Penatalaksanaan Thalassemia
Penatalaksanaan thalassemia mencakup transfusi darah, kelasi besi, splenektomi, transplantasi sel hematopoetik, hingga pemberian suplemen nutrisi. Pasien thalassemia yang memerlukan transfusi dalam jangka waktu panjang perlu diberikan dukungan psikososial. Satu-satunya obat yang telah disetujui FDA untuk penanganan thalassemia beta mayor atau transfusion-dependent adalah luspatercept.
Terapi Thalassemia Berdasarkan Derajat Keparahannya
Pada kasus thalassemia minor pasien tidak memerlukan terapi, karena bersifat asimptomatik, sedangkan pada kasus thalassemia intermedia pasien mungkin memerlukan transfusi darah. Pada kasus thalassemia transfusion-dependent (mayor atau Cooley anemia), transfusi darah merupakan terapi utama.[7,10]
Pasien dengan thalassemia alfa, berupa HbH mungkin memerlukan transfusi darah intermitten bila anemia yang terjadi memberat, karena pada tipe thalassemia ini umumnya hemoglobin berkisar antara 7-11 g/dl dengan MCV 51-73 fl. Pada kasus hidrops fetalis, dapat dilakukan transfusi intrauterin, namun bayi seringkali memiliki kelainan kongenital dan keterlambatan perkembangan. Pada kasus thalassemia alfa berat, pasien memerlukan transfusi rutin, dan tranplantasi sel punca merupakan terapi definitif.[2,9]
Transfusi Darah
Tujuan transfusi darah yaitu untuk menekan ekspansi eritroid, mengurangi gejala anemia, dan mencegah absorpsi besi pada saluran pencernaan. Transfusi darah diberikan saat kadar Hb <7.0 g/dl setelah dua kali pemeriksaan, yang berjarak lebih dari dua minggu antar pemeriksaan. Jika kadar Hb >7.0 g/dl, transfusi diperlukan bila terdapat tanda klinis berupa perubahan wajah, restriksi pertumbuhan, fraktur, atau terdapat hematopoeisis ekstramedular yang signifikan secara klinis, dan splenomegali masif.[2,4,7,12]
Transfusi dilakukan setiap 2-4 minggu, bergantung pada kebutuhan pasien. Transfusi bertujuan untuk mempertahankan hemoglobin pada kadar 9-10.5 g/dl atau lebih tinggi (10-12 g/dl) pada pasien dengan komplikasi jantung. Transfusi diberikan sebanyak 8-15 ml/kg selama 1-2 jam. Jenis produk darah yang direkomendasikan untuk transfusi yaitu packed red cells leukodepleted.[2,7,10,12]
Pada pasien yang menerima transfusi, perlu dilakukan monitoring rutin terhadap risiko terjadinya reaksi transfusi atau infeksi yang disebabkan oleh transfusi seperti hepatitis B dan HIV.[2,7]
Saat ini studi gene editing untuk pasien thalassemia yang tergantung transfusi juga sedang dilakukan untuk mengetahui apakah kebutuhan transfusi dapat dikurangi.
Kelasi Besi
Terapi kelasi besi bertujuan untuk mencegah komplikasi berupa kerusakan jaringan yang disebabkan penumpukan zat besi dalam tubuh. Terapi kelasi besi mulai dapat diberikan bila:
- Kadar serum ferritin >1.000 ng/ml atau konsentrasi besi dalam hepar >5.000 μg/g
- Saturasi transferrin ≥70%
- Bila pasien telah mendapatkan 10-20 kali transfusi darah
- Bila pasien telah mendapatkan transfusi darah kurang lebih selama satu tahun.
Terapi kelasi besi hingga saat ini belum disetujui pemberiannya pada anak di bawah usia 2 tahun.[2,4,7]
Pilihan Terapi Kelasi Besi
Terdapat tiga jenis terapi kelasi besi yang dapat diberikan, yaitu deferoxamine (DFO), deferiprone (DFP), dan deferasirox (DFX).
Deferoxamine (DFO) diberikan secara intravena atau subkutan, karena memiliki bioavailabilitas oral yang buruk. Dosis awal deferoxamine yaitu 25 mg/kg dapat dititrasi naik hingga 60 mg/kg pada pasien dengan penumpukan zat besi yang berat, dan diberikan secara kontinu selama paling tidak 8 jam per hari, dengan frekuensi 5-7 hari/minggu. Kekurangan penggunaan DFO adalah komplians yang buruk.[2,10,15]
Deferasirox (DFX) merupakan terapi kelasi besi oral, yang tersedia dalam dua jenis sediaan yaitu tablet dispersible yang larut dalam air, atau tablet film-coated. Dosis inisial DFX untuk sediaan dispersible yaitu 20 mg/kg/hari hingga 40 mg/kg/hari. Untuk sediaan film-coated, dosis inisial 14 mg/kg/hari hingga 28 mg/kg/hari. Efek samping DFX yaitu kerusakan ginjal, yang ditandai dengan peningkatan kreatinin, yang diperberat pada kondisi dehidrasi. Efek samping lain yaitu transaminitis, yang ditandai dengan peningkatan fungsi hati >5 kali di atas nilai normal.
Deferiprone (DFP) merupakan terapi kelasi besi lini kedua yang diberikan secara oral. Dosis inisial yaitu 75 mg/kg/hari hingga 99 mg/kg/hari, yang diberikan sebanyak tiga kali sehari. Deferiprone merupakan agen yang efektif dalam menangani hemosiderosis pada jaringan kardiak. Efek samping DFP antara lain agranulositosis transien yang terjadi terutama pada tahun pertama pengobatan.[2,4,15]
Regimen Monoterapi dan Kombinasi
Pemberian regimen monoterapi kelasi besi di Indonesia yang paling sering digunakan yaitu DFP karena mudah didapatkan dan diberikan, diikuti oleh DFX. Deferoxamine lebih jarang digunakan karena sulit untuk ditemukan, dibandingkan DFP dan DFX.[12]
Terapi kombinasi dapat digunakan sebagai upaya terapi agresif pada kasus penumpukan zat besi yang berat untuk mencegah atau mengembalikan disfungsi organ. Indikasi pemberian terapi kombinasi antara lain:
- Kadar ferritin serum >2.500 ng/ml yang menetap selama 3 bulan
- Kardiomiopati
- Terdapat hemosiderosis jantung pada pemeriksaan MRI T2 (<20 ms)
Beberapa kombinasi terapi kelasi besi di Indonesia yang sering digunakan yaitu DFP+DFX, diikuti oleh DFO+DFP, dan DFO dengan DFX.[2,4,12]
Luspatercept
Luspatercept adalah obat yang telah disetujui FDA untuk digunakan dalam penanganan anemia, termasuk thalassemia beta transfusion-dependent atau mayor. Meski demikian, saat ini obat ini belum ada di Indonesia. Dalam sebuah uji klinis yang melibatkan 336 orang dewasa dengan thalassemia beta mayor atau transfusion-dependent, penggunaan luspatercept dikaitkan dengan penurunan bermakna kebutuhan transfusi.
Dosis
Luspatercept dikontraindikasikan pada kehamilan, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan test pack terlebih dulu jika akan digunakan pada wanita usia subur. Dosis inisial yang direkomendasikan adalah 1 mg/kg subkutan, diberikan sekali setiap 3 minggu. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 1,25 mg/kg/hari jika kebutuhan transfusi tidak berkurang setidakya ⅓ dan setidaknya 2 unit packed red cells. Dosis juga dapat ditingkatkan jika kebutuhan transfusi tidak berkurang setidaknya setengah dalam 6 minggu atau 2 dosis berturut-turut.[18-21]
Hematopoietic Stem Cell Transplantation
Transplantasi sumsum tulang dan darah tali pusat (cord blood) merupakan terapi yang berpotensi untuk memberikan kesembuhan pada pasien dengan thalassemia beta. Transplantasi sel punca dari saudara dengan HLA (human leukocytes antigen) yang indentik memiliki tingkat kesembuhan sebesar 90%.[7,10]
Splenektomi
Splenektomi diindikasikan pada pasien dengan hipersplenisme simptomatik (ditandai dengan sitopenia berat). Tujuan splenektomi selain untuk mengontrol hematopoeisis ekstramedular, namun juga untuk membatasi keperluan transfusi bila keperluan transfusi sudah mencapai lebih dari 200-220 ml/kg/tahun dengan nilai hematokrit 70%.[2,3,13,16]
Hipersplenisme ditandai dengan splenomegali, sitopenia akibat sekuestrasi sel darah berlebih pada limpa, dan proliferasi sumsum tulang. Splenektomi dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi, sehingga diperlukan pemberian imunisasi terhadap bakteri seperti Pneumococcus, Meningococcus, dan Haemophilus influenzae.[2,3,7]
Suplementasi Nutrisi
Pasien dengan thalassemia berisiko mengalami defisiensi nutrisi, sehingga sebagian besar pasien memerlukan pemberian vitamin D, kalsium, vitamin C, asam folat, dan zink. Pemberian vitamin D dan kalsium bertujuan untuk mendukung pemeliharaan kesehatan tulang, karena pada pasien thalassemia dapat terjadi penurunan densitas tulang. Kalsium diberikan 500-1000 mg/hari, dan vitamin D 400-800 unit/hari pada pasien yang berisiko atau mengalami defisiensi vitamin D. Pemberian vitamin C dapat membantu ekskresi zat besi dari saluran pencernaan, terutama bila digunakan bersama dengan deferoxamine.[2-4]
Kolesistektomi
Pasien dengan thalassemia dapat menderita kolelithiasis akibat pecahnya sel darah merah dan deposit bilirubin pada kantung empedu, sehingga seringkali memerlukan tindakan seperti kolesistektomi.[3,4]
Dukungan Psikososial
Pasien dengan thalassemia memerlukan tata laksana dalam jangka waktu panjang sehingga memerlukan dukungan psikososial, tidak hanya untuk pasien namun juga untuk keluarga pasien.[2,10]
Pemantauan
Pemantauan pada pasien dengan thalassemia yaitu terkait dengan komplikasi yang mungkin ditimbulkan, seperti penumpukkan kadar zat besi dalam tubuh, fungsi jantung, endokrin, dan fungsi hati.
Status Besi
Status besi dalam tubuh harus rutin diperiksa, karena pasien thalassemia berisiko untuk mengalami penumpukan zat besi dalam tubuh. Pemantauan kadar zat besi dapat dilakukan dengan memeriksa kadar ferritin, atau dengan melihat tanda dan gejala kadar zat besi berlebih dalam tubuh. Pemeriksaan terhadap kadar ferritin dilakukan setiap tiga bulan sekali.[4,7]
Kardiologi
Pasien dengan thalassemia berisiko mengalami komplikasi jantung, sehingga perlu dilakukan evaluasi berupa pemeriksaan:
Echocardiography untuk memantau ejeksi fraksi kardiak dan tekanan arteri pulmoner
Elektrokardiografi untuk pasien di atas usia 10 tahun karena pasien berisiko mengalami aritmia akibat penumpukan zat besi
- MRI untuk mengetahui hemosiderosis kardiak terutama pada pasien yang telah mendapatkan terapi transfusi kronik kurang lebih selama 8 tahun[2,4]
Disfungsi Endokrin
Hemosiderosis menyebabkan endokrinopati multipel yang menyebabkan penurunan fungsi endokrin secara progresif. Pemantauan terhadap disfungsi endokrin dimulai sejak usia lima tahun, atau paling tidak 3 tahun setelah pemberian transfusi darah secara rutin.
Pemantauan meliputi penilaian terhadap berat badan, tinggi badan, status pubertas, fungsi tiroid, paratiroid, pankreas, adrenal, dan pituitari. Pemeriksaan USG hepar, dan alfa-fetoprotein dilakukan untuk deteksi dini hepatokarsinoma. Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk dilakukan setiap satu tahun sekali.[2,4,7]
Deposit Besi Hepar
Pemeriksaan MRI hepar diindikasikan untuk mendeteksi deposit zat besi pada hepar. Fungsi hati diperiksa setiap dua bulan sekali.
Densitas Tulang dan Tumbuh Kembang
Pemeriksaan densitas tulang dilakukan setiap tahun karena anak berisiko mengalami osteopenia dan osteoporosis. Pemantauan terhadap tumbuh kembang dilakukan setiap 6 bulan sekali. Pasien juga perlu dipantau status nutrisi karena berisiko mengalami defisiensi nutrisi.[2,4,7]
Penulisan pertama oleh: dr. Michael Susanto