Pendahuluan Herpes Zoster
Herpes zoster, atau dikenal juga sebagai cacar ular dan shingles, merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten virus varicella zoster (VVZ) pada ganglion sensori radiks dorsalis pasca infeksi primer. Pasien yang mengalami herpes zoster berpotensi menularkan infeksi VVZ pada individu yang belum pernah terpapar.[1]
Herpes zoster ditandai dengan nyeri dan vesikel bergerombol yang tersebar sesuai dermatom, serta seringkali bersifat unilateral. Diagnosis umumnya dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, namun pemeriksaan penunjang berupa apusan Tzanck juga dapat membantu.[3]
Pada pasien imunokompeten, herpes zoster umumnya dapat sembuh sendiri tanpa intervensi. Pasien dapat diberikan obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), seperti ibuprofen, untuk membantu meredakan nyeri dan gejala infeksi virus sistemik seperti demam. Sementara itu, manfaat pemberian steroid masih kontroversial, tetapi beberapa dokter memberikan prednison 40-60 mg sekali sehari selama 1 minggu pada pasien dengan herpes zoster otikus dan oftalmikus.
Terapi antivirus, seperti acyclovir, diduga dapat mengurangi pembentukan vesikel baru dan durasi sakit. Pemberian antivirus yang semakin awal diduga akan semakin efektif dalam memperpendek durasi dan mencegah atau mengurangi keparahan PHN. Pada umumnya, terapi antivirus disarankan dimulai dalam 72 jam dari onset gejala.[4]
Neuralgia postherpetik (PHN) merupakan komplikasi herpes zoster dimana nyeri menetap setelah ruam hilang. PHN merupakan komplikasi herpes zoster yang signifikan karena nyeri dapat bertahan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Nyeri mungkin bersifat berat dan mengganggu tidur atau aktivitas sehari-hari. Nyeri PHN juga bisa mengakibatkan anoreksia, penurunan berat badan, kelelahan, depresi, penarikan dari kegiatan sosial dan pekerjaan, serta penurunan kemandirian.[1,2]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelvi Levani