kelahiran antara bayi dengan ibu yang mengonsumsi lopinavir pada masa kehamilan. Pada studi menggunakan hewan coba berupa tikus, terlihat gangguan embrionik dan perkembangan fetus pada pemberian dosis toksik. Di Indonesia, lopinavir/ritonavir hanya boleh digunakan jika besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap janin.[3,5,19]
Sediaan larutan oral lopinavir/ritonavir tidak boleh diberikan pada pasien hamil karena adanya kandungan alkohol dalam sediaan tersebut. Pada kondisi di mana terapi lini pertama untuk HIV tidak dapat diberikan, sediaan tablet lopinavir/ritonavir dapat menjadi pilihan pengobatan lini kedua untuk pasien hamil, dan dosis harus dibagi menjadi 2 kali pemberian.[3]
Pada sebuah penelitian yang melibatkan 84 pasien hamil yang menggunakan lopinavir/ritonavir, supresi virologis pada ibu hamil dapat tercapai pada dosis 400 mg lopinavir/100 mg ritonavir dua kali sehari, sehingga penyesuaian kekuatan obat tidak perlu dilakukan.[3,20]
Penggunaan pada Ibu Menyusui
Ibu menyusui yang terinfeksi HIV pada dasarnya disarankan untuk tidak menyusui untuk menghindari penularan HIV pada bayi. Namun, di negara berkembang seperti Indonesia, penyediaan susu formula yang aman bagi bayi masih terbatas sehingga pemberian ASI oleh ibu yang terinfeksi HIV dapat dijustifikasi.[21]
Ekskresi lopinavir di ASI sangat sedikit. Meskipun lopinavir relatif lipofilik, lemak ASI tampaknya tidak cukup untuk menghasilkan lopinavir dengan konsentrasi tinggi pada ASI.[3,4]
Sebuah penelitian yang dilakukan di Botswana mendapatkan bahwa dari 49 ibu menyusui yang mengonsumsi lopinavir, 5 bayi yang disusui oleh pasien tersebut memiliki plasma yang mengandung lopinavir. Didapatkan 2 dari 5 bayi hanya memiliki kadar lopinavir <1 μg/ml pada plasma. Hal ini menunjukkan bahwa lopinavir memang diekskresikan pada ASI tetapi tidak secara signifikan.[22]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini