Diagnosis Amenorrhea Primer
Penegakan diagnosis amenorrhea primer dimulai dengan anamnesis lengkap untuk mengidentifikasi riwayat keluarga, riwayat pubertas, perkembangan seksual sekunder, dan adanya faktor risiko seperti gangguan makan atau olahraga berlebihan. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengevaluasi tanda perkembangan seksual sekunder serta mendeteksi kelainan anatomis seperti himen imperforata atau tanda sindrom genetik.
Investigasi laboratorium mencakup pengukuran kadar hormon seks, tiroid, dan prolaktin untuk mengevaluasi fungsi aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium (HPO). Pencitraan seperti ultrasonografi pelvis digunakan untuk menilai struktur uterus dan ovarium, serta kariotipe genetik untuk mendeteksi kelainan kromosom seperti sindrom Turner atau sindrom insensitivitas androgen.[1-5]
Terdapat dua kriteria untuk mendiagnosa amenorrhea primer secara klinis:
- Tidak adanya riwayat menstruasi pada perempuan yang memiliki karakteristik seks sekunder (seperti telarke, rambut pubis, dan rambut ketiak) hingga usia 15 tahun atau 3 tahun setelah telarke (tumbuhnya payudara)
- Tidak adanya riwayat menstruasi dan tidak adanya perkembangan payudara atau karakteristik seks sekunder lainnya pada perempuan usia 13 tahun.[2]
Anamnesis
Anamnesis pada amenorrhea primer harus mencakup riwayat perkembangan pubertas, usia menarke pada anggota keluarga, serta ada tidaknya riwayat genetik terkait. Penting untuk mengetahui kapan tanda pubertas, seperti pembesaran payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan, mulai berkembang.
Tidak adanya perkembangan seksual sekunder dapat mengindikasikan gangguan aksis HPO, seperti pada hipogonadisme hipogonadotropik atau sindrom Turner. Sebaliknya, jika tanda-tanda pubertas normal namun menstruasi tidak terjadi, ini dapat mengarah pada diagnosis kelainan anatomis, seperti himen imperforata atau sindrom Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser.
Riwayat aktivitas fisik dan kebiasaan makan juga penting dalam anamnesis. Olahraga berlebihan, seperti yang sering terjadi pada atlet wanita, serta gangguan makan seperti anoreksia nervosa, dapat menyebabkan amenorrhea primer. Selain itu, stres psikososial atau penurunan berat badan yang signifikan juga dapat menjadi faktor risiko
Riwayat kesehatan yang lebih luas, termasuk paparan obat, penyakit kronis, atau riwayat radiasi dan kemoterapi, juga harus ditanyakan. Beberapa obat seperti antipsikotik dapat mengganggu fungsi hormonal, sementara riwayat pengobatan kanker pada usia dini dapat menyebabkan kerusakan ovarium dan kegagalan ovarium prematur. Anamnesis juga perlu mencakup riwayat endokrinopati, seperti hipotiroid, karena kondisi ini dapat terkait dengan amenorrhea primer.[2-5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan evaluasi perkembangan seksual sekunder menggunakan skala Tanner untuk menilai perkembangan payudara dan rambut pubis. Tidak adanya perkembangan payudara pada usia pubertas dapat mengindikasikan gangguan aksis HPO, seperti pada hipogonadisme hipogonadotropik atau disgenesis gonad.
Pemeriksaan fisik juga harus mencakup inspeksi genitalia eksternal dan pemeriksaan pelvis untuk mendeteksi kelainan anatomis. Pada himen imperforata, pemeriksaan akan menunjukkan membran himen yang menonjol akibat akumulasi darah menstruasi (hematokolpos). Pada sindrom Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser (MRKH), vagina bagian atas dan uterus biasanya tidak berkembang. Adanya kelainan anatomis lain, seperti septum vagina transversal, juga dapat ditemukan selama pemeriksaan fisik.
Selain pemeriksaan reproduktif, temuan fisik sistemik juga perlu diperhatikan. Pada sindrom Turner, temuan khas mencakup tubuh pendek, webbed neck, dan dada lebar dengan jarak antar puting yang jauh. Jika terdapat tanda-tanda virilisasi, seperti pembesaran klitoris atau pertumbuhan rambut berlebih, ini bisa mengindikasikan sindrom insensitivitas androgen.[2-5]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding amenorrhea primer adalah kehamilan dan amenorrhea sekunder.[2-5]
Kehamilan
Pada pasien dengan dugaan kehamilan, tes kehamilan urin atau serum adalah langkah awal yang cepat dan akurat. Pada amenorrhea primer, tidak adanya riwayat menstruasi sebelumnya dan perkembangan karakteristik seksual sekunder yang tidak normal sering kali mengarah pada etiologi non-kehamilan. Selain itu, pemeriksaan fisik dan pencitraan pelvis dapat membantu membedakan kelainan anatomis atau disgenesis gonad dari kehamilan.[2-5]
Amenorrhea Sekunder
Membedakan amenorrhea primer dari amenorrhea sekunder didasarkan pada riwayat menstruasi pasien. Pada amenorrhea sekunder, amenorrhea terjadi pada wanita yang sebelumnya mengalami menstruasi tetapi mengalami penghentian siklus menstruasi selama tiga siklus berturut-turut atau selama lebih dari enam bulan.[2-5]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada amenorrhea primer bertujuan untuk mencari etiologi yang mendasari. Pemeriksaan penunjang dasar yang wajib dilakukan pada semua pasien amenorrhea yaitu tes urin untuk kehamilan; USG pelvis transabdominal; serum FSH, LH, dan estradiol; serum prolaktin; dan serum thyroid-stimulating hormone (TSH).[2]
Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan berdasarkan indikasi sesuai temuan klinis. Melalui pemeriksaan penunjang dasar, apabila kehamilan positif maka dilanjutkan dengan perawatan kehamilan. Apabila TSH abnormal, maka pasien dapat diterapi sebagai penyakit tiroid dan pemeriksaan tiroid lain dilakukan.[3,6]
Pemeriksaan Hormon
Tes darah dilakukan untuk mengevaluasi kadar hormon gonadotropin, yaitu follicle-stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), serta estradiol. Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi penting mengenai fungsi ovarium dan status hormonal pasien.
Pada hipogonadisme hipogonadotropik, kadar FSH dan LH akan rendah, sementara pada hipogonadisme hipergonadotropik, kadar FSH dan LH cenderung tinggi. Selain itu, pemeriksaan kadar prolaktin dan hormon tiroid juga penting untuk mengidentifikasi gangguan endokrin yang dapat menyebabkan amenorrhea.[2-6]
Pencitraan
Pencitraan pelvis dengan ultrasonografi (USG) dilakukan untuk menilai anatomi sistem reproduksi. USG transabdominal atau transvaginal dapat membantu mendeteksi kelainan struktural. USG juga memungkinkan evaluasi terhadap ovarium, termasuk penilaian folikel dan kista yang mungkin berkontribusi terhadap amenorrhea.
Pemeriksaan pencitraan tambahan, seperti MRI, mungkin diperlukan jika terdapat kecurigaan kelainan yang lebih kompleks, seperti tumor hipofisis atau kelainan struktural otak yang memengaruhi pengaturan hormonal. Penilaian ini dilakukan terutama pada pasien dengan riwayat yang kompleks atau gejala neurologis yang menyertai.[2-6]
Kariotipe Genetik
Kariotipe genetik juga merupakan pemeriksaan penunjang yang signifikan, terutama jika ada kecurigaan terhadap kelainan genetik seperti sindrom Turner atau sindrom insensitivitas androgen. Kariotipe dapat membantu mendeteksi adanya kelainan kromosom yang berkontribusi terhadap amenorrhea primer.[2-6]