Edukasi dan Promosi Kesehatan Syok Kardiogenik
Edukasi dan promosi kesehatan pada syok kardiogenik mengenai tanda dan gejala awal infark miokard serta modifikasi faktor risiko kardiometabolik, seperti obesitas dan diabetes mellitus sangat diperlukan. Hal ini dilakukan terutama untuk mencegah terjadinya infark miokard akut yang merupakan penyebab terbanyak syok kardiogenik dengan angka mortalitas yang tinggi.
Edukasi Pasien
Edukasi pada pasien dan keluarga yang mengalami syok kardiogenik merupakan hal yang fundamental, karena pasien dapat berada pada keadaan instabilitas hemodinamik yang mengancam nyawa. Pada keadaan syok kardiogenik, edukasi mengenai pemasangan nasogastric tube (NGT), kateter urin, dan bantuan ventilasi invasif, seperti intubasi, harus dilakukan. Selain itu, perawatan intensif pada pasien syok kardiogenik untuk melakukan monitoring hemodinamik diperlukan.
Intervensi kateterisasi jantung dengan komplikasinya, seperti perdarahan dan infeksi, perlu diinformasikan. Pasien juga harus diinformasikan mengenai kontrol dan pengobatan jangka panjang. Selain itu, edukasi perubahan pola hidup, seperti pembatasan aktivitas fisik bertahap, pembatasan cairan 1,5 sampai 2 liter/hari serta diet rendah garam kurang dari 5 gram/hari dan lemak, serta mengurangi konsumsi rokok dan alkohol harus dilakukan. Selain itu, pengawasan terhadap gejala seperti dyspnea, edema, dan nyeri dada harus dilakukan.[4]
Menghindari Beta Blocker
Pasien dan keluarga harus diinformasikan untuk menghindari pemberian beta blocker, seperti bisoprolol, saat awal serangan sampai stabilisasi hemodinamik berhasil dilakukan. Meskipun beta blocker diberikan pada pasien dengan infark miokard akut (IMA).
Pada pasien dengan syok kardiogenik atau kondisi pre-shock, cardiac output (CO) berkurang, namun kadang hipotensi belum terjadi. Pada keadaan ini, pemberian beta blocker yang sifatnya inotropik negatif akan memperburuk manifestasi klinis. Pada pasien dengan syok kardiogenik yang akan menjalani revaskularisasi, biasanya diberikan aspirin 325 mg.[51]
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit untuk syok kardiogenik dilakukan dengan mempromosikan pola hidup sehat untuk mencegah penyakit tidak menular (PTM), seperti diabetes mellitus dan hipertensi, di fasilitas kesehatan primer, serta bekerja sama dengan kader untuk melakukan promosi kesehatan kepada warga. Penyakit tidak menular (PTM) merupakan faktor risiko terbesar untuk syok kardiogenik.
Pencegahan penyakit tidak menular (PTM) meliputi kontrol diet dan berat badan ideal, olah raga teratur, dan tidak merokok. Pola diet yang buruk dan aktivitas fisik yang kurang, merupakan kontributor utama dari seluruh penyebab morbiditas dan mortalitas kardiometabolik.[29]
Diet
Diet yang disarankan untuk mencegah PTM yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular penyebab syok kardiogenik adalah diet tinggi serat dan rendah lemak jenuh. Sayuran hijau dan buah-buahan, serta membatasi konsumsi garam dan gula merupakan salah satu kunci diet untuk mencegah terjadinya syok kardiogenik.[4]
Selain itu, pembatasan konsumsi alkohol juga harus dilakukan. Pada laki-laki, konsumsi alkohol dibatasi sebanyak 2 unit per hari. Sedangkan pada perempuan, disarankan untuk membatasi konsumsi alkohol sebanyak 1 unit per hari. Satu unit alkohol setara dengan 10 ml alkohol murni (misalnya 1 gelas anggur, ½ pint of beer).[4]
Berat Badan Ideal
Berat badan ideal yang disarankan pada pasien adalah sesuai indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar pinggang. Nilai IMT dapat menilai adanya overweight dan obesitas, namun terkadang nilai IMT ini kurang representatif untuk menilai status gizi. Maka dari itu, pemeriksaan lingkar pinggang diperlukan.[4]
Aktivitas Fisik
Orang dewasa direkomendasikan untuk melakukan olahraga dengan intensitas sedang minimal 30 menit per minggu. Olahraga yang dapat dilakukan antara lain seperti jalan dan bersepeda.[4]
Merokok
Edukasi untuk berhenti merokok sangat penting, terutama pada mereka yang sudah memiliki penyakit komorbid. Pada keadaan ini, pasien perlu dirujuk untuk melakukan cognitive behavioral therapy (CBT) dan dukungan psikologis untuk berhenti merokok.[4]
Penulisan pertama oleh: dr. Yenna Tasia